Buah Syahadat

ORANGorang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hujurat: 14)

Cukupkah dengan hanya mengatakan bahwa diri ini sudah beriman lalu telah menjadi mukmin? Sudahkah iman itu masuk ke sanubari, ke dalam kalbu? Sudah mukminkah sebelum semua perintah Allah dan rasul-Nya dibuktikan dalam amal perbuatan?

Dikatakan beriman kepada Allah itu adalah mengikrarkannya dengan lidah berupa mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain), lalu apa yang diucapkan dengan penuh kesungguhan itu ditasdiqkan, diyakini atau dibenarkan dengan sebenar-benarnya dalam hati, lalu dibuktikan atau diaplikasikan dalam laku perbuatan-perbuatan amal kebaikan.

Ketika bersyahadat, di sana ada ikrar yang mantap dengan keyakinan hati yang kuat dan dalam berdasarkan bukti-bukti serta dalil-dalil yang akurat bahwa Tuhan yang hak disembah itu hanya Allah Swt saja, dan Nabi Muhammad Saw itu benar-benar rasul-Nya. Setelah syahadatain diikrarkan lalu diiringi dengan pengamalan sehari-hari sebagai bukti dari ikrar tersebut. Ya, Tindakan keseharian mesti sejalan dengan ucapan yang telah diikrarkan itu.

Ucapan syahadat tersebut punya konsekwensi. Dia tak selesai dan rampung hanya diucapkan dengan lisan. Ia mesti diyakini benar, lalu diinternalisasi dalam tingkah keseharian dengan iktikad, ucapan dan tindakan-tindakan baik yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt dan nabi Muhammad Saw.

Kabarnya, karena mengetahui konsekwensi itulah Abu Thalib, paman nabi tidak mau mengucap dua kalimat syahadat tersebut, karena kalau itu diikrarkan maka ia harus meninggalkan semua bentuk prilaku jahiliyahnya, dan menukarnya atau menggantinya dengan prilaku islami.

Pertanyaannya, hari ini sudahkah kita mampu bersyahadat dengan sungguh-sungguh? Bersyahadat tidak hanya di mulut tapi di hati, dan dilaksanakan dalam bentuk amal perbuatan baik saat meniti hari-hari dalam hidup ini.

Jika pernah tersilap atau tersalah langkah dan tingkah dalam meniti jembatan kehidupan ini, maka pintu taubat amat terbuka lebar. Jangan pernah putus harapan. Jangan sampai tergelincir di jembatan shirat al-mustaqim.

Sebelum itu tiba, maka mari kita kembali. Perbaiki diri. Tingkatkan kuantitas dan kualitas ibadah sesuai dengan tuntunan syariat yang benar. Mari segera bertobat. Melaksanakan yang diperintah, meninggalkan yang dilarang Allah Swt dan Rasul-Nya.

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong.” (Q.S: Az-Zumar: 54)

Kata Rumi dalam puisinya Kembali kepada Tuhan: 
Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka,
maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan
Begitulah caranya!
Jika engkau hanya mampu merangkak,
maka merangkaklah kepada-Nya!
Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk,
maka tetaplah persembahkan doamu
yang kering, munafik dan tanpa keyakinan;
karena Tuhan, dengan rahmat-Nya
akan tetap menerima mata uang palsumu!
……..

Wallahu a’lam. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *