Prahara Kemanusiaan itu Perang

Pemuda

TIDAK ada kejahatan yang lebih hebat dari pada perang. Sekali terjadi ledakan oleh rudal atau senapan mesin lainnya, bisa membunuh ratusan orang. Maka prilaku manusia ini disebut dengan kejahatan perang (war crime). Perang bagaiamanapun telah menghilangkan hak azasi manusia. Ketika perang terjadi, tidak ada lagi batas kemanusiaan. Ratusan Undang-Undang atau apa pun namanya, untuk mengatur perang (perang kok diatur ya), tetap saja warga sipil yang tidak berdaya, menjadi korban atasnya.

Lebih-lebih dengan adanya sistem persenjataan modern saat ini, perang telah menjadi “neraka” bagi anak-anak dan perempuan serta warga sipil lainnya. Belum habis perang di benua Arab, perang Suriah, yang telah melumpuhkan ribuan anak-anak karena trauma atas dentuman rudal dan desingan peluru, justru saat ini terhitung hari Senin, 28 Februari, lima hari sudah perang antara Rusia dan Ukraina terjadi.

Perang yang tidak seimbang antara Rusia dan Ukraina ini, dipastikan akan menyebabkan krisis kemanusiaan yang paling parah dalam era ini. Betapa tidak, jika Nuklir menjadi senjata pilihan, maka dampaknya konon lebih besar ketimbang ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang. Dampak perang nuklir modern bakal lebih masif dari pada itu, yakni setara dengan meletusnya Gunung Krakatau Tahun 1883, seluruh dunia bisa kena dampaknya, paling tidak kena debu nuklir yang beracun. Habis semua!

Potret kekerasan yang dihadirkan melalui perilaku perang itu, menjadi ahir dari peradaban masyarakat bangsa menuju kehancuran bersama (tragedy of the common). Karena perang memiliki misi menghancurkan, bukan mendamaikan. Bahwa perang hanya akan memberikan penderitaan dan kehancuran serta jutaan nyawa melayang.

Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ini, menjadi simbol dari ketidakmampuan manusia untuk menahan diri dari keserakahan. Imam Asy-Syafii berkata, “Apabila kerakusan bersarang di hati, alamat bahaya mengancam diri.” Tidak hanya diri nya sendiri yang mengalami bahaya, tetapi orang-orang disekitarnya juga akan mengalami bahaya yang sama. Sebab, perang adalah bentuk dari kolektivisme primordial, yang mengancam kedamaian bagi siapa saja. Ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan hidup manusia. Ia adalah gerakan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok dengan cara mengabaikan kepentingan individu dan kelompok lain. Kolektivisme primordial ini, tidak hanya merugikan bagi mereka yang terlibat tapi juga mereka yang tidak terlibat dalam peristiwa itu. Kelompok yang kuat akan menghancurkan kelompok yang lemah.

Konon, Nabi Nuh pernah diberitahu oleh iblis bagaimana strateginya membinasakan manusia, yakni dengan menanamkan sifat dengki (hasad, iri hati) dan serakah dalam diri manusia. “Wahai Nuh, aku akan berusaha membinasakan manusia dengan dua cara. Pertama, dengan cara menanamkan sifat dengki dalam hati mereka, dan kedua dengan cara menanamkan sifat serakah dalam jiwa mereka. Karena dengki, maka aku dilaknat Allah dan dijadikan sebagai setan terkutuk. Dan karena serakah, maka Adam menghalalkan segala makanan di surga sehingga ia dikeluarkan. Dengan dua sifat ini, kami semua dikeluarkan dari surga,” kata iblis.

Kini, kita hanya bisa menyaksikan dan berdoa agar kepongahan dua kubu, Rusia dan Ukraina, meredam dan berupaya untuk menjungjung kedamaian. Karena kita tahu bahwa di balik kekuatan Rusia ada Cina, Venezuela, Beralusia, Myanmar, bahkan ada nama Suriah yang mendukung Rusia. Sedangkan Ukraina didukung oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada, Jerman dan lainnya. Agar perang ini cepat berahir dan dunia kembali damai, perlu upaya-upaya bersama agar perdamaian segera tercipta.

Upaya itu diantaranya adalah dengan dialog. Sebagai manusia kita memiliki pikiran untuk berdialog dengan sesama. Dialog akan membuat manusia semakin bermartabat. Dialog yang baik juga menandakan masyarakat yang berciri edukatif. Jika kita sadar akan hal ini seharusnya tidak pernah ada lagi penganiayaan ataupun peperangan. Peperangan cukuplah menjadi sejarah dan kita yang sekarang tidak boleh mengikuti arus sejarah, tetapi harus berperan aktif dalam menciptakan sejarah. Kita bukanlah bidak catur yang tidak memiliki pemikiran akan kebenaran dan bergerak menganiaya bidak lain hanya karena berbeda warna atau bukan atas kemauan kita. Wallahu A’lam bi al-Shawab ***

Baca : Bahasa, Agama, dan Kuasa

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *