Perjalanan Mulia

ISRA MIKRAJ merupakan perjalanan mulia pada malam hari yang dilakukan manusia mulia yaitu Muhammad Saw oleh Allah Swt yang Mahamulia dengan kendaraan mulia yaitu Buraq dari tempat yang mulia, Masjid al-Haram ke  masjid yang mulia juga, masjid Al Aqsha hingga sampai ke tempat yang mulia juga yaitu Sidrat al-Muhtaha, Rafraf al-Akhdar bahkan lebih dari itu, bertemu dengan Zat yang Mahamulia yaitu Allah Swt dalam rangka melihat tanda-tanda kekuasaan Yang Mahamulia dan menjemput perintah yang mulia, yaitu shalat fardhu.

Peristiwa ajaib alias kejadian penuh takjub yang dikenal sebagai bagian dari mukjizat Nabi Muhammad Saw tersebut diyakini banyak ulama terjadi pada bulan Rajab, walaupun terdapat pendapat lain yang mengatakan tidak terjadi di bulan tersebut.

Peristiwa ini terjadi pada tahun duka lara atau dikenal dengan a’mu al-huzn. Di mana kala itu dua orang manusia terdekat dan tercinta nabi kembali menghadap Sang Khaliq, yaitu Khadijah al-Kubra, sang istri nabi dan Abu Thalib, paman nabi. Selain itu, kedukaan kian bertambah berat karena nabi dan para pengikutnya semakin dalam tekanan kaum kufar. Masa depan Islam dan kaum muslimin seolah kian kelam dan suram.

Rihlah atau perjalanan yang dilakukan nabi Muhammad Saw secara jasmaniah dan ruhaniah itu merupakan bagian dari salah-satu cara Ilahi untuk menghibur nabi. Bagian dari tamasya yang luar biasa. Bukan saja melihat keindahan ayat-ayat  atau tanda-tanda kekuasaan Ilahi tetapi juga menjemput sebuah tata cara peribadatan amat penting bagi manusia yaitu shalat fardhu. Nabi melintasi alam demi alam. Menyaksikan peristiwa masa lalu dan masa depan. Bercengkrama dengan manusia-manusia pilihan di masa lalu. Bahkan bertemu langsung dengan Allah Swt yang merupakan puncak tamasya yang luar biasa indah dan sempurna.

Hebatnya lagi, peristiwa itu berlangsung sangat singkat. Sebagian menyebut dari isya sampai fajar, ada juga yang menyatakan lebih singkat daripada itu, yaitu ketika kembali ke rumahnya, bantal kepala nabi masih terasa hangat.

Banyak yang tak percaya kejadian itu, tapi Allah Swt mempertaruhkan kesucian-Nya bahwa kejadian itu benar-benar nyata. Allah memulai pemberitaan dengan kata subhan al-lazi (Maha Suci). Selain itu, kejadian tersebut atas keinginan-Nya. Ia yang memperjalankan (asra). Kalau itu kehendak-Nya, apa yang tak akan berlaku? 

Perdebatan terjadi juga di antara pengamat, sebagian menyatakan yang berangkat itu ruh nabi saja, sebagian lagi menyatakan jasmani dan ruhaninya. Bagi manusia beriman, ia amat yakin bahwa yang melakukan perjalanan itu jasmani dan rohani nabi sekaligus karena berita yang disampaikan Allah Swt dalam surat al-Isra ayat 1 tersebut adalah ‘abdun (hamba). Definisi hamba adalah manusia yang terdiri dari fisik atau jasmani dan rohani sekaligus.

Isra merupakan perjalanan horizontal, yaitu dari Masjid al-Haram di Mekah ke Masjid al-Aqsha di Palestina. Sementara mikraj merupakan perjalanan vertikal, yang dimulai dari Masjid Al-Aqsha menembus langit hingga bertemu Allah Swt.

Apa hikmah di balik peristiwa yang luar biasa tersebut?

Pertama, jika Allah berkehendak maka tidak ada sesuatu yang mustahil. Kun fayakun. Maka peristiwa isra mikraj itu merupakan kehendak Allah Swt, maka itu pun terjadi dengan pasti.

Kedua, jadilah ‘abdun atau hamba Allah. Jika sudah menjadi hamba-Nya, apa pun akan dilimpahkan-Nya. Inti dari ‘abdun adalah melaksanakan yang diperintah-Nya dan meninggalkan yang dilarang-Nya. Jika ingin menjadi hamba-Nya maka lakukan yang disuruh-Nya dan tinggalkan serta jauhi yang dilarang-Nya. Jika sudah demikian maka apapun akan dianugerahkan-Nya.

Ketiga, di penghujung gelap, terang akan menyerlah. Saat kejadian isra mikraj yang luar biasa berlangsung, nabi dan kaum muslimin benar-benar dalam keprihatinan. Hidup dalam ujian amat berat memperjuangkan Islam. Maka ada redaksi mengisyaratkan gelap pada dua kata dalam surat al-Isra ayat 1 tersebut, yaitu kata asra (perjalanan malam) dan lailan (malam hari). Dan memang terlihat tak lama setelah itu nabi dan para sahabat melakukan hijrah ke kota Madinah, dan umat Islam pun mampu menggapai kemuliaan dan kegemilangan yang luar biasa, sehingga kota Yastrib pun berubah menjadi Madinah al-Munawwarah (Kota yang diliputi cahaya atau kota beradab yang cemerlang).

Keempat, masjid merupakan titik awal untuk membangun peradaban kebudayaan mulia. Jadikan masjid sebagai basis utama tempat dan proses pendidikan umat. Jangan jadikan masjid hanya sebagai tempat peribadatan semata tapi juga sebagai pusat dan basis utama untuk menumbuhkembangkan nilai ekonomi, pendidikan, politik, budaya, keamanan dan lain sebagainya.

Kelima, nabi Muhammad Saw bertemu dengan para nabi yang mulia di langit. Di langit pertama bertemu nabi Adam sebagai manusia pertama atau asal-usul umat manusia. Untuk itu dalam berjuang, jangan lupakan asal-usul kehidupan. Terutama jangan lupa Yang Menciptakan manusia (Khalik). Pahami makna, hakekat dan tujuan hidup. Dari mana berasal, di mana kini, dan kemana suatu hari nanti. Jadi, hidup mesti punya visi yang jauh (akhirah). Di langit kedua bertemu dengan nabi Yahya dan Isya. Dua manusia pilihan ini merupakan kaum muda. Artinya, umat Islam benar-benar memikirkan  nasib generasi mudanya. Membentuk mereka hingga menjadi zuriat yang super. Karena kejayaan Islam di masa depan terletak di pundak mereka.

Di langit ketiga bertemu nabi Yusuf. Dalam sejarah dikenal bahwa Yusuf merupakan manusia mulia yang  super tampan, dan ulet-pekerja keras. Pernah dijatuhkan ke dalam sumur. Hidup terlunta-lunta sebagai budak. Namun berkat perjuangan dan kerja keras serta kecerdasannya, akhirnya menjadi menteri besar. Di langit keempat bertemu dengan nabi Idris. Nabi Idris ini terkenal manusia mulia yang haus ilmu pengetahuan, rajin dan super cerdas. Seyyed Hossein Nasr menyebutnya sebagai filsuf pertama dalam sejarah umat manusia. Seorang filosof adalah manusia yang menggunakan dan mendayagunakan akal pikir serta budi pekertinya dalam menjalani kehidupan. Artinya, dibutuhkan manusia yang bukan hanya mampu bekerja keras tapi yang paling penting adalah manusia yang dapat bekerja cerdas demi meraih masa depan yang gemilang.

Di langit kelima nabi Muhammad Saw bertemu dengan nabi Harun. Dalam sejarahnya ia merupakan manusia mulia yang fasih bertutur kata, sekaligus menjadi mitra dan  jurubicara yang mendampingi nabi Musa saat menghadap Fir’aun. Ini mengisyaratkan bahwa Islam membutuhkan manusia yang mampu berkomunikasi dengan baik. Selain itu, Harun juga merupakan manusia mulia yang berprilaku santun dan setia kepada Musa. Ini mengisyaratkan bahwa hari ini Islam amat memerlukan manusia yang santun dalam bertutur dan bertindak serta kesetiaan yang tinggi untuk membela kebenaran.

Kemudian di langit keenam bertemu dengan nabi Musa. Musa merupakan simbol dari kepahlawanan, keberanian dan keberpihakan kepada kaum lemah. Musa berani menantang tirani. Membela kaum tertindas. Kemuliaan Musa juga karena berani berdialog dengan Ilahi demi membela umat Islam yang diprediksinya tidak akan mampu menegakkan shalat fardhu 50 kali dalam sehari semalam. Ini menjadi simbol agar selalu ada umat yang mampu menjadi pahlawan, berani kepada tirani, dan berpihak kepada kaum tertindas.

Di langit ketujuh bertemu nabi Ibrahim. Sebagaimana diketahui bahwa Ibrahim merupakan bapak tauhid. Rela mengorbankan anak semata wayang demi mematuhi perintah Tuhan. Ibrahim merupakan gambaran manusia mulia yang paling bertawakkal, yang benar-benar menyerahkan segalanya kepada ketentuan Ilahi. Ibrahim juga manusia yang istiqamah dalam menegakkan prinsip kebenaran walaupun bertaruh nyawa demi memuliakan Allah Swt, Zat yang Mahamulia.

Wallahu a’lam. ***

Baca: Meniru?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *