Ekstra Maksimal

Jalaluddin As-Suyuti

“Sesungguhnya Allah Swt menyukai pekerjaan-pekerjaan yang tinggi dan mulia, dan tidak menyukai perkara-perkara yang rendah atau remeh-temeh.” Demikian disampaikan Nabi Muhammad Saw.

DALAM hadits lain yang diriwayatkan at-Thabrani disebutkan juga,”Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang melakukan pekerjaan yang dilaksanakan secara itqan (dengan kemampuan yang paling baik).”

Menurut Didin Hafidhuddin, itqan merupakan kesungguhan dan kemantapan dalam melaksanakan suatu tugas, sehingga dikerjakan secara maksimal, tidak asal-asalan, sampai pekerjaan tersebut tuntas dan selesai dengan baik.

Itqan dapat juga disebut sebagai bekerja dengan focus, ilmu, keterampilan, efektif. efisien dan konsisten yang maksimal dalam profesi apapun. Itqan merupakan etos kerja seorang muslim.

Itqan ini sudah dipraktekkan nabi Muhammad Saw dan para sahabat serta para ulama sesudahnya.

Dalam semua aktivitas kebaikan, baik dalam beribadah, bermua’malah dan perkara-perkara yang baik lainnya, nabi Muhammad Saw selalu itqan, selalu melakukannya dengan perlakuan yang terbaik. Di antara salah-satu contoh ibadah nabi yang dilakukan sangat maksimal tersebut adalah ketika ia melakukan shalat malam. Siti Aisyah pernah mengabarkan bahwa jika nabi mendirikan shalat malam, sampai kedua kakinya bengkak.

Coba analisa, shalat seperti apa sampai bisa membuat kaki bengkak? Berapa lama nabi berdiri? Kabarnya pernah seorang sahabat ingin menjadi makmum shalat malam nabi, setelah membaca surat al-Fatihah, nabi Muhammad Saw membaca surat al-Baqarah pada rakaat pertama dan surat Ali ‘Imran pada rakaat kedua.

Artinya, nabi selalu melakukan sesuatu dengan standar tertinggi. Bukan setengah hati.

Prilaku nabi ini diikuti pula oleh para sahabat nabi. Suatu ketika Umar bin Khattab r.a pernah bertekad ingin mengalahkan Abu Bakar r.a dalam perlombaan kebaikan karena dalam setiap perlombaan berbuat baik (fastabiq al-khairat), Abu Bakar selalu menjadi pemenang pertama.

Suatu ketika nabi mengumumkan bahwa dalam jihad perang yang akan dilakoni diperlukan banyak bekal. Kepada sahabat dihimbau untuk menyumbangkan harta mereka. Mendengar itu Umar bin Khattab pun bercita-cita ingin menjadi pemenang, yang paling utama tentu ingin mengalahkan Abu Bakar. Lalu Umar pun menghadap nabi dan menyerahkan hartnya. Nabi pun bertanya, “Wahai Umar, berapa banyak harta yang kau sumbangkan ini?” Umar pun menjawab. “Kusumbangkan separuh hartaku ya Rasulallah. Separuh lagi kutinggalkan untuk keluargaku di rumah.” Umar senang, ia yakin Abu Bakar dan sahabat yang lain tak akan mampu menyumbangkan harta sebanyak itu.

Tak lama kemudian Abu Bakar menghadap rasul. Ia membawa harta yang sangat banyak. Umar dan sahabat lain pun terkejut. Lalu nabi pun bertanya, “Wahai Abu Bakar, berapa banyak harta yang kau sumbangkan ini?” Abu bakar pun menjawab,” Kusumbangkan semuanya ya Rasulallah. Abqaitu lahum Allahu wa rasulah: aku tinggal pada mereka Allah dan rasul-Nya,” ucap Abu Bakar.

Tentang menutut ilmu. Suatu ketika Rasulullah Saw menyuruh sahabat bernama Zaid bin Tsabit yang terkenal sebagai sekretaris nabi untuk belajar bahasa Yahudi yaitu bahasa Ibrani atau Hebrew karena banyak sekali surat-surat dan perkara lainnya yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Lalu berangkatlah Zaid bin Tsabit yang kabarnya saat itu berumur 14 tahun ke perkampungan Yahudi untuk belajar bahasa dan kebudayaan Yahudi. Kabarnya hanya butuh 17 hari bagi Zaid untuk menguasai bahasa Yahudi dan kebudayaan Yahudi tersebut. Ini menunjukkan di samping jenius, Zaid ternyata seorang yang melakukan sesuatu dengan standar tertinggi dan paling baik dalam menuntut ilmu pengetahuan. Ini tentu mengikuti prilaku itqan atau mengerjakan sesuatu dengan semaksimal mungkin.

Menurut Majid Fakhry, sebelum melahirkan beberapa karya besarnya, al-Farabi membaca 200 kali On the Soul dan 40 kali Phisics karya Aristoteles.

Begitu juga dengan mufassir Ibnu Athiyyah al-Andalusi yang kabarnya menamatkan Kitab Shahih Bukhari sebanyak 700 kali sebelum menulis karya tafsirnya yang terkenal, yaitu Al-Muharraru al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz.

Kisah-kisah merupakan beberapa dari sekian banyak prilaku itqan yang dilakukan oleh nabi, sahabat dan para ulama di masa lalu. Itqan ini juga yang menjadi salah-satu penopang maju dan terdepannya kaum muslimin di masa lampau. Kisah-kisah di atas memberi pesan dan kesan mendalam agar dalam hidup mesti melakukan sesuatu sacara maksimal karena itu merupakan karakter seorang muslim.

Bagaimana dengan kaum muslimin sekarang? Masihkah prilaku itqan ini menjadi budaya kaum muslimin?

Wallahu a’lam.***

Baca: Perjalanan Mulia

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *