Foucault dan Perempuan

Pemuda

DALAM sebuah system pendidikan atau lembaga keagamaan di masyarakat, terdapat nilai-nilai, ritus, symbol, dan supremasi kebenaran budaya tetentu, yang diterima dan dipatuhi secara total sebagai sebuah otoritas mutlak. Biasanya disertai pula dengan adanya kontrol budaya serta pelembagaan atas berbagai norma atau aturan yang disematkan melalui berbagai symbol-simbol, figure-figure, dan model-model pemikiran dan kepercayaan tertentu. Dalam situasi seperti itu, proses pengarusutamaan atau pengejawantahan konsep-konsep gender, seringkali digunakan sebagai sebuah strategi dalam mempertahankan kekuasaan dan kepentingan tetentu.

Perempuan kemudian menjadi area perbincangan. Pada tataran ini, “tubuh” perempuan kemudian menjadi perbincangan “publik”. Tubuh perempuan yang harusnya berada pada wilayah privat, ruang-ruang tertutup, justru menjadi pembicaraan publik. Area pembincangan atas tubuh perempuan inilah yang oleh Foucault disebut dengan diskursus (discourse). Karena proses pembincangan itu melibatkan wacana, nilai, norma, kepercayaan dan model-model yang mencoba memaknai ulang atas isu gender itu sendiri. Uniknya, menurut Foucault, proses diskursus ini kemudian mengalami perselingkuhan antara pengetahuan dengan kekuasaan. Maknanya adalah bahwa setiap ide, ajaran, pesan atau pun makna tentang perempuan maupun tentang laki-laki, akan selalu bersinggungan, berjalinkelindan dengan kekuasaan.

“Kekuasaan”, kata Foucault, “akan terus memproduksi pengetahuan, dan begitu juga pengetahuan akan menciptakan kekuasaan”. Pengetahuan sendiri merupakan konsep “baik atau jahat” yang “sengaja” dikontruksi oleh kekuasaan. Kelompok yang berkuasa, secara terus menerus “memaksakan” nilai atau norma tertentu, yang menurut Foucault kemudian menjelma sebagai ideology, akan membentuk pengetahuan yang mengikat kuat kedalam jiwa seseorang. Pada proses inilah kesadaran nurani seseorang kemudian terperangkap dalam struktur kekuasaan tertentu.

Sayangnya, kontruksi pengetahuan atau perbincangan yang selama ini disematkan kepada perempuan, memiliki tendensi penguasaan kaum laki-laki atas perempuan. Lembaga-lembaga pendidikan maupun lembaga keagamaan memandang perempuan tidak lebih baik dari kaum laki-laki. Dalam wacana agama misalnya, perempuan merupakan “tulang rusuk” laki-laki. Perempuan wajib melayani keinginan seks suaminya, kapan pun ketika sang suami menghendaki. Perempuan sumber fitnah, makanya ketika terjadi pemerkosaan atas perempuan yang salah tetap perempuan. Dan seterusnya.

Di sini lah, lalu keberadaan perempuan terbalut mitos dan dominasi kekuasaan. Tubuhnya seperti bukan miliknya sendiri sepenuhnya. Seolah ada tuntutan yang memaksa, “tubuhmu harus dibagi”. Begitu kuatnya diskursus tentang perempuan ini, sehingga ia menjadi ideology. Akibatnya ketika seseorang ingin melakukan pemikiran ulang atau rekonstruksi pemikiran tentang perempuan, ia akan dianggap sebagai “perusak” tatanan ideology yang sudah mapan, ia akan mengganggu stabilitas system keagaamaan umat yang sudah mapan menjadi berantakan. Dan tidak jarang, atribut liberalisasi, antek Barat, tersemat pada mereka yang mencoba melakukan rekonstruksi pemahaman Islam atas perempuan.

Memang, dalam studi gender, terdapat beberapa teori yang menjelaskan, mengapa perempuan termarginalisasi dalam hampir seluruh sejarah umat Islam di dunia ini. Teori pertama dikemukakan oleh Azizah al-Hibri. Ia menyebutkan bahwa kondisi struktur sosial kita yang masih patriarkhi. Budaya ini, menurut al-Hibri terlihat terang pada kontruksi tafsir tentang poligami, perceraian (tidak boleh perempuan menuntut cerai), dan perwalian. Kedua, teori kekuasaan. Bahwa kekuasaan lah yang menyebabkan perempuan teraleanasi. Teori ini, menyebut bahwa kekhalifahan Abbasyiah menjadi penentu penindasan kepada “tubuh” perempuan. Ketiga, adanya pemeahaman atas teks-teks agama yang tidak menggunakan perrpetif ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya.

Beberapa teori di atas, memberikan penjelasan kepada kita bahwa sesungguhnya perempuan telah di kontruksi sedemikan rupa oleh “penguasa” pada masanya. Kondisi patriarkhi, kekuasaan Abbasiah yang senang berfoya-foya dengan seks para selirnya (konon ada Sulthan yang memiliki selir ratusan bahkan ribuan), hingga pemahaman atas teks-teks keagamaan yang mono disipiline adalah bentuk-bentuk dari kesalahan sejaah dalam memandang perempuan.

Padahal jelas sungguh dalam perjalanan Kenabian yang mulia, Rasulullah, memperlihatkan upaya pembebasan yang beliau lakukan untuk kaum perempuan. Misalnya pemberian hak waris bagi perempuan separuh dari laki-laki, kedudukan saksi perempuan yang juga separuh dari laki-laki, di tengah-tengah budaya patriarkhi yang mengakar begitu kuat pada masa itu. Masyarakat pada masa itu memandang perempuan tidak ada nilai sama sekali, lalu Nabi memberikan ruang bagi perempuan. Sesuatu dari nol, lalu pelan-pelan Nabi mengisi ruang-ruang penghargaan pada perempuan.

Nah, spirit Nabi ini lah yang menjadi sangat penting untuk membongkar episteme tentang perempuan. Mari lanjutkan perjuangan Nabi itu dengan memberikan ruang kesetaraan bagi kaum perempuan. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Foucault dan Pendidikan Kita

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *