‘Pengembara’ Sutirman Eka Ardhana

Catatan Perjalanan Hidup yang Indah dan Penuh Makna

Oleh: Marzuli Ridwan Al-bantany

MENULIS puisi sesungguhnya menuliskan bahasa jiwa yang muncul dari hati sanubari yang paling dalam. Ia menjadi penyampai bahasa jiwa, bahasa hati yang terkadang sulit diluahkan melalui bahasa lisan. Lewat sebuah puisi, tak jarang bahasa jiwa tersampaikan dengan sangat jernih tanpa tertutupi dan dipengaruhi oleh gangguan-gangguan luar yang membuatnya menjadi kabur.

Di lain sisi, puisi menjadi alat pencatat dan perekam sebuah peristiwa maupun setiap kejadian yang dilihat dan dicecap oleh panca indera. Puisi juga dinilai menjadi sarana paling efektif mewakili penulisnya dalam mengungkap setiap peristiwa maupun kejadian yang dialami olehnya, atau oleh orang lain lewat penyampaian yang dibentangkan dalam sebuah puisi yang ditulis.

Adalah Sutirman Eka Ardhana, penyair sepuh kelahiran Bengkalis, 27 September 1952 yang kini menetap di Yogyakarta. Lewat sebuah buku kumpulan puisinya yang berjudul Pengembara, pria berusia hampir 70 tahun ini masih setia menulis pengalaman dan pengembaraannya lewat puisi. Puisi-puisi yang ditulisnya dapat dimaknai sebagai sebuah catatan sejarah dan media perenungan yang indah, yang akan selalu menjadi rujukan bagi siapapun untuk mengetahui kisah dan semua perjalanan hidupnya.

Pada kumpulan puisi Pengembara setebal lebih kurang 70 halaman yang menjadi buah karyanya, – yang diterbitkan penerbit Haksoro pada Agustus 2021 lalu, tak kurang dari 60 judul puisi yang mengurai akan kisah-kisah ‘pengembaraannya’ selama ini. Daerah-daerah dimana pernah ia kunjungi atau pernah ia hadir di situ, selalu saja menginspirasi dan mendorong dirinya untuk menuliskannya menjadi puisi. Sungguh, puisi-puisi yang ditulis Sutirman Eka Ardhana dengan bahasa yang indah dan gayanya yang khas, telah membangkitkan kenangan serta ingatannya yang dalam akan semua perjalanan hidup yang pernah dilalui.

Barangkali kita boleh menyimak larik demi larik puisi yang ditulis Sutirman Eka Ardhana berjudul Pengembara, sebuah puisi yang ditulisnya pada Mei 2012 lalu. Puisi yang berada tepat di halaman 38 di buku itu, sekaligus menjadi judul pada kumpulan buku puisi yang diterbitkannya kali ini:

Dalam stanza pertama ia menulis, /Jangan kautanya jalan mana tak berdebu//Sebab sepatuku bertabur debu//Jangan kautanya kelokan mana yang sepi//Sebab langkahku berdetak sunyi/. Apa yang dapat kita rasakan bila membaca setiap lariknya itu? melalinkan diksi-diksi yang indah dengan rima dan bunyi indah pula. Setiap lariknya menggambarkan pengembaraannya selama ini yang telah melintasi berbagai keadaan dan rintangan (debu dan kelokan). Namun apa yang tersisa?, melainkan sunyi, seiring perjalanan usianya yang kian menuju senja.

Pada stanza berikutnya, /Aku pengembara//Yang menapaki kota demi kota//Memungut makna dan rahasia//Di balik rumah kata-kata// Pada setiap larik dalam puisi ini begitu jelas mengungkapkan, bahwa pengembaraan yang dilalui oleh si aku lirik telah menjejak (menapaki) segalanya. Merasai segala macam warna kehidupan. Berbagai tempat (kota demi kota) pun telah dijelajahi dalam meraih kebahagiaan dan tujuan yang sesungguhnya (makna dan rahasia) ingin dicapai di alam dunia ini (di balik rumah kata-kata), yang tiada lain pemilik dari rumah kata-kata itu hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Pemilik dan Berkuasa atas segala sesuatu.

Sutirman Eka Ardhana juga tampaknya ingin menjelaskan kepada kita, bahwa ‘pengembaraannya’ menjalani kehidupan ini umpama dirinya sendiri, seorang pria yang selalu merindui akan kisah masa lalu, akan semua tawa dan bahagia, sekaligus kenangan pahit, luka dan air mata yang pernah hadir mengiringi pengembaraannya. Pada akhirnya ia berharap agar suatu masa nanti segalanya mampu memberikan kesan dan kenangan terindah sebagai sebuah cinderamata. Kesemua itu tergambar dengan jelas pada bait-bait puisinya /Aku pengembara//Yang mengumpulkan serpihan rindu//Memungut luka dan tawa//Kurangkai untuk cinderamata hidupku//.

Kemudian, pada bagian akhir di puisi beliau tersebut ditutup dengan sebuah penegasan yang mengesankan dan menimbulkan tanya yang dalam, /Jangan kautanya di lorong mana senyap sembunyi//Karena senyap ada dalam mimpiku. Betapa kesunyian (senyap) itu sesungguhnya akan selalu hadir pada setiap diri manusia, dan suatu masa ia akan menjadi sesuatu yang abadi.

Dalam puisinya yang lain, Sutirman Eka Ardhana juga sepertinya ingin mengungkapkan hal yang sama, walau objek puisinya kali ini bergeser pada sebuah elemen yang berbeda, sebagaimana puisi berjudul Borobudur dan Batu-Batu Purba:

BOROBUDUR

Akulah Rakai Panangkaran itu
yang mengeringkan telaga
membangun stupa
demi cinta

Dewi Tara-ku!
Jangan biarkan batu-batu
menua. Menyimpan rahasia
Sia-sia

2006-2010

BATU-BATU PURBA

Batu-batu, ceritakan padaku
tentang kisah peradaban
yang terpendam di balik
rahasia purbamu

Batu-batu, katakan padaku
berupa panjangnya waktu
yang tersia, menunggu
dalam kelu

Batu-batu
simpan cintaku

2006-2010

Juga pada puisi berikut ini:

DI RUMAH HUNIAN SEMENTARA

Di rumah hunian sementara ini
Seorang anak berkirim surat
kepada Merapi
meminta agar tak mengirimkan
awan panas, dan
membakar buku tulisannya lagi

Di rumah hunian sementara ini
Seorang anak berdoa
agar Tuhan tak mengizinkan
Merapi mengirimkan batu-batu,
pasir-pasir dan gumpalan debu
merusak sepatu
yang baru diterimanya
dari seorang dermawan
siang tadi

Di rumah hunian sementara ini
Anak itu memeluk erat-erat
buku dan sepatu
karena itulah miliknya kini

Lereng Merapi, Yogya, 2011

Begitulah, puisi-puisi Sutirman Eka Ardhana menyuguhkan keindahan. Ia begitu menyelami setiap sesuatu yang meliputi dirinya, sesuatu yang dirasa dan ditangkap melalui panca inderanya. Puisi-puisinya menyenandungkan lagu kerinduan dan kenangan. Mencatat setiap momen yang tentunya memiliki kesan dan makna yang teramat dalam baginya. Mungkin disebabkan beliau seseorang yang pernah menyelami hidup sebagai wartawan, menjadikan setiap puisinya kian romantis dan tak luput dari sentuhan-sentuhan jurnalistik, – sehingga pada akhirnya puisi-puisinya tampil lebih segar, elegan, dan tentu memukau bagi para pembacanya.

Buku kumpulan puisi Pengembara karya Sutirman Eka Ardhana ini memang tergolong tipis, seperti buku-buku puisi sebelum ini diterbitkannya; Malioboro 2057 dan Bunga Orang-Orang Kalah. Kedua buku ini pun hanya memuat 52 dan 58 judul puisi saja. Meski tergolong tipis dan terkesan mungil, tetapi puisi-puisinya sangat manis dan selalu mengusik untuk selalu dibaca dan direnungkan pesan dan makna yang terkandung di dalamnya.

Selamat dan tahniah ayahnda Sutirman Eka Ardhana, penyair kelahiran Bengkalis yang selalu menyimpan rindu akan kampung halaman. Terima kasih juga atas hadiah buku puisi mungilmu yang kau kirimkan buatku. Setidaknya kami para penyair-penyair Bengkalis yang datang setelahmu, akan selalu mengenang dan menghargai perjuanganmu, bahwa menulis puisi sesungguhnya merupakan upaya agar hidup menjadi lebih indah dan berharga, – menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menorehkan sejarah, agar kelak ada sesuatu yang dikenang dan ditinggalkan. Wallahu a’lam.***

Bengkalis, 26 Januari 2022

Marzuli RIdwan Al-bantany, adalah sastrawan dan penulis
bermastautin di Bengkalis, Riau.

Baca : Menjadi Orang Indonesia Itu Nikmat dan Asyik

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *