Berjalan di Atas Pipa

Bang Long

Bismillah,

ABEL Tasman menulis cerpen bertajuk Metropolitan Sakai. Cerpen ini terbit pertama kali di Kompas (1991). Lalu, terbit dalam antologi Dua Tengkorak Kepala, Cerpen Pilihan Kompas 2002. Selanjutnya, diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Abel Tasman berjudul Republik Jangkrik (2002). Pada 2014, cerpen ini terpilih dalam buku 100 Tahun Cerpen Riau (2014). Selain itu, ada pula cerpen bertajuk Pipa Darah dan Pertemuan dalam Pipa. Pipa minyak bumi dan gas yang menjalar di perkampungan Sakai mengundang imajinasi Abel Tasman untuk melahirkan cerpen berkelas.

Dari pipa itu, Abel mencungkil kemiskinan suku pedalaman. Miskin di tempat yang kaya. Kisahnya, Dolah tinggal sebatang kara. Emak Dolah meninggal karena busung lapar. Tentu saja sebab kurang makan. Kurang makan karena hidup miskin. Setelah Emak tiada, Dolah hanya ada Abah. Lalu, Abah-nya pula mati karena terlalu banyak makan. Makan berlebihan memang tak elok. Kematian Abah diiringi ratap nyanyian mantra Bomo yang penuh iba. Aroma kemenyan pun mengiringi kepergian Abah-nya. Abah Dolah mati dalam upacara dikir. Sejak kecil, Dolah sudah yatim piatu perkampungan Sakai.

”Kalian tahu, Abah-nya mati bukan karena banyak makanan,” ungkap Emak.

Saat itu, gubernur akan berkunjung ke kampung mereka. Kata Pak Kades, warga tidak boleh tampak loyo di depan gubernur. Warga harus makan banyak. Karena itu, setiap kepala keluarga diberikan jatah beras dua kilogram. Abah melahap habis nasi yang dimasak Dolah. Abah makan banyak karena kelaparan. Sudah tiga hari tak makan nasi. Begitu lahapnya, sampai beberapa kali Abah minta Dolah menanak nasi dan melahapnya. Ketika itulah terjadi hal aneh. Mulut Abah berbusa, mata terbeliak. Kata Bomo, Abah dicekik hantu. Abah mati karena sangat lapar. ”Manusia yang terkenal sangat beradab saja bisa menjadi sangat biadab kalau sudah lapar,” begitu tulis Abel dalam cerpen lain berjudul Republik Jangkrik.

Hidup miskin memang payah. Apalagi hidup miskin di tempat yang kaya. Parah, ’kan? Namun, begitulah gambaran dramatis yang tragis dalam Metropolitan Sakai dan Pipa Darah. Abel Tasman mengangkatnya dengan simbol pipa. Hakikat pipa adalah penyebaran atau pendistribusian. Pipa akan mengalirkan sesuatu. Saluran ini akan mengikuti pembagian ke arah mana yang dituju. Jika di dalam pipa itu adalah kekayaan, kekayaan itu akan menyejahterakan siapa? Atau, kekayaan itu akan menyengsarakan siapa? Pada sisi inilah, keadilan bisa calar-balar, bahkan tercabik.

Berjalan di atas pipa yang dilakukan oleh tokoh Aku dalam cerpen Pipa Darah dan tokoh Dolah dalam cerpen Metropolitan Sakai merupakan suatu ketidakpastian. Abel Tasman menempatkan pelaku utamanya dengan perangai yang penuh kebingungan. Cerpen ini membangun misteri. Ada kabar bahwa pipa-pipa itu mengalirkan darah sebagai simbol kesengsaraan. Inilah misteri yang ingin ditelusuri tokoh Aku. Sampai pada masanya kecelakaan pun terjadi. Truk fuso menabrak pipa hingga patah. Bukan cuma darah yang keluar dari bekas pipa patah itu, tetapi juga tubuh warga yang sudah terpotong-potong. Ini merupakan gambaran sadisnya keserakahan. ”Ada kecukupan di dunia untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahan manusia,” begitu kata Mahatma Gandhi.

Petuah Melayu mengingatkan kita agar hidup sederhana, bukan serakah atau rakus atau loba. Hidup jangan seperti diberi sehasta hendak sedepa, laksana berhakim pada beruk, bagai mata besar perut kecil. Sejak dulu, kehidupan di tanah Melayu memanglah memabukkan. Tanah Melayu menjadi ladang perburuan, ladang keserakahan. Keserakahan itulah yang dilukiskan Abel Tasman dalam cerpen-cerpennya yang liar dan berdarah itu. Dalam ungkapan Melayu disebutkan bahwa ”Apabila terlalu bermewah-mewah, tumbuhlah sifah gah dan serakah. Kalau hidup mabuk dunia, di akhirat badan celaka.”

Inilah deskripsi derita yang luar biasa. Sakai disimbolkan sebagai Riau yang tidak berkemampuan dalam mengelola sumber daya alam. Akhirnya, perusahaan-perusahaan itu bagai lintah menyedot kekayaan alam Melayu melalui pipa-pipa yang menjalar. Bahkan, pipa-pipa yang mengangkut kekayaan itu lebih panjang daripada jalan beraspal. Akibatnya, mereka termarjinalkan.

Saat ini, warga Sakai tidak mau lagi disebut sebagai warga terasing. Mereka sudah mendapat sentuhan Islam, teknologi, dan pendidikan. Sudah banyak di antara mereka yang berpendidikan tinggi. Mereka tidak lagi bisa dibodoh-bodohi oleh budak keserakahan itu. Kearifan lokal yang sudah menjadi terbentuk tetap mereka jaga dengan kekuatan adat. Mereka tak ingin lagi hanya berjalan di atas pipa sambil membawa kedunguan.

”Lihatlah Abah si Dolah itu bagai ayam mati di lumbung padi,” kata Emak, “Alam adalah marwah kalian,” perempuan rembulan itu menegaskan. ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 05 Sya’ban 1443 / 08 Maret 2022

Baca: Mulut

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *