Cerpen Indra Rahadian: Sore Itu, di Lembah Anai

KAU bisa saja kehilangan apapun dalam hidupmu, tetapi kau tak boleh kehilangan harapan dalam hatimu.

Hari-hari menjelang bulan Mei berakhir. Tepat lima belas tahun lalu, terakhir kali kami bertemu. Dan hari ini, kami kembali dipertemukan dalam kepingan-kepingan waktu. Hari di mana semua kisah tentangnya, hampir terlupakan.

Kemilau mentari di sore ini, tak seperti lima belas tahun lalu. Kala sinar keemasan menyelimuti, dan menyeret senja di belakang rambut panjang yang hitam terurai. Hingga segaris senyuman di paras cantik itu, mengalihkan pandanganku dari keindahan lembah Anai.

Namun, ternyata senyuman itu masih sama. Kehangatan yang menyentuh relung hati dan jiwaku. Aku masih merasakan getaran yang sama. Akan tetapi, bolehkah aku mengulang kisah yang sama? Ah, aku tak begitu yakin tentang hal itu. Biarlah bergulir kemanapun arahnya.

Rina tersenyum di hadapanku. Dan aku tak kuasa menatapnya berlama-lama. Ia masih saja sanggup, membuatku malu seperti anak kecil yang malu-malu bernyanyi di depan kelas. Ia masih saja sanggup, membenamkan nyali setiap lelaki seperti aku ke dalam laci lemari.

“Kamu tak jauh berubah, Edo.”

Suara itu menusuk jauh ke dalam dada. Entah, aku tak bisa menjawabnya. Bibir ini hanya terdiam. Aku hanya bisa membalas dengan senyuman. Ia tepat berada di depanku kini. Tanpa jemari yang saling menggenggam, membuatku membeku dalam lamunan.

Tanah Datar, Mei 2006.

Kami merayakan kelulusan, dengan berkunjung ke Lembah Anai. Bersama kawan-kawan, menikmati masa-masa terakhir kami sebelum perpisahan sekolah.

Banyak di antara mereka akan melanjutkan pendidikan ke ibu kota. Sedangkan aku memilih mengambil kursus keterampilan menjahit di kota Padang, sebagai bekal merantau nanti ke kota besar.

Sepanjang hari, kami bersenandung dan bermandikan rasa haru. Hingga suatu sore, kami berpisah. Dan aku masih mau menikmati Lembah Anai.

“Ajo, bisa bantu? Eh, Uda. Masya Allah, kamu Edo kan?” Perempuan cantik itu menyapa sambil menuntun motor di hadapanku.

Kenapo Hondamu?” tanyaku.

Cukup grogi aku dibuatnya. Ia adalah Rina, siswi tercantik di sekolah. Tiga tahun kami satu sekolah, baru kali ini aku begitu dekat dengannya secara harfiah.

Aku sama sekali tak mengerti tentang mesin motor. Namun, demi berlama-lama dengan Rina. Aku bertingkah seolah bisa membantu. Kucoba mengotak-atik motor yang biasa kami sebut Honda ini. Kucabut dan ku tiup-tiup busi, lalu ku gosokkan ujungnya pada celana.

Tak lama, aku stater motor itu dan tak disangka bisa menyala. Dalam hatiku berkata, “Ah, harusnya kubawa saja ke bengkel, agar dapat lebih lama bersama Rina.”

Kami berkendara bersama sampai memasuki Padang Panjang, dan berpisah tanpa kesan. Beruntung, kami bertukar nomor handphone di Lembah Anai tadi.

Namun, aku tak yakin ia akan menghubungi lebih dahulu. “Siapalah hamba, hanya butiran debu.”

Seminggu kemudian, perut lapar membawaku berkendara sepanjang jalan Bahder Johan. Tepat di sebuah rumah makan, aku melihat Rina tengah menangis. Ia tidak sendirian, aku mengenal lelaki yang sedang berusaha menenangkannya. Ia adalah Arif teman baikku di kelas satu.

Entah apa yang menarikku ke dalam permasalahan mereka. Karena spontan saja aku menghampiri pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Dan Rina, terburu-buru naik di belakang motorku saat melihatku mendekat.

Sore itu, ia memelukku sepanjang jalan. Aku dapat merasakan air matanya mengalir di belakang. Tak terasa, kami sudah jauh meninggalkan Padang Panjang ke arah lembah Anai. Karena sudah terlalu jauh, kami akhirnya berhenti di sekitar air terjun Tujuh Tingkat.

Rina mulai bercerita tentang kisahnya bersama Arif, kemudian ia memutuskan mengakhiri hubungan dengannya hari itu juga. Aku tak berani berbicara apa-apa.

Hari itu, aku menyerap semua kesedihan dan duka yang ia rasakan. Menemani hasratnya membenamkan luka pada setiap tumpahan air mata yang larut dalam genangan air terjun.

Hatiku berkata, “perempuan, tak layak mengalirkan air mata hanya untuk seorang lelaki.”

Sejak saat itu, kami menjadi sangat dekat secara istilah. Nama Arif sudah hilang ditelan gelak tawa dan kata-kata mesra kami. Setiap hari, hanya ada cerita asmara tentang kami.

“Rina, bersamaku kamu tak perlu menangis lagi. Macam-macam kebahagiaan, akan kita raih kelak.”

Entah apa yang yang merasuki pikiranku saat itu. Aku berkata, seolah kami sudah benar-benar dewasa. Padahal bertemu Amai saat mengantarnya pulang saja, dadaku masih berdebar-debar.

Dua tahun lamanya, kami membina hubungan sebagai sepasang kekasih. Hingga, masa itu tiba. Masa dimana lembaran klise kehidupan, mulai terbuka satu demi satu. Dan jiwa mudaku, belum siap menerima sebuah tanggung jawab.

“Kanda, Amai dan Apak berniat menjodohkan aku,” ucapnya.

Kandak rang tuo, kanda bisa apo?” keluhku.

Hari itu hatiku remuk dibuatnya. Ingin rasanya berteriak bersama derasnya air terjun. Lembah Anai, tempat biasa kami menghabiskan waktu di akhir pekan.

Hingga berhari-hari, aku merenung memikirkan hubungan kami. Dan aku tiba pada sebuah keputusan. Merantau, menjadi orang dan pulang kembali untuk meminang Rina. Itulah tekadku di masa lalu.

Tanpa pamit, aku meninggalkan Padang Panjang. Aku tak mau melihat air mata Rina mengalir di hadapanku. Itu hanya akan membuatku semakin lemah berjuang mengarungi kehidupan.

“Padamu, aku akan bermuara,” ucapku lirih dari balik jendela bus antarkota yang tengah membawaku ke Jakarta.

Roda nasib menggilas tekad di masa muda dengan harapan baru. Lembar kehidupan berganti halaman baru. Dan kami tak pernah lagi bertemu sejak saat itu.

Akupun tenggelam dalam dunia baru, dan mengejar makna kebahagiaan sendiri. Aku berharap, iapun melakukan hal yang sama.

Jakarta, Mei 2021.

Aku merasakan genggaman jemari halus pada jemariku. Ia menggenggam erat seperti tak ingin lagi merasakan kehilangan. Dan aku merasakan bisikan lembut itu berbicara.

“Ayah, sudah waktunya pulang. Anak-anak sepertinya sudah tak betah.”

Rani istriku, membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Dan genggaman jemari ini miliknya. Rina sudah bersama suaminya di ujung sana. Ia adalah Arif yang memperjuangkan Rina dari jerat perjodohan di masa lalu. Mereka terlihat sama bahagianya dengan kami.

Sebelum pulang dari pesta pernikahan kolega kami di Matraman, Arif menjabat tanganku dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. Pikiran jahatku berkata, “ya, aku yang sudah menjaga jodohmu di masa lalu.”

Sepanjang lorong keluar acara resepsi, tatapanku tak lepas dari wajah istriku. Tuhan memang adil, ia mengalirkan jodoh ke muara terbaik yang dikehendaki.

Toh, harapan aku dan Rina sudah terwujud. Kami merasakan macam-macam kebahagiaan di masa kini. Tentu saja dengan pasangan kami masing-masing. ***

*) Cerpen ini sudah tayang di Kompasiana edisi 22 Mei 2021

——————————
Indra Rahadian, pemerhati sosial dari sudut pandang kedai kopi/penikmat sastra/penonton huru hara politik

 

Baca : Cerpen Asih Drajad Lumintu: Riuh Rindu

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *