Teroris Atau Klenikis Konstitusi?

Turun Gunung

Bagan dahulu penghasil ikan
bagan sekarang negeri rokan
orde lama pemimpin disingkirkan
oder baru penguasa digulingkan

Burung bangau memburu ikan
hinggap seekor di tengah laman
orde reformasi hendak diapakan
patuhi konstitusi pasti diselamatkan

Pulau indah pulau lengkawi
jelang ramadhan sedekah berbagi
negeri yang gemahripah lohjenawi
daulat rakyat kuasa tertinggi

 

SALAM aqal cerdas.

Pembaca yang mulia, bijak nan arif, apa khabar hari ini? Semoga hari-harinya senantiasa diberkahi kebahagian, keselamatan juga kesehatan. Amin.

Kehadiran J2C hari ini bertujuan mengulas-ringkas ihwal Teroris Atau Klenikis Konstitusi. Tajuk ini merespon beragam selain berita, tema juga isu yang menjadi diskusi aktual dua minggu belakangn ini.

Istilah ‘Teroris Konstitusi’ sudah banyak dijelaskan. Istilah ini awalnya dikemukakan oleh pakar Hukum Tata Negara asal UGM, Zainal Arifin Mochtar. Respon istilahnya juga sudah banyak diulas di berbagai media. Tak jauh beda, istilah klenik satu mingguan ini juga banyak didiskusi-jelaskan. Hanya saja konteksnya berbeda. Klenik berhubung-kait dengan Ibu Kota Negara (IKN), bukan konstitusi secara langsung. Belum ada ’Klenikis Konstitusi’. Sementara teroris langsung konstitusi menjadi ‘Teroris Konstitusi’.

Walaupun keduanya berbeda antara Teroris dan Klenikis Jengah Jenguk Cendekia (J2C) berupaya mengulas-ringkas hubungan antara Teroris dan Klenekis dengan Konstitusi. Sederhananya ‘Teroris Konstitusi’ ditujukan kepada upaya yang dilakukan seseorang (personal) atau kelompok orang (oligark) terkait dengan penundaan, penggagalan (pemilu yang akan berlangsung pada 2024 mendatang) atau bahkan perpanjangan masa jabatam kekuasaan seorang kepala pemerintahan negara. Klenikis terkait hubungan dengan ‘tanah dan air’ di ihwal ibu kota negara (IKN). Dalam sudut pandang (perspektif) retorisnya sesungguhya keduanya, tetap saja berafiliasi pada ‘pengkhianatan kepatuhan terkait konstitusi’. Keterkaitan ini bermuara pada satu sumbu: cara, metode pun strategi bagaimana mempertahankan kekuasaan (orang-orang yang sedang berkuasa).

Sudah merupakan sesuatu yang susah dibantah (menjadi sebuah aksioma) jika belakangan ini di negeri tercinta sedang dilanda fenomena kekuasaan yang berwatak liar, sangat susah dikendalikan juga kelebihan ambisi. Watak ini berimbas pada tatanan konstitusi yang ingin dirusak-binasakan dengan berbagai skenario. Kesemuanya berpunca pada apa yang disebut dengan dinasti (calon pengganti penguasa) dan kerakusan politik (ambisi kekuasaan ingin menambah masa jabatan) atau sebaliknya. Sehingga ‘politik dan dinasti’ menjadi tema utama perbincangan pada hampir semua media massa: cetak, sosial tak ketinggalan elektronik-online beberapa waktu selain belakangan ini.

Bersandar pada hubung-kait itulah J2C berupaya mencermat-telaahi dua konsep yang tak layu sepanjang zaman yakni kekuasaan dan penguasa (muara dari Teroris-Klenikis terhadap Konstitusi). Perlu diungkap-telaahi selama barabad-abad sejak Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad SAW, kekuasaan menjadi sentral pembangunan atau bahkan penghancur peradaban tauhid. Diawali ketika Nabi Ibrahim AS melawan Raja Namrud, dan Nabi Musa AS menantang Firaun. Secara personal, Namrud dan Firaun adalah sosok yang merepresentasikan kekuasaan absolut, otoriter, kejam, bengis yang mengklaim sebagai ‘Tuhan’. Realitas dalam konteks kekinian, telenta Namrud dan Firaun me-reaktualisasi dan me-redefinisi dengan apa yang disebut penguasa kekuasaan (penguasa sebuah pemerintahan negara tidak saja di negeri ini).

Esensi determinasi penguasa kekuasaan Namrud dan Firaun sebagai analogi terhadap perlawanan Ibrahim dan Musa dalam lanskap kekuasaan personal merepresentasi sebuah institusi (sistem atau rezim). Sementara era Muhammad SAW kekuasaan (pengusa), tidak lagi personal melainkan dua kekuatan yang menyatu: personal dan rezim menjadi sebuah imperium; Romawi (Rum), dan Persia (Parsi). Keduanya adalah imperium besar yang merepresentasi (mewakili) kekuasaan dan penguasa. Yang pada akhirnya kebesaran kedua imperium tersebut runtuh. Keruntuhan ini adalah pintu masuk generasi sahabat pembuka keberhasilan dakwah Muhammad SAW dalam merevolusi akhlaq dari syirik (klenikis) menuju tauhid.

Belajar dari perjalanan Ibrahim, Musa, dan Muhammad dalam konteks personal (aktor) inilah yang menurut J2C perlu disampaikan ikhwal karakter kekuasaan yang dalam referensi akademis belum banyak mendapat perhatian. Selama ini yang baru ada ihwal kekuasaan hanyalah pernyataan Lord Acton (1833-1902), “Power tends to corrupt, and absolute power currupts absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup/menyimpang, dan kekuasaan yang absolut pasti korup/menyimpang).

Lebih khusus perlu dijelaskan bahwa J2C berpendapat jika kekuasaan itu mempunyai tiga karakter. Pertama, kekuasaan itu adalah bulat-utuh-kalis-monopoli, terintegrasi tak dapat dipisahkan. Jangankan dibagi-bagi, didistribusikan saja kekuasaan itu tak sudi. Kedua, kekuasaan itu cenderung korup/menyimpang, kalau tak terbatas (dibatasi, tak ada penyeimbang-oposisi), pasti korup/menyimpang (Lord Acton). Ketiga, dengan cermin pun kekuasaan tak hendak berbagi.

Mohon maaf terlepas setuju atau tidak, belajar dari negeri ini, pengalaman rezim orde lama dan orde baru, ihwal karakter kekuasaan mustahil untuk membantahnya. Manakala rezim reformasi justru merepresentasi dua wajah dari keburukan lama dan baru yang menjadi satu.

Dari sinilah ihwal karakter kekuasaan yang ketiga menjadi penting untuk dicermat-telaahi sebagai pertanda bahwa ‘Teroris dan atau Klenikis seperti pepatah bak ‘setali tiga uang’. Teroris merupakan upaya teror yang sudah menstruktur (sebati) dalam pikran bawah sadar pun juga cara meyakini akan kekuatan ‘makhluk uka-uka’ (tak kasat mata) yang merusak kecerdasan (pikiran) bawah sadar untuk terus mempertahankan kekuasaan. Kebetulan saja dalam konteks ini ada konstitusi (UUD 1945) yang membatasi (bukan ingin menghalang-halangi).

Sudah semestinya para penguasa atau yang ‘sedang merasa berkuasa’ di negeri Wakanda tetangganya negeri ‘Bercanda’ mau belajar dari karakter kekuasaan ketiga, “dengan cermin pun tak hendak berbagi”. Esensi karekater ini yang endingnya jika ‘bayangan cermin adalah determinan cermin, bukan cermin determinan dari bayangan’. Inilah kekuasaan aslinya yang ‘bayangan menjadi lawan cermin’. Begitulah sesungguhnya perumpamaan kekuasaan yang jarang terungkap dalam konteks pemahaman di khalayak umum.

Sesungguhnya realitas kekuasaan (penguasa), tak hendak lagi bercermin pada peradaban melalui kisah-kisah otentik Qurani masa lalu (Ibrahim vs Namrud, dan Musa vs Firaun). Perhatikan, kecenderungan talenta pemimpin dunia yang berkarakter bayangan. Ada negara mengangkat pemimpinnya seumur hidup. Di pihak lain, ada pula pemimpin yang berganti-ganti posisi yang pada esensinya juga bak ‘bayangan melawan cermin’. Bahkan konon, mereka si para pemimpin ketika bercermim pun tanpa ada bayangannya.

Mohon maaf. Sekedar mengingatkan kepada yang ‘merasa sedang berkuasa’!? Jangan sesekali meninggalkan sejarah. Kependekan dari Jasmerah.

Ingat!? “Cermin tanpa bayangan adalah dusta”. Pertanyaannya: apakah penguasa adalah para pendusta? Atau para ‘Teroris yang sekaligus Klenikis Konstitusi?’

Wallahualam bissawab. ***

Baca: Operasi ‘Si Kaki Tiga’

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *