Rumah Masa Lalu

Jalaluddin As-Suyuti

“Dalam beberapa hal, yang silam tetap berharga.” (Amir Hamzah)

TAK banyak yang berubah dari rumah panggung itu setelah ia pergi sekitar tiga puluh tahun lalu. Barangkali cuma cat kuning dan beberapa pohon yang sudah hilang di belakang dan di sampingnya. Selain itu di tepi sungai, tak ada lagi pohon bambu yang memagari tebing hulunya, tak ada lagi tepian tempat ia melayangkan batu menuju seberang sebelum mandi. Kini tebing sudah diturab, sudah dipagar beton dan besi-besi. Kalau ingin ke tepian, ia mesti menuruni tangga batu. Tak seperti dulu.

Siang itu lelaki yang sudah ditumbuhi beberapa helai uban di dagunya datang ke sana bersama teman-temannya. Tentu mereka tak akan bertemu perempuan pemilik rumah itu karena ia telah pulang ke kampung abadi, dan kini telah tidur panjang bersama suaminya di pemakaman. Tapi anak perempuan dan cucu cicit perempuan yang dipanggil umak itu masih ada di sana.

Ketika melihat mesin jahit yang tergeletak di sudut rumah sebelah kanan ia masuk, ia melihat timbunan buku masih tersusun di atasnya. Tetiba ia teringat suatu kali saat ke rumah itu di hari Rabu. Di tumpukan buku di sekitar situ, ia menemukan David J Scwartz. Ia menemukan The Magic of Thinking Big. Itulah salah-satu buku yang mengubah sebagian cara hidupnya. Ia di Daarun Nahdhah yang hanya terbiasa berteman kitab-kitab kuning seperti I’anat al-Thalibin, Jawahir al-Balaghah, tafsir al-Khazin, Al-Kawakib al-Duriyah, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-a’lam dan sejumlah kitab gundul dari semenanjung Arabiah itu terkesima, kini ia menemukan lautan ilmu dan pandangan lain. Menemukan sesuatu yang datang dari benua biru, sesuatu yang baru. Sesuatu yang saat itu memesonanya.

Di rumah itu, saat teman-temannya sibuk menikmati liburan dengan cara bermain bersama, bersenda gurau ramai-ramai karena hari itu hari libur sekolahnya. Secara diam-diam ia terus melahap buku tersebut, tak selesai hari itu, esok dan esoknya lagi ia kembali menyelam hingga tuntas. Hingga hari ini, tak ada yang tahu itu. Sungguh tak.

Hari ini Sabtu 15 Januari 2022. Ia dan beberapa teman, baik senior, junior maupun rekan seangkatannya berkumpul di rumah panggung di tepi sungai yang dikelilingi pepohonan itu. Mereka bersilaturahim, berbagi segenggam cendrahati sambil menjenguk masa lalu, sebagai tanda ingatan karena lama tak bersua. Mereka berjumpa dan bercengkerama penuh kehangatan cinta dan rindu, namun tak ada hura-hara cinta seperti saat sekolah dulu. Bukan masa cinta remaja dalam pasungan dulu. Hari itu cinta sebagian mereka telah berupa air mata, seperti seorang seniornya yang tinggal di Tanjung Balai Karimun yang terisak haru sepanjang percakapan telpon karena tak dapat bertemu. Begitu juga dengan ustaz yang memimpin doa. Pun tak terkecuali sang tuan rumah. Siang itu penuh dengan keharuan.

Apa yang membuat hari itu menjadi istimewa? Mengharu biru?

Kenangan. Kenapa kenangan menjadi khusus untuk dituliskan? Tersebab kenanganlah beribu puisi dan buku sejarah serta karya intelektual lainnya dihasilkan. Tersebab kenanganlah manusia selalu mengisahkan cerita-cerita masa lalunya. Tersebab masa lalu jualah orang bergegas untuk menentukan langkah masa depannya. Tapi jangan tenggelam dalam romatisme masa silam.

Konon, orang yang sudah tua selalu menyebut capaian-capaian gemilangnya di masa lalu. Kenapa demikian? Kata Yusuf Rahman, mantan Rektor IAIN Susqa Pekanbaru itu. “Karena orang tua tak punya masa depan, maka ia pun selalu menyebut-nyebut masa lalunya,” kata mantan rektor yang hebat itu saat ia menjadi mahasiswanya dulu.

Menyebut masa lalu itu bukan letai, itu bukan latah. Itulah kodrat manusia yang dialir dan mengalir di, dan, dalam, serta bersama waktu. Dan jangan marah, kesal, sinis dan mengejek jika ada orang seperti sasau menyebut masa lalunya. Jangan heran kalau mereka ingin mengulang sesuatu yang pernah dilakukan di masa lampau. Biarkan saja mereka berasyik-masyuk dengan kenangannya. Yang terpenting jangan sedih dan larut dengan itu semua. Jangan lupa pula pada anak, isttri atau suami rumah. Apalagi sampai mengulang cinta terpasung dulu hingga membuat rumah tangganya berkecai sudah.

Apa yang ditakik pada masa lalu tak akan pernah bisa diulang walau pun orang Prancis selalu menyebut bahwa, la historie de refete; sejarah akan selalu berulang. Tapi tentu tidak akan sama persis. Sungguh tak akan sama.

Saat matahari sudah mulai agak bungkuk ke barat, ia dan teman-teman meninggalkan rumah panggung bercat kuning itu. Ia kembali ke tepi sungai, menghalakan wajah ke hilir. Yang terbentang dan melintang hanya jembatan biru.Tak ada lagi rakit penyeberangan tempat ia dan teman-temannya yang selalu bersesak dan berdesakan pada hari Rabu kala pergi ke seberang untuk belanja dan menyewa buku-buku sastra di pasar inpres.

Lalu ia hadapkan pandangan ke hulu. Pantai berbatu tempat ia mandi dahulu tak kelihatan. Tanah tebing tempat ia meletakkan perlengkapan mandi dan kitab yang akan dibaca sebelum berendam di sungai tak jelas di mana tempat persisnya. Air keruh ke kuning-kuningan yang tampak terus mengalir resah. Ia membalik badan, menghadap ke belakang, ke jalan yang seolah telah memendek. Padahal dulu ia merasa jalan itu begitu panjang, apalagi ketika suatu masa dulu ia mengejar ayahnya yang hendak pulang sewaktu baru mengantar belanjanya. Ia merasa tak sanggup berpisah dengan ayahnya. Ia mengejar ayahnya yang sedang menaiki becak.

Ia alihkan pandang ke bawah rumah panggung. Kini sudah tertutup terpal biru. Apakah masih ada sepeda ontel umak? Entahlah. Mengenang sepeda unta itu, ia terkenang beberapa kali Jumat pernah meminjamnya, untuk pergi ke masjid yang cukup jauh dari situ karena ia diminta khutbah Jumat di sana. Ia ingat betapa sumringahnya wajah umak ketika mendengar sepedanya dipinjam untuk pergi khutbah.

Semua kejadian masa lalu itu tertayang begitu terang di pelupuk matanya. Semua itu rasanya baru kemarin pagi, baru kemarin siang, baru kemarin petang. Semua kenangan itu masih terladung, menggenang dan mengambang di lubuk hatinya. Itu masa lalu. Itu tak dapat lagi diulang. Semua telah hilang namun masih terbayang. Masih membayang. Masih terkenang-kenang.

Ia terus mengenang masa lalunya, memasuki lorong-lorongnya, kemudian menerka dan memprediksi kemana muara masa hadapannya. Ya, mungkin juga masa depan negerinya, bangsanya. Dan, ya semuanya.

Melihat isyarat air yang mengalir, langit nan mendung dan angin yang enggan berhembus kala itu, ia tak dapat mengungkapkan sesuatu, selain kata; entahlah. Wallahu a’lam. ***

Baca : Gurau

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *