Mulut

Bang Long

BISMILLAH,

”Jagelah mulut kalian. Mulutmu harimaumu,” pesan Emak kepadaku sambil mengolah bahan untuk membuat lempeng sagu. Aku membatu seraya menutup mulut dengan telapak tangan.

Tidak ada orang yang tak bermulut. Sebagai anugerah Allah Taala, mulut bisa memancarkan keindahan dan kejelekan diri kita. Secara fisik, mulut berbentuk rongga terbuka. Melalui mulutlah kita makan dan minum. Mulut dibantu oleh lidah untuk mengaduk makanan. Bukan cuma itu. Mulut dan lidah bekerja sama pula ketika berbicara. Organ ini menjadi alat ucap atau artikulator utama ketika kita bercakap-cakap atau berbual-bual.

Apa yang terjadi jika di bawah hidung kita tak ada mulut? Tentu saja kita seperti monster. Ngeri. Menakutkan. Jelek. Mungkin kita tak akan punya kawan. Mungkin juga kita tak akan diterima di tengah masyarakat. Hidup tanpa mulut adalah hidup dalam jalan kesunyian. Tanpa mulut, hidup kita seperti dipasung bisu, dipenjara sengsara, dan dibelenggu hina.

“Mulut bukan untuk makan minum saja,” suara Emak lembut sambil memandangku yang sedang melahap lempeng sagu. Aku senyum seraya menggaru kepala yang tak gatal.

Kalau nak makan atau minum, kita memang menggunakan mulut. Namun, betul kata Emak, mulut bukan cuma untuk makan dan minum. Dalam kondisi normal, mulut juga berfungsi sebagai alat efektif untuk mengutarakan sekebat pemikiran yang terhimpun di otak. Mulut sebagai lambang merdeka berkata-kata benar, merdeka bersuara benar, dan merdeka menyerukan kebenaran. Meskipun kedustaan terus terjadi, tetapi mulut bukan untuk berdusta. Apakah kau tahu para pendusta? / adalah para penghardik, licik / penghina, dina / pemakan harta, tahta / penzalim, bukan salim (Tak Malu Kita Jadi Melayu, 2019:63). Dengan mulut, banyak yang menjadi penghardik, penghina, pemakan harta, dan penzalim. Karena mulut, kita jatuh ke jurang dusta.

Putu Wijaya menulis cerpen Mulut. Cerpen ini berkisah seorang perempuan cantik. Namun sayangnya, dia tak punya mulut. Di bawah hidungnya hanya datar. Matanya setajam harimau. Tak pelah lagi, perempuan itu menjadi bahan gunjingan sehingga dibawa oleh petugas untuk diinterogasi. Tentu saja tak ada kabar sedikit pun karena dia tak bermulut. Cerpen ini bentuk kritikan sosial ketika suara seseorang dipasung. Dia tak mampu menyuarakan suatu kebenaran atau kehendak orang ramai.

Setelah setahun, perempuan cantik itu pulang ke kampungnya. Masyarakat pun memandang aneh. Ada bibir tipis di bawah hidungnya. Dia sudah bermulut. Karena sudah bermulut, dara itu seperti radio rusak. Dia terus bercakap tanpa batas. Tak ada yang mengawalnya. Dia pun tak sanggup mengawal mulutnya. Tidur pun dia berbicara. Dia berbicara sesuka hati. Masyarakat jadi resah. Cerpen ini memberikan gambaran bagaimana peran mulut dalam kehidupan sosial. Mulut bisa menerkam siapa saja laksana harimau. Mulut mampu menikam dan menebas apa pun bagai pedang. Dengan mulut yang bijak, kedamaian hidup bahkan kedamaian dunia akan terwujud.

Karya sastra Melayu Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji memberikan perhatian sungguh-sungguh persoalan mulut (sekaligus lidah). Kita diberi peringatan untuk benar-benar menjaga dan memeliharanya dari mengumpat dan memuji agar selalu berfaedah bagi diri sendiri dan orang lain dan tidak tergelincir. Pasal 3, Ayat 3 menegaskan Apabila terpelihara lidah / Niscaya dapat daripadanya faedah. Pasal 4, Ayat 3 pun menegaskan bahwa Mengumpat dan memuji hendaklah pikir/di situlah banyak orang tergelincir. Di samping itu, Ayat 5 mengingatkan kita agar mulut tidak berkata dusta. Jika berdusta, mulut seseorang seperti penyakit luka bernanah dan berbau busuk. Jika sedikit pun berbuat bohong/boleh diumpamakan mulutnya itu pekung. Seanjutnya, Ayat 9 mengibaratkan mulut berkata kotor seumpama tempat pembuangan ludah/dahak. Barangsiapa berkata kotor/Mulutnya itu umpama ketor. Pasal 7, Ayat 1 berpesan agar kita tidak berlebih-lebihan ketika berkata-kata (berkomunikasi). Berlebih-lebihan ketika berkata-kata/berbicara akan berakibat pada kedustaan: Apabila banyak berkata-kata/Di situlah jalan masuk dusta. Ayat 9 menyarankan agar kita senantiasa berlemah-lembut/sopan santun ketika berkata-kata: Apabila perkataan yang lemah lembut/Lekaslah segala orang mengikut. Pasal 10 merupakan lawannya bahwa perkataan kasar mengakibatkan kegusaran: Apabila perkataan yang amat kasar/Lekaslah orang sekalian gusar. Kekacauan kehidupan sosial bisa disebabkan oleh perkataan kasar dan bersifat menghina tatanan norma tertentu.

Budayawan Indonesia asal Riau, Tenas Effendy dalam Tunjuk Ajar Melayu (1994:594-600) juga memberikan penekanan yang khas masalah mulut/berkata-kata. Misalnya kepada pemimpin. Yang dikatakan pemimpin, yang berkata dengan sunah/yang cakapnya boleh dikakap (dipegang)/yang mulutnya boleh diikut/elok tutur dengan katanya/berkata lurus bercakap benar/lurus lidah lurus tingkahnya/benar di mulut benar di hati/tahu bahasa tahu berbudi/menenggang budi bahasa orang/pilihlah karena budi bahasanya. Begitu ketatnya persyaratan menjadi dalam hal berkomunikasi, yaitu menjaga mulutnya.

Perihal menjaga mulut ini juga banyak kita temukan dalam peribahasa. Dalam peribahasa, mulut dibandingkan dengan benda lain. Perbandingan ini sebagai cerminan tingkah laku seseorang. Misalnya, mulut bagai pantat ayam, mengiaskan seseorang yang berlebihan dalam berkata-kata, cerewet, ngomel tanpa henti, banyak cakap, dan tentu saja tidak sopan. Selanjutnya, mulut disuapi pisang, pantat dikait dengan duri. Ini mengiaskan seseorang yang bermuka manis di depan orang lain, tetapi di belakangnya selalu dijelek-jelekkan, mengumpat, atau pekerjaan yang mendatangkan bahaya. Kemudian, ada pula peribahasa gatal mulut, mengiaskan seseorang yang gemar menggunjing orang lain.

”Makanya, hati-hati dengan mulut kalian,” Emak mengingatkan lagi. ”Sebab pulut santan binasa, sebab mulut badan binasa. Anjing menggonggong kafilah berlalu.” Sudah linsai sekeping lempeng sagu aku hembat.***

Alhamdulillah
Bengkalis, Senin, 27 Rajab 1443 / 28 Februari 2022

Baca : Kesetiaan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *