Membantu

Jalaluddin As-Suyuti

MEMBANTU sesama dalam hal kebaikan merupakan perbuatan terpuji. Namun menjadi hina dan berdosa kalau saling membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Hidup di dunia serba bertunangan, serba berpasangan. Malam-siang, baik-buruk, senang-susah, kaya-miskin, dan seterusnya.

Bagi yang diberi kesenangan, kekayaan dan kesejahteraan, jangan lupakan orang-orang yang sengsara, menderita dan terluka di sekitarnya. Berikan bantuan. Ulurkan pertolongan. Pada hakikatnya, memberi itu merupakan tabungan kebaikan untuk sang pemberi. Suatu ketika semua yang diberikan itu akan diterima kambali. Ia seperti dipinjamkan karena suatu saat akan dibayar. Dalam Islam, pembayaran itu datang dari Allah Swt berupa pahala dan tambahan nikmat yang berlipat ganda.

Dahulu kabarnya maujud seorang ulama dari Marwaz Khurasan bernama Abdullah Ibn Mubarak (118-181 H). Setelah menunaikan semua rangkaian ibadah haji, pada suatu malam dalam tidurnya ia bermimpi. Tiba-tiba dua malaikat turun dari langit. Mereka pun berbincang. Percakapan tersebut kira-kira begini, “Berapa jumlah jemaah haji tahun ini?” Tanya temannya. “600 ribu orang,” jawab temannya di sebelah. “Berapa orang yang memperoleh haji mabrur?” Tanyanya lagi. “Hanya satu orang saja. Akan tetapi yang seorang itu menyebabkan yang lain akhirnya diterima ibadah haji mereka,” jawab temannnya lagi. “Siapa yang satu orang itu?” lanjutnya. “Almuwafaq, seorang yang berasal dari Damsyiq,” jawab temannya.

Setelah terbangun, Abdullah Ibn Almubarak pun bertekad mencari Almuwafaq sepulang dari tanah suci.

Saat bertemu Almuwafaq, ulama bernama Abdullah Ibn Almubarak langsung menceritakan mimpinya. Almuwafaq terkejut bukan kepalang karena sesungguhnya ia tidak jadi menunaikan ibadah haji tahun itu. Lalu ia pun menceritakan apa yang terjadi. Menurutnya, ia memang akan berangkat haji bersama istrinya tahun itu, dan sudah mengumpulkan tabungan sebanyak 350 dirham selama lebih dari 40 tahun sebagai hasil menjual sepatu. Namun suatu ketika, istrinya yang sedang hamil mencium bau masakan yang sangat menggugah seleranya, dan ia diminta untuk mencari dari mana aroma masakan tersebut. Setelah dicari kesana kemari rupanya berasal dari rumah seorang janda yang memiliki tiga orang anak.

Kepada perempuan itu, Almuwafaq pun meminta masakan tersebut agak sedikit. Namun sang perempuan menjawab. “Masakan ini tidak hal buat tuan,” jawabnya. “Kenapa begitu?” Tanya Almuwafaq. Lalu perempuan tersebut menceritakan bahwa anak-anaknya sudah beberapa hari tidak makan karena tidak memiliki sesuatu yang dapat dimasak. Lalu ia menemukan seekor keledai yang sudah mati. Tanpa pikir panjang diambilnya daging keledai tersebut, lalu dimasaknya. “Inilah masakan itu,” kata perempuan tersebut.

Mendengar cerita perempuan itu, Almuwafaq pun langsung pulang ke rumah dan mengambil serta menyerahkan semua tabungan hajinya dan istrinya kepada perempuan tersebut.

Cerita singkat di atas memberi pelajaran dan pengajaran, bahwa ternyata betapa besar manfaat memberi dalam kehidupan. Maka biasakan memberi atau menolong orang lain walaupun ketika sedang dalam kesulitan.

Menurut Imam al-Qusyairi an-Naisaburi; sementara sebagian kalangan sufi, bahwa derma (sakha’) adalah tahap pertama disusul oleh juud, kemudian memprioritaskan orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah pemilik sakha’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya, ia adalah orang yang memiliki juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar.

Hari ini betapa banyak orang mendepositokan uangnya di bank untuk hari tuanya atau untuk masa depan anak cucunya. Akan tetapi tak banyak yang mendepositokan hartanya untuk masa depannya yang jauh, yaitu akhirat yang pasti tiba. Dan menyisihkan sebagian rezeki untuk hamba Allah yang sangat memerlukan merupakan bagian dari deposito itu.

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). (Q.S: al-Hasyr: 9)

“Orang yang pengasih akan dikasihi Zat yang Maha Pengasih. Kasihanilah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu.” (HR. Tirmizi)

Kata Rumi, barangsiapa menanam pohon berduri di dunia, jangan mencari dia di taman mawar, Kitab orang sufi bukan dari tinta dan huruf, itu tidak ada, tapi yang ada sebuah hati seputih salju.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Pemusnah Kebaikan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *