Air Tanah

visi vokasi

ALHAMDULILLAH; kita masih dikaruniai Tanah Air. Sementara di belahan lain dunia, ada yang Tanah Airnya terancam hilang karena kemaruk berperang. Entah kemana agaknya mereka hendak mudik lebaran. Yang tersisa hanya lah groundwater (Air Tanah) yang mereka pijak. Itu pun kini keberadaannya antara ada dan tiada.

Hari Air Sedunia (World Water Day, WWD) 22 Maret tahun ini mengusung Tema “Groundwater-making the invisible visible” (Air tanah-membuat yang tak terlihat menjadi terlihat). Nampaknya, Indonesia lebih awal “memperingati” WWD tahun ini dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Syukuran pembangunan IKN Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (14-15 Maret) melalui Prosesi Kendi Nusantara agaknya semacam “Soft-launching WWD” ala Indonesia. Prosesi yang dipimpin langsung oleh Joko Widodo@Presiden RI lebih sarat dengan nilai-nilai spiritualitas merajut persatuan Indonesia.

Sementara Peringatan WWD yang dipimpin oleh António Guterres@Sekretaris Jenderal PBB lebih sarat dengan nilai-nilai aktualitas-merajut komitmen global untuk menyeimbangkan kebutuhan manusia dan alam dalam memanfaatkan Air Tanah bagi generasi sekarang dan masa depan.

Air Tanah sebagai harta karun terpendam bawah tanah yang menghidupi kita itu memang tak nampak. Namun, dampaknya akan nyata di serata dunia. Ketika perubahan iklim semakin memburuk, Air Tanah akan menjadi semakin kritis.

Pada tanggal 22 Maret 2022, bumi kita dihuni sebanyak 7,938,197,000 jiwa. Pada tahun 2050, jumlah penduduk dunia diproyeksikan akan mencecah 9,8 miliar jiwa. Dengan manusia seramai itu, kebutuhan akan air niscaya semakin meningkat. Akibatnya, tekanan terhadap sumber daya air juga semakin akseleratif.

Sekretaris Jenderal PBB menuliskan pesan sejagat melalui https://www.worldwaterday.org/ sempena peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2022:

“Sekitar 20 persen akuifer dunia dieksploitasi secara berlebihan. Karena itu seluruh dunia perlu meningkatkan eksplorasi, pemantauan, dan analisis sumber daya air tanah untuk melindungi dan mengelolanya dengan lebih baik serta membantu mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.”

Bagaimana dengan Riau Daratan dan Kepulauan? Hari ini memang kita yang di daratan belum mendengar ada jeritan akan kekurangan air, kecuali di beberapa kabupaten/kota di Kepulauan Riau sering hamba dengar sempat tak ada air yang menetes dari kran pipa PDAM.

Yang melengking adalah jeritan kekurangan Migor (minyak goreng), Miso (minyak solar), dan Mita (minyak tanah). Dulu kampung kita ini memang mashyur dengan sumber Migas (minyak dan gas) meski kebanyakan negeri-negeri yang kaya migas itu, realitas kehidupannya macam kena “Kutukan Sumberdaya Alam” (Paradox of Plenty@Joseph E. Stiglittz).

Kalau tak sedap mendengar sindiran “Ayam mati di lumbung padi”, maka elok lah mulai berhemat dan berfikir melintasi zaman sambil merenungkan nilai-nilai kearifan Melayu:

“Tanda Melayu berbudi, membaca zaman ianya ahli”,
“Tanda Melayu terbilang, jauh memandang ke masa datang”.,
“Makan jangan menghabiskan, minum jangan mengeringkan”

Dari Negeri Bahari, ada juga pesan kultural:

“Kalau hidup hendak selamat, pelihara lah: Laut beserta Selat, Tanah berhutan lebat karena di situ terkandung: Rezeki dan Rahmat, Tamsil Ibarat, Aneka Nikmat, Beragam Manfaat, dan
Petuah Adat”, “tanda ingat ke hari kemudian, taat menjaga laut dan hutan”.

Mari kita berkemas menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan:

Kembang Melati sungguhlah indah,
Di tengah pekarangan jadi hiasan,
Harum Ramadhan tercium sudah,
Khilaf dan salah mohon maafkan.

Apa Maciam…?***

Baca: Minyak Pengalaman

#Kolom15

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *