Bahasa, Agama, dan Kuasa

Pemuda

PENGETAHUAN, kata Gadamer, mengandung atau bersifat kebahasaan. Maka, pengetahuan tidak akan mungkin menjadi sebuah pemahaman, jika ia tidak dideskripsikan melalui bahasa. Semua bentuk bentuk pemikiran akan terefleksi dalam bentuk pernyataan atau bahasa, dan semua pernyataan atau bahasa adalah komunikasi yang menuntut akan adanya pengakuan tentang kesahihan atau kebenaran yang diakui secara universal.

Namun demikian, setiap bahasa yang disampaikan, biasanya sangatlah tergantung dengan “kapital” yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga setiap “kebenaran” yang dikemukakan itu, tersembunyi kepentingan, motivasi, keyakinan, atau bahkan ilusi (Haryatmoko, 2020). Oleh karena itu, Nietzsche memberikan catatan penting dalam hal ini, yaitu ada empat prinsip model kebenaran yang patut untuk dipertanyakan.

Pertama, prinsip eksterioritas. Bahwa setiap pengetahuan atau kebenaran tersembunyi naluri untuk menindas atau tiran. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap manusia sesungguhnya memiliki hasrat yang kuat untuk berkuasa. Ungkapan-ungkapan yang seolah-olah untuk kepentingan kemanusiaan, peradaban, obyektif, demi kebaikan bersama, demi umat, demi keadilan dan seterusnya, adalah ungkapan atau bahasa untuk menyembunyikan naluri tiranik dari manusia, yaitu hasrat akan kekuasaan.

Pada posisi ini, yang paling membahayakan adalah ketika agama kemudian menjadi modus kapital dalam menyembunyikan hasrat dirinya sendiri. Atas nama perjuangan, atas nama membela agama, ia akan berupaya membenarkan diri, yang sesungguhnya itu semua adalah demi dirinya sendiri untuk berkuasa. Di sini, tidak ada relasi ikhlas dengan perjuangan lillahi ta’ala. Karena sesungguhnya, kebenaran yang diusungnya sudah dapat dipastikan tersebunyi hasrat tirani untuk berkuasa.

Kedua, prinsip fiksi. Prinsip ini mengasumsikan bahwa sesungguhnya kebenaran itu tidaklah tunggal. Nilai kebenaran memiliki wajah yang plural. Pluralitas dipahami sebagai bentuk perlawanan atas hadirnya proses penyeragaman. Prinsip ini juga mengandaikan akan adanya kekeliruan-kekeliruan terhadap kasus-kasus khusus. Sebuah kebenaran, dalam hal-hal tertentu akan disingkirkan oleh kebenaran-kebenaran baru yang datang kemudian.

Maka segala tafsir seseorang terhadap sebuah kebenaran, tidak bisa dilenyapkan sebagai sebuah bentuk “kekafiran”. Biarkan ia berdiri dengan sendirinya kebenaran itu, karena sejarah akan memutuskan apakah ia bisa bertahan atau tidak.

Ketiga, prinsip penyebaran. Prinsip ini, ingin menjelaskan bahwa kebenaran sesungguhnya tidak bergantung pada satu subyek, melainkan dari berbagai sintesa pengalaman sejarah manusia.

Dalam ranah beragama, kita tidak jarang menghendaki pola-pola beragama yang tunggal. Memperoleh pengetahuan hanya pada satu subyek kebenaran. Akibatnya, sulit untuk keluar dari kebenaran itu sendiri. Ia hanya bersikukuh dengan kebenaran yang dimilikinya. Padahal diluar mereka banyak kebenaran-kebenaran.

Keempat, prinsip kejadian. Prinsip ini menegaskan bahwa kebenaran itu sesungguhnya tidak akan mendefinisikan seluruh makna asli, melainkan penemuan-penemuan khas, sesuai dengan konteks kejadian yang dialami. Situasi dan kondisi pada konteks tertentu, akan melahirkan kebenaran baru yang berbeda dengan konteks lainnya. Prinsip ini, juga mengandaikan akan pentingnya melawan status quo, kemandegan atau lamban dalam mengalami perubahan. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk terus menafsirkan realitas, agar tersibak kebenaran yang disembunyikan oleh berbagai kepentingan.

Ketidak mampuan kita untuk terus menafsir ulang atas realitas yang kita jalani hari ini, justru akan memperkuat proses dominasi, yaitu penindasan simbolik yang dilakukan oleh mereka yang menyimpan segudang hasrat untuk berkuasa. Dominasi simbolik ini, lebih berbahaya dengan penjajahan secara fisik. Ia tidak terasa, karena terkadang secara tidak sadar direstui atau disetujui oleh kita sebagai korban.

Dalam tradisi beragama di masyarakat, kondisi itu biasanya terbangun oleh adanya pola-pola dogmatis dalam memperoleh pengetahuan agama. Sebuah sikap yang tidak pernah memberikan ruang untuk mempertanyakan seacara kritis realitas sosial di sekitarnya. Masyarakat dipertontonkan dengan adegan-adegan yang tidak boleh diketahui prosedurnya. Masyarakat digiring untuk memperolah kebenaran, tetapi tidak pada aktivitas berfikir mereka sendiri.

Dalam situasi yang seperti itu lah, kemudian kita justru mendapati berbagai bahasa agama, demi Tuhan, demi Muhammad, demi Islam, yang kemudian dikapitalisasi sesuai dengan yang diinginkannya. Jadi, kapitalisasi tidak hanya milik Barat yang memang kapitalis. Kita, orang beragama, tidak jarang telah mengkapitalisasi cara beragama kita di hadapan Tuhan, yaitu menjadikan agama sebagai media untuk mewujudkan hasrat berkuasa melalui (dominasi) bahasa. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Kekerasan pada Perempuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *