Globalisasi Kebohongan

Turun Gunung

Jangan berteman si orang kikir
sungguh manis buah delima
sihir globalisasi merusak pikir
demokrasi rasuah dijadikan panglima

Madu mashur rimba sialang
dibuat obat penghilang radang
yang benar menjadi pecundang
kenapa kebohongan selalu menang

Daging kambing dibuat kebab
buluh perindu dijadikan pemikat
itulah pertanda negeri diazab
tersebab penghuninya kufur nikmat

SALAM aqal cerdas.

Apa khabar pembaca yang arif budiman nan bijaksana. Semoga hari-harinya senantiasa diliputi kebahagian, dan tentu juga kesehatan. Amin.

Mohon maaf sejenak ya pembaca. Jengah Jenguk Cendekia (J2C), tidak terbit sebagaimana biasa hari Sabtu, namun hari ini Senin (7/2). Insya Allah berikutnya akan terbit seperti biasa. Semoga.

Jengah Jenguk hari ini bermaksud kalau dikatakan menyadarkan khawatir ada yang tersinggunng sebagai kurang atau pun tidak sadar. Sebaliknya, dikatakan untuk ‘menggairahkan’, khawatir ada pula yang merajuk dituduh sedang atau tidak bergairah. Jengah Jenguk sedianya tak jemu mengingatkan berulang-kali untuk mengasah-tajamkan ‘indra kecerdasan bawah sadar’ kita semua. Menurut pendapat Jengah Jenguk Cendekia (J2C), kondisi kekinian sangat penting mengaktifkan kembali ‘indra kecerdasan bawah dasar’. Untuk apa? Mengulas-cermat ihwal hubungan globalisasi dengan kebohongan. Setuju?!

Globalisasi Kebohongan (GK), walaupun tidak serupa bukan bermakna tidak sama dengan kebohongan global. Hanya saja bedanya, kebohongan global lebih bersifat ‘perasaan terbohongi atau dibohongi’. Sementara Globalisasi Kebohongan adalah ‘pembohongan yang telah dilakukan baru diketahui setelah perbuatan-tindakan bohong, namun tidak ada respon. Tidak ada sanksi apalagi tindakan hukum internasional.

Sederhananya, Globalisasi Kebohongan minimal terdapat dua hal esensi merujuk tajuknya. Pertama, mengingatkan kembali bahwa bangsa-bangsa di dunia terserang ‘sindrom pelupa’. Ratusan bahkan puluhan peristiwa yang menyebabkan ketidakstabilan dan keadilan yang melanda sebuah negara akibat ‘dirampok’ (dalam wujud invansi atau aneksasi) negara lain (sebuah negara yang mengklaim super power) pemilik hak veto, tetapi selalu membawa kesengsara-mudaratan.

Kedua, Globalisasi Kebohongan dapat menggairah-sadarkan ‘sindrom pelupa’ bangsa-bangsa di dunia umumnya, dan anak bangsa di negeri ini khususnya ihwal ‘indra kecerdasan bawah sadar’. Kecerdasan saja tanpa ‘indra bawah sadar’ adalah amanah konstitusi. Lebih substansi mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan ‘mandatori penyelenggara pemerintahan negara’ kepada rakyatnya. Amat sangat disayangakan jika amanah konstitusi ini yang selalu dilupakan. Sebagai manusia yang mempunyai sifat pelupa adalah sebuah kewajaran. Namun manakala lupa terus-menerus atau lupa (pura-pura lupa) menjadi kebiasaan sangat berbahaya. Kebiasaan tersebut berdampak negatif dapat menjadikan sebuah bangsa mudah terhempas, tercampak pun terombang-ambing dalam ‘Globalisasi Kebohongan’.

Berpedoman keterhemapasan, ketercampakan dan keterombang-ambingan tersebut maka untuk mengasah-tajamkan ‘indra kecerdasan bawah sadar’, pentingnya tiga peritiwa dalam hubungan dengan Globalisasi Kebohongan diulas-ringkas berikut ini.

[1]. Penyerangan Amerika Serikat dan kroninya ke Irak. Dunia jangan sampai terlupakan atau bahkan melupakannya. Peristiwa ini merupakan bagian integral dari Globaliasi Kebohongan. Senjata pemusnah masal yang dijadikan jastifikasi untuk menginvasi (aneksasi) Irak oleh Amerika berserta kroninya atas nama PBB adalah contohnya. Untuk menggugah-bangkitkan ‘indra kecerdasan bawah sadar’ episode kebohongan tersebut sudah dielaborasi dalam dua judul film Hollywood dengan apik, manarik pun tragis.

Pertama, Green Zone yang rilis 12 Maret 2010. Ringkas alur cerita, jika saja (bangsa-bangsa) di dunia benar-benar memiliki sosok seperti Army Chief Warrant, Roy Miller (diperankan oleh aktor kondang Matt Damon) dalam kekisruhan mengenai senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction-WMD). Kisah ini mengungkap premis seorang patriot jujur yang menemukan kebenaran untuk kemudian mempublikasikannya adalah sesuatu yang hanya ada di angan-angan juga dalam Green Zone. Faktanya? Nihil!!

Green Zone mengungkap fakta kebohongan yang dilakukan oleh “pemerintah Amerika”. Banyak pihak menyebutkan dengan ‘kebohongan terbesar abad ini’. Pesan esensi dalam Globalisasi Kebohongan pada Green Zone, mengingat-sadarkan pemerintah manapun di dunia ini untuk tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh rezim Presiden Bush. Lalu sanksinya apa? Dunia terdiam seribu bahasa. Dunia lupa, terlupa atau melupa?!

Kedua, dalam film Fair Game yang rilis 5 November 2010. Dikisahkan, Valerie adalah seorang agen CIA yang ditugaskan di Timur Tengah. Selama bertugas, tak ada yang tahu identitas asli dari agen CIA yang mepunyai seorang suami diplomat (yang diperankan oleh Sean Peann) tersebut. Namun saat sang suami melakukan kesalahan, Gedung Putih dengan sengaja membocorkan identitas Valerie. Biasa dan laizm, sosok Valerie hanyalah pion yang terpaksa harus dikorbankan demi keutuhan negara? Atau setidaknya keselamatan sebagian orang penting dalam pemerintahan rezim George Bush?

Dikisahkan, Joe Wilson (Sean Penn suami Valerie) adalah seorang diplomat yang ditugaskan untuk menyelidiki penjualan uranium dari Nigeria ke Irak yang bakal dijadikan alasan invasi (aneksasi) ke negeri Sadam Hussein tersebut oleh rezim Bush. Hasilnya, Joe tak menemukan adanya penjualan uranium, namun sepertinya Gedung Putih tak peduli, tetap melaksanakan niat semula mereka. Joe lantas membawa informasi ini ke New York Times, dan dalam waktu singkat kontroversi pun tercipta. Untuk menjatuhkan kredibilitas Joe, Gedung Putih dengan sengaja membocorkan identitas Valerie, istri Joe. Ending kisah menyebabkan pernikahan dan karier Valerie hancur berantakan. Selanjutnya, silakan disaksikan filmnya.

[2]. Penyerangan WTC (penyebab serangan oleh Amerika dan kroninya ke Afghanistan). Dalam konteks Globalisasi Kebohongan dunia jangan gampang melupakan. Invasi AS dan kroninya merupakan bagian integral dari skenario Globalisasi Kebohongan. Perang Afganistan (2001-2021) yang dimulai pada Oktober 2001 tersebut, bukan tanpa sebab.

Setelah serangan WTC, 11 September (istilah populer dengan sebutan peristiwa 9/11), Amerika Serikat memulai kampanye, ‘Perang Melawan Terorisme’ di Afganistan. Tujuan perang menggulingkan kekuasaan Taliban yang dituduh melindungi al-Qaeda. Perang juga untuk menangkap Osama bin Laden. Dalang pengeboman WTC. Benarkah?

Presiden George W. Bush menuduh Osama bin Laden sebagai aktor utama penyerangan 11 September 2001. Osama bin Laden diduga disembunyikan oleh Taliban (kelompok yang menguasai Afganisthan). Kisahnya, George W. Bush meminta Taliban untuk menyerahkan Osama bin Laden, tetapi Taliban menolak. Taliban meminta bukti-bukti yang lebih jelas kepada Amerika Serikat, namun Amerika menolak. Rezim Bush menganggap permintaan Taliban sebagai hal yang mengulur-ulur waktu. Pada 7 Oktober 2001, AS memulai Operasi Kebebasan Abadi bersama kroninya Inggris. Nama kode yang diberikan oleh Amerika untuk penyerangan (konflik) ini adalah Operasi Kebebasan Abadi (Operation Enduring Freedom) yang kemudian pada 2001-2014 berubah nama menjadi Operation Freedom’s Sentinel. Pada akhirnya kemenangan diperoleh Taliban. Ada yang peduli? Dunia lupa, terlupa atau melupa?!

[3]. Pendirian PBB dengan hak veto. Belajar dari dua peristiwa sebelumnya esensi Globalisasi Kebohongan menunjukan hubungan kausalitas-signifikan dengan pendirian PBB yang sebelumnya bernama LBB. Selama ini banyak yang tidak terungkap, tentu saja keberadaan PBB sebagai ‘khilafah non rahmatan’ telah menunjukan eksistensinya. Istilah khilafah yang selalu angker, terkesan radikal juga intoleran sengaja “diframing oleh pesaingnya” yang sedang ingin berkuasa (ditegak-realisasikan). Organisasi terbesar bangsa-bangsa di dunia ini dalam konteks ‘Gelobalisasi Kebohongan’ adalah bagian integral dari “khilafah non rahmatan” (keberadaan organisasi dunia yang kehadirannya bukan untuk kemaslahatan) ummat manusia, melainkan sebaliknya.

Sejak bedirinya oragnisasi dunia terbesar ini, tampaknya terhindar dari ekspose terkait siapa penggagas, penyumbang dan tujuan utama pembentukannya. Hak istimewa (privilege, exclusive rights) yang disebut veto adalah bukti otentik bahwa organisasi dunia “berwajah khilafah” ini bukan rahmatan (non rahtaman-lil-alamin). Mohon rujuk salah satu organisasi yang ada di bawahnya, teristimewa yang membidangi kesehatan. Silakan ditelusuri jejak digital dan dihubungkaitkan dengan kondisi kekinian global.

Belajar dari isu, tajuk dus tema Globaliasi Kebohongan ini teringat ‘pesan sakral’ seorang menteri propaganda Nazi era Hitler yang bernama Paul Joeseph Goebbels (29 Oktober 1897-1 Mei 1945). Tidak salah jika banyak kalangan termasuk penulis mengakui sang mantan menteri ini sebagai ‘tokoh propaganda modern’.

Pernyataan fenomenal sang menteri yang meninggal bunuh diri ini adalah, “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya” dan “kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.”

Jengah Jenguk Cendekia mewanti-wanti. Awas jangan sampai terjangkit ‘sindrom pelupa’. Bahwa pendapat Joseph Goebbels hingga kini menjadi panutan para tokoh penting dunia diberbagai negara khususnya tokoh politik, penguasa, pembisnis pun penguasa plus pembisnis.

Biasa sebagai ulas-akhir dengan berat hati lidah terasa keluh tak sanggup menjawab pertanyaan seorang kawan: “Apakah semua yang terjadi era pandemi global merupakan bagian dari Globalisasi Kebohongan? Maksudnya, tidak saat ini, melainkan satu atau dua dekade ke depan? Seperti juga kemelut di kawasan Eropa Timur saat ini antara Ukraina yang di dukung Barat-NATO dengan Rusia?”

Wallahu a’lam bishawab. ***

Baca : Sihir Harut Marut

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *