Dingkis

Bang Long

Bismillah,

JANGAN banyak makan ikan nanti cacingan”, begitu kata Emak kepada kami adik beradik ketika hidup masih pas-pasan. ”Beri anak kalian makan ikan bebanyak,” begitu pula kata Emak setelah kami punya anak memasing. ”Banyak makan ikan bagus untuk kesehatan,” suara Emak membelai bagai angin sepoi menyapu gerah pada petang hari.

Jarang orang tak suka ikan. Di negara mana pun, ikan menjadi makanan penting. Hal ini karena ikan punya Omega 3. Jenis asam lemak yang baik ini sangat berfaedah bagi tubuh dan otak. Bahkan, Omega 3 dari ikan ini juga berfaedah untuk mental. Karena itu, budaya suka makan ikan mestilah terus digalakkan. Dengan makan ikan, otak jadi sehat. Jika otak sehat, lahirlah tamadun gemilang. Dalam tamadun Melayu (Riau), tepatnya di Bengkalis, terubuk menjadi ikan ngetop. Terubuk menjadi legenda khusus karena ditulis dalam bentuk syair anonim bertajuk Syair Ikan Terubuk. Ikan terubuk di Riau bukan semata persoalan aspek ekonomis, tetapi juga berkaitan dengan peradaban Melayu pada masa Kesultanan Siak.

Dari berbagai rujukan, ternyata, ikan menjadi simbol bagi suatu peradaban. Peradaban Mesopotamia (suatu peradaban tertua yang terletak di antara sungai Eufrat dan Tigris dan sekarang dikenal sebagai Iraq), ikan merupakan salah satu simbol besar yang mereka sembah dan bermakna kesuburan dari Bangsa Sumeria (suatu bangsa yang menempati daerah Mesopotamia). Dalam sejarah mitos Greco-Roman (Yunani-Roma), ikan merupakan simbol transformasi dan penjelmaan. Hal ini dilihat dari cerita mitos Aphrodite and Heros yang menjelma menjadi ikan untuk menyelamatkan dirinya dari taifun.

Selanjutnya, dalam sejarah mitos India timur, ikan dianggap sebagai penjelmaan dan penciptaan. Dewa Wisnu mengubah dirinya menjadi ikan (Matsya) untuk menyelamatkan dunia dari banjir besar. Di China (orang Tionghoa), ikan memiliki makna yang cukup berbeda. Pengucapan ikan dalam bahasa Mandarin homofon dengan kata yang bermakna kelimpahan. Dengan demikian, ikan memiliki makna yang cukup unik yang berarti kesuburan dan kemakmuran. Sering kali terlihat ikan berenang secara beriringan sehingga juga diartikan keharmonisan sebuah pasangan. Ikan koi melambangkan cinta, persahabatan, dan keberuntungan. Ikan ini punya legenda khusus dalam sejarah kekaisaran Jepang dan China.

Nah, bagaimana dengan ikan dingkis? Dingkis sama dengan baronang (siganus sp). Bagi orang Tionghoa di Kepulauan Riau (Kepri), keberadaan dingkis sangat mutlak pada perayaan Imlek. Dingkis disajikan santapan penting di kala Raya China di Kepri. Dalam bahasa Mandarin, ikan ini disebut yu. Kepercayaan masyarakat Tionghoa bahwa jika makan ikan yu pada hari Imlek bisa mendatangkan hoki (keberuntungan). Tak tanggung-tanggung, hoki yang akan mereke peroleh selama satu tahun.

Adat diisi, tembaga dituang. Begitulah kaedahnya. Nak menyentap hidangan dingkis saat Imlek pun ada adatnya. Jika sudah habis kita lahap satu sisi dingkis, kita dilarang membalik ikannya dengan maksud menyentapnya lagi. Begitulah adat resamnya. Itu pun terjadi ketika Imlek. Jika sudah habis di satu sisinya, ambil lagi ikan yang masih utuh. Adat resam selanjutnya ketika nak makan dingkis saat Imlek, yaitu orang yang lebih muda akan mendahulukan orang yang lebih tua untuk menyantap hidangan dingkis. Tentu saja ini berkaitan dengan rasa hormat kepada yang lebih tua.

Dingkis disebut juga ikan Imlek. Musim bertelur ikan ini terjadi dua kali dalam setahun. Musim bertelur pertama terjadi bertepatan pada perayaan Imlek, yaitu Februari-Maret. Karena itu, ikan ini disebut juga ikan Imlek. Ikan ini menjadi syarat utama untuk hidangan perayaan Imlek di Kepri dan Singapura. Karena musim bertelur bertepatan dengan perayaan Imlek, tentu saja harga dingkis melambung. Permintaan meningkat. Umumnya warga Tionghoa di Kepri dan Singapura berburu dingkis dari para nelayan. Jelas sekali, inilah hoki bagi nelayan setiap tahun.

Memang betul. Harga dingkis melambung ketika menjelang Imlek. Kalau hari biasanya, harga per kilogram dingkis hanya berkisar Rp50.000 hingga Rp70.000. Ketika Imlek, harganya bisa mencapai Rp300.000 hingga Rp500.000 per kilogram. ”Inilah hoki nelayan dingkis setiap tahun. Allah Taala menganugerahkan hoki kepada nelayan melalui dingkis,” tiba-tiba Emak terkenangkan Abah ketika pernah menjadi nelayan.

Selain dingkis, yu, dan ikan Imlek, masyarakat Tionghoa di Kepulauan Riau juga menyebutnya dengan ikan baronang susu. Hal ini karena ketika dipencet pada bagian bawahnya, ikan tersebut mengeluarkan cairan berwarna putih seperti susu. Ikan ini biasanya suka bermain di terumbu karang. Di sekitar terumbu karang, lazimnya banyak ditumbuhi rumput laut dan sejenisnya sebagai makanannya. Karena itu, ikan baronang susu juga sering disebut sebagai ikan arnab (rabbitfish) karena gemar makan tumbuhan seperti kelinci. Ini ikan unik. Keunikannya bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga telah menjadi aspek peradaban tradisi kaum Tionghoa. Di balik keunikannya, ikan ini juga ternyata mengandung banyak nutrisi yang berguna untuk tubuh, seperti vitamin C, D, dan E. Vitamin tersebut sangat berguna untuk menjaga kesehatan tulang, gigi, serta daya tahan tubuh agar tubuh Anda menjadi bugar. Ikan yang memakan rumput laut ini juga mengandung vitamin A yang sangat bagus untuk kesehatan mata serta Omega 3 yang penting untuk mendukung perkembangan otak.

Bagi mereka, ini bukan ikan kaleng-kaleng. Mereka menganggap ikan ini sebagai simbol hoki dan keabadian,” kata Emak yang saat ini berusia hampir 70 tahun. Penat duduk, Emak berbaring di katel yang beralas lece empuk buatan Singapura.

Kata Emak, bagi warga Tionghoa di Kepri dan Singapura, masakan dari dingkis harus tersaji ketika Imlek tiba. Jika tidak, mereka percaya akan mendapat sial sepanjang tahun. Inilah alasannya mengapa mereka tetap akan membeli dingkis meskipun harganya melangit. Namun yang jelas, Emak menyambung kisahnya, Allah Taala mengirimkan rezeki berlipat kepada nelayan setiap tahun melalui dingkis. Nikmat yang mana lagi yang nak kaudustakan? Banyaklah bersyukur.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 29 Jumadil Akhir 1443 / 01 Februari 2022.

Baca : Cupak

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *