Ketika Populisme Berwajah Agama

Pemuda

DULU, ketika istilah populis ini muncul, orang akan senang atau bangga ketika ia disebut sebagai populis. Misalnya, para politisi di Eropa, ketika lawan politiknya menyebut mereka sebagai politisi yang populis, mereka akan senang atau bangga, karena itu berarti mereka telah membela rakyatnya. Istilah populisme pada saat itu adalah membela rakyat atau bersama dengan rakyat.

Oleh karenanya, gerakan sosial seperti Occupy Wall Street, sebuah peristiwa yang dilakukan oleh para aktivis dalam rangka memprotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, angka pengangguran yang tinggi, keserakahan, serta korupsi, dan pengaruh perusahaan — terutama dari sektor jasa keuangan — terhadap pemerintah Amerika Serikat, bisa dikatakan sebagai gerakan populis. Bisa juga disebut bahwa praktek kerjasama antara kelompok kanan dan kiri yang melakukan kritik terhadap politik arus-utama di sebuah negara juga disebut sebagai populisme.

Dari istilah itu, populisme merupakan sebuah konsekuensi khusus untuk menentukan kategori tujuan yakni utamanya berorientasi pada rakyat atau “the people”, dan particular demand yakni sebagai sebuah permintaan sosial (demand, request) dari ketidakpuasan masyarakat dengan kondisinya sosial ekonominya (Laclau, 2005). Populisme juga disebut sebai sebuah gerakan anti-kemapanan. Yaitu sebuah gerakan yang menekankan pada nilai-nilai kebijaksanaan dan kebajikan dari ordinary people atau the silent majority melawan berkuasanya para elit yang rakus dengan kekuasaan. Populisme mencerminkan sinisme mendalam dan kebencian kepada penguasa atau pejabat pemerintah yang ada. Ordinary people merupakan pihak homogen yang dianggap baik dan layak untuk menggantikan elite yang tidak jujur. (Mude, 2007)

Nah, di Indonesia, gerakan populisme lebih mengarah pada gaya komunikasi yang dilakukan oleh sekelompok politisi dengan menganggap dirinya mewakili kepentingan rakyat banyak. Misalnya, yang sering menjadi contoh gaya komunikasi politik Prabowo pada Pemilu 2019 yang lalu. Prabowo Subianto dalam setiap sesi kampanye politiknya, selalu menyebut bahwa Indonesia telah gagal menjadi negara yang hebat di biidang ekonomi, sebab Pemerintah Indonesia telah menjual bangsa ini kepada penguasaha asing, terutama pengusaha dari Tiongkok. Negara telah mengorbankan kepentingan rakyat.

Meskipun sesungguhnya, model populisme politik seperti itu lumrah terjadi. Dalam sejarah, gaya komunikasi politik model itu sudah muncul. Misalnya Soekarno yang dikenal dengan gaya retorisnya yang kharismatik dalam berpidato, selalu menyebut dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat”. Megawati, putri Soekarno, juga menggaungkan dirinya sebagai pembela “Wong Cilik”. Hal itu semua, membuktikan bahwa gaya atau model populisme di Indonesia bukanlah merupakan sebuah barang baru karena sudah mengakar sejak lama.

Namun demikian, gerakan populisme ini akan berbahaya ketika bersentuhan dengan agama. Betapa tidak, agama yang memang pada kodratnya adalah konservatif, harus berurusan dengan wilayah kepentingan publik yang didorong oleh uang. Gerakan populisme seperti itu, akan membelah kelompok umat beragama pada garis permusuhan, kebencian, dan kecurigaan. Rangsangan permusuhan, kebencian dan kecurigaan itu, akan semakin berkobar, karena sentuhan keyakinan agama. Maka, hal-hal yang bersifat rasional menjadi irrasional. Ia akan dengan mudah tersulut dan mewujud dalam laku-laku agresif, seperti menyerang dan sebagainya.

Belajar dari pengalaman politik 2019 yang lalu, dimana masyarakat telah terpolarisasi secara akut antara “cebong” dan “kampret”. Populisme seperti ini, yang cenderung mengeksploitasi sentimen keagamaan seseorang, justru akan melabrak batas-batas persaudaraan, sistem demokrasi, dan toleransi.

Dengan begitu, populisme tidak seluruhnya identik dengan “suara rakyat kecil”, melainkan menggunakan suara rakyat kecil untuk kepentingan birahi politiknya untuk berkuasa. Suara rakyat “dibeli” oleh segelintir elit yang haus akan kekuasaan, dengan segala cara mereka lakukan demi kekuasaan. Para politikus negeri ini, sejatinya dari kecil tidak pernah menjadi “rakyat cilik”, begitu juga para pemimpin agama tidak semuanya pernah menjadi rakyat jelata, namun mereka berupaya menjadikan sentimen agama sebagai isunya; “Oh… Agama kita sedang terancam”. Mereka sedang mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok agama tertentu dan memperalat sentimen itu, demi hasrat kuasanya. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Toleransi Patriarkhi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *