Kebun Adat

Bang Long

Bismillah,
DALAM masyarakat adat, ada hutan ulayat, hutan lindung, hutan adat, tanah ulayat, kebun kampung, rimba larangan, rimba kepungan, kepungan Sialang, atau tanah adat. Semua warga bisa menikmatinya. Dia menjadi milik bersama. Digunakan bersama dan dibela bersama-sama. Semua jenis tersebut diatur dengan sistem adat yang bijaksana. Nilai-nilai luhur dalam adat menyatukan warga.Tak ada kegaduhan apapun. Damai dan aman saja. Karena milik bersama, ianya menjadi wadah ibrah bagi kehidupan berbudaya.

Saya pernah bertugas sebagai pendidik di SMPN 1 Desa Bandul pada rentang waktu 1997-2000. Pada masa itu, saya mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Budaya Melayu Riau (BMR). BMR merupakan mata pelajaran muatan lokal. Pembelajaran BMR tentu saja bertujuan mengangkat keranggian nilai kearifan Melayu di tengah kepongahan modernitas. Keangkuhan modernitas dan keserakahan telah mengganyang nilai-nilai luhur peradaban Melayu. Karena itu, generasi muda di jenjang pendidikan patut mempelajari BMR.

Berbagai rencam dipelajari. Aspek sejarah, tunjuk ajar, adat resam, kebiasaan, permainan rakyat, cerita rakyat, hingga beragam makanan dan minuman (kuliner) menjadi materi utama. Materi-materi ini diramu sedemikian rupa sehingga menjadi sedap disantap oleh peserta didik. Kami belajar bersama dengan sederhana. Kadang di dalam, kadang di luar ruangan. Kami belajar teori dan praktik apa adanya. Misalnya, peserta didik diperkenalkan dengan peralatan adat tepuk tepung tawar. Kontekstual.

Tibalah saatnya, saya mendapat jemputan acara sunatan peserta didik. Sebelum acara sunatan dimulai, ada prosesi adat tepuk tepung tawar. Nama saya dan beberapa orang lain disebut sebagai penepuk tepung tawar. Tak tahulah apa sebabnya saya diminta untuk menepuktepungtawari. Mungkin karena dianggap paham atau sekedar menghormati pendidik. Maklumlah, di kampung, rasa menghormati pendidik itu masih tinggi.

Saya melangkah ke arah peserta didik yang akan disunat. Saya akan melakukan prosesi tepuk tepung tawar. Setibanya di depan, saya kikuk. Berhenti sekejap. Mata saya berkelirau mencari sesuatu. Mata saya tak dapat menangkap di mana peralatan tepuk tepung tawar. Saya jadi seperti orang dungu. Kalut. Bingung. Tiba-tiba, seseorang menyodorkan sesuatu.

”Ini penggantinya, Pak,” katanya.

Hati saya berkecamuk bukan main. Ada geram, marah, dan mengkal rasanya. Yang disodorkannya kepada saya adalah peralatan bedak bayi. Dalam wadah itu, ada bedak dan busa bedak bayi yang biasa digunakan sehabis mandi. Saya menjadi semakin kehilangan. Betapa arus malas itu telah menggerogoti nilai kearifan lokal Melayu (Riau).

Saya ingin mengatakan bahwa kearifan lokal memerlukan kepedulian yang tinggi. Kepedulian yang tinggi itu bukan hanya pada lembaga adat, pemerintah, para leluhur, atau sesepuh adat saja, tetapi mestilah ditanamkan kepada masyakarat awam. Kepada peserta didik sebagai generasi muda, kepedulian terhadap kearifan lokal itu menjadi amat penting. Kalaulah kearifan lokal tidak kita peduliakan, maka modernitas akan semakin pongah dan garang. Generasi kita ditebas luncas.

Kemudian, pada rentang 2000-2002, saya mutasi di SMPN 2 Telukbelitung, Merbau. Saya masih mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan BMR. Di kampung yang melahirkan beberapa sastrawan besar ini, saya pun beberapa kali dijemput untuk melakukan tepuk tepung tawar acara pernikahan. Selama beberapa kali itu pula, peralatan tepuk tepung tawar diganti dengan bunga cina dan daun pandan. Tak ada daun setawar. Hilang daun ganda rusa dan sedingin. Daun hati-hati entah di mana. Daun ribu-ribu pun tak nampak. Lantas, apakah masyarakat tidak mengenali dedaunan peralatan tepuk tepung tawar?

Bukan sok pandai. Tiba-tiba saja, muncul inisiatif di benak saya. Saya ajak peserta didik membuat kebun adat di setiap kelas mereka. Dengan pagar sederhana dari kayu dan buluh, saya bersama mereka membuat kebun. Kebun itu diberi nama Kebun Tepuk Tepung Tawar. Yang ditanam adalah jenis tumbuhan untuk tepuk tepung tawar. Alam terkembang jadikan guru. Kami belajar adat dari alam. Saya pun menugaskan siswa untuk mencari jenis tanaman tersebut. Tentu saja mereka bertanya kepada orang tua atau tokoh adat di kampung. Dari sinilah, saya tahu bahwa mereka mengenali semua jenis tumbuhan itu. Mereka dapat mencari semua jenis tanaman untuk tepuk tepung tawar.

Lantas, mengapa mereka menggantikannya dengan benda lain? Tersebab malas nak melapah semak? Atau sekedar melepas aturan adat, tetapi tidak juga sesuai adat. Untuk melaksanakan acara sesuai adat, kita mesti berserah diri dengan ketentuan adat. Sikap setengah-setengah dalam melaksanakan adat, apalagi untuk mencari keuntungan dari suatu lembaga adat, akan merusak tatanan kehidupan adat dan sosial.

Kebun adat pun jadi. Sekolah kami punya kebun tepuk tepung tawar. Peserta didik menjadi lebih tahu dengan benda nyata. Beragam jenis tanaman tepuk tepung tawar tumbuh hijau. Peserta didik membela, menyiram, menyiang semak, dan memberikan baja. Alam memberikan kekayaan pelajaran bagi kita, terutama berkaitan dengan adat. Kita bisa membangun kebun adat di sekolah atau kebun adat di taman kota. Kita juga bisa membangun gudang seni ukir Melayu di sekolah atau perkantoran tertentu sebagai upaya membela adat. ”Tanda orang memegang adat / Alam dijaga, petuah diingat,” begitu kata Tunjuk Ajar Melayu (1994:603). ”Adat hidup memegang adat,” (1994:605) mengingatkan kita untuk melakukan sesuatu prosesi sesuai dengan sistem adat yang ada.

Kebun adat merupakan wadah pembelajaran budaya. Bisa juga pembudayaan belajar melalui alam sekitar. Itulah kearifan lokal yang mestinya ditanamkan ke jiwa generasi muda. Kembali ke akar, yaitu alam terkembang jadikan guru. Alam tanah air yang terkembang ini adalah kekayaan yang tiada tara. Tidak mengenal alam tanah air bermakna melupakan kekayaan kita sendiri. Hanya dengan menanamkan nilai kecintaan terhadap adat di negeri kita akan terbangun jatidiri yang perkasa. Tak patutlah kita mengubah adat semena-mena. ”Mengubah jangan semena-mena / Mengganti jangan sesuka hati,” (1994:619).***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 12 Syakban 1433 H / 15 Maret 2022

Baca: Berjalan di Atas Pipa

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *