Cerpen Joni Hendri: Perempuan yang Terganggu Jiwanya oleh Sungai

SABAN petang Roza mandi di sungai, sambil membaca pantun pemanisnya. Sebab itulah ia terlihat senantiasa muda. Sambil menenggelamkan wajah tuanya bersama senja yang merah. Sungai itu setiap petang mengisak, menangis, bagai anak kecil tercekik. Tidak hanya menangis, tapi kesakitan. Padahal tubuh sungai itu sangatlah harum baunya, seharum bunga melur.

Roza selalu membawa sirih ketika mandi, lalu ia menenggelamkannya ke dalam sungai itu selesai dibacakan mantra. Teks mantra tersebut berbunyi pantun-pantun keramat yang amat ampuh, apalagi untuk anak muda zaman sekarang.

Ia mandi bisa dikatakan berjam-jam di pelantaran sungai itu. Kadang ia mandi mulai pukul tiga, hingga selesai pada pukul lima. Cukup lama ia mandi, dengan begitu ia selalu terlihat muda dari tahun ke tahun. Sedikit pun belum terlihat tua pada raut wajahnya. Terkadang tetangganya selalu bertanya hal-hal mengenai pantun yang ia amalkan. Tetapi Roza selalu saja mendiamkan diri, tanpa menjawab pertanyaan tersebut atau untuk memberi sebait kata agar tetangga mencatat pantun keramatnya, hingga menghilangkan penasarannya.

Roza tidak pernah merasa dirinya tua sama sekali. Ia bukan putri kahyangan dan bukan pula gadis berusia 17 tahun. Tak ada selendang sutera di pundaknya sebagai penanda bahwa ia model. Ia hanya perempuan biasa yang berwajah muda. Gaya khasnya memakai baju kebaya yang berbentuk ikan duyung. Sangat menggoda mata para remaja yang lincah. Tua selalu melawan bahasa tubuhnya dengan lekuk pinggul, hanya menipu mata-mata yang tak berdosa.

Sementara orang tepian sungai itu sibuk membicarakan perempuan itu. Sebab apabila ia mandi memakan waktu berjam-jam setiap petang. Menjadi kekhawatiran mereka, karena sungai itu ada buaya putih yang sangat berbahaya. Selalu terlihat setiap bulan purnama datang. Perisitwa-peristiwa itu menari-nari di bola mata orang tempatan tersebut. Sehingga sampai mengguncang jiwa masing-masing warga.

Bukan hanya itu, air yang dimandikan Roza juga sangat berbahaya, sudah mulai berminyak-minyak membuat tubuh berkuman atau alergi apabila dimandikan. Banyak orang hulu terkena penyakit kuman dan cacar air. Herannya, ia sedikit pun belum merasa ada yang mengganggu pada kulitnya yang agak kemerah-merahan tersebut. Kulitnya seperti bersahabat dengan air yang tercemar oleh pabrik itu.

***

Hidup Roza hanya sendiri, saudara-saudara jauh tinggal di kota. Bayang-bayang saudaranya sekan-akan hilang ditelan keadaan. Padahal kampung itu, sebuah dusun yang ramai, tapi saudara-saudaranya tidak ingin untuk berkunjung atau melihat Roza yang tinggal sendiri. Sewaktu ia kecil memang kampung itu agak sepi dari keriuhan. Tapi setelah tahun datang dan pergi, ramailah penduduknya. Roza selalu berbicara pada sungai, ia seperti orang yang terganggu jiwanya. Sebab ia hanya memikirkan sungai, tanpa memikirkan selain sungai:

”Hidup tanpa pasangan bagai hidup tak berkawan. Seharusnya pasangan datang dari para pencari ikan. Tapi, apalah daya para pencari ikan sudah lama meninggalkan sampan, diakibatkan sungai tidak menghasilkan. Ikan sudah banyak mati oleh racun limbah.”

Begitulah gambaran nasib Roza, nasib memang tidak dapat dibuang apalagi dihindari dengan kekuatan tubuh dan pikiran. Persis senasib dengan tubuh-tubuh sungai yang pasrah, begitulah gambaran perasaan pada dirinya. Tidak ada yang merasa peduli dengan nasib menimpa dirinya.

”Tapi apakah kesendirian membuat kita tak ingin hidup di dunia ini?” lanjut Roza.

Ia selalu membentur dengan perkataan sendiri. Selalu ia muntahkan kata-kata pada air sungai yang dangkal itu. Air yang berwarna keruh dan berhiaskan minyak-minyak di atas permukaan. Ia buang bayang nasib lewat percakapan sendiri tanpa teman, berharap kata-kata dari mulutnya lenyap hingga hanyut ke teluk bahkan ke laut Melaka.

Mungkin, perkataan itu sebuah makiannya kepada pabrik-pabrik yang terlibat mencemarkan sungai tersebut. Makian adalah bahasa kekesalan yang buntu atau sebuah budaya seseorang untuk melepas kepuasan diri. Luapan yang belum menemukan tempat, untuk menimbulkan dari ketidaksadaran yang sudah terpendam.

***

Para laki-laki yang diidamkan oleh Roza, mempunyai ciri-ciri yaitu mampu berkerja keras dan mencintai sungai. Menurut cerita orang-orang tepian sungai, lelaki yang dimaksudkan itu adalah para pencari ikan. Nelayan yang memang sudah menghabiskan hidupnya bersama sungai, namun beberapa pekan mereka tidak terlihat. Menurut kabarnya mereka pergi ke hutan untuk bertani kelapa dan karet.

Kemudian mereka terusir, sebelum hasilnya didapatkan. Tanah-tanah itu dirampas pengusaha industri. Lalu pengusaha menanam sawit dan menggali sumur-sumur tempat pengeboran minyak.

***

”Bagaimana kami bisa mencari nafkah! Hutan sudah dikuasa sesuka hati, sampai-sampai dibakar, dirampas dan sungai dicemari. Ikan mati, semuanya mati. Kami tak mencari ikan lagi,” ucap salah seorang laki-laki yang duduk di atas sampan, yang terikat di tebing sungai. Melihat arah asap pabrik yang mengepul. Mereka kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebab mereka hanya berjumlah sedikit. Mereka hanya bisa jadi penonton, persis seperti melihat pertunjukkan sendiwara yang ada asapnya. Sementara diri mereka gemetaran menahan kemarahan yang tak bertujuan, kelaparan, kesakitan maag, dan ada juga yang nyaris mati.

”Kepada siapa kita ingin mengadu?” Seseorang dari mereka bertanya, kepada lelaki yang bertubuh kurus.

”Kepada angin,” jawab laki-laki bertubuh kurus.

”Kepada siapa kita menumpang makan?”

”Kepada kelaparan.”

Mereka menghabiskan hari-hari dengan bermenung, menahan segala kemarahan dalam diri. Kelaparan memberontak dalam perut mereka. Tak ada yang bisa diharapkan dari sekian tanaman yang mereka tanam.

***

Roza duduk di pelantaran pinggir sungai, tempat ia biasa mandi. Memandang ke arah hilir dan hulu untuk melihat lelaki idamannya, sambil merapal pantun.

”Minyak dituang-tuang

masuk dalam kuali,

duduk macam mambang

berdiri macam bidadari.

Berkat kalimat Allah.”

Berkali-kali ia membacanya sambil mengaduk air sungai itu. Namun, berhari-hari pula tidak terlihat wajah lelaki idamannya. Memang rasa cinta selalu menimbulkan penasaran berkepanjangan, jodoh sama dengan maut. Karena tidak tau kapan datangnya. Hal yang ditunggu-tunggu serasa lama dalam kehidupan Roza.

”Aku sudah lanjut usia,” ucap perempuan itu terhadap dirinya sendiri.

”Kalau masih memilih lelaki, alamatlah hidup bagai mimpi.”

Ia mulai gelisah dengan keadaan dan harapan. Tidak lama kemudian perempuan itu bergegas meninggalkan pelantaran, lansung pergi ke tempat Mak Long Ros. Dengan langkah kaki pelan sesuai berjalannya perempuan Melayu, yang serupa dengan langkah rentak zapin. Hal itu pulalah selalu membuat para remaja kampung tergila-gila.

Roza tidak pula menginginkan berondong, ia hanya mempunyai cinta kepada lelaki pekerja keras di sungai itu. Baginya lelaki itu merupakan spesial dalam kehidupan dan sudah termasuk dalam cita-citanya.

Sampai di kedai Mak Long Ros, Roza membeli air minum dingin lalu berbicara.

”Terkadang minum air dingin di siang terik ini, rasanya nikmat.”

Langsung Mak Long Ros menyambar perkataannya: ”Tentu saja, panas ini cocok dengan hal dingin untuk membasah kerongkongan,” ucapnya sambil tersenyum.

Roza menyimpan beribu pertanyaan, ia ingin sekali menceritakan niat hati. Tapi masih menyimpan malu. Perempuan memang selalu begitu, ia lebih suka menyimpan daripada mengeluarkan hasrat hatinya.

Air yang Roza minum, mengalir di leher kemerahan terlihat air masuk mengalir. Seperti sungai yang belum tercemar. Cantik gemercik membasahi kerongkongan tidak dapat dikatakan dengan kata-kata. Bahkan pesona muncul, setiap siapa yang melihatnya.

***

Remaja-remaja kampung sering bercerita tentang Roza. Menceritakan bagaimana cantik raut wajah dan kelembutan bicaranya. Memang menggoda hati remaja untuk melihat dengan lekat, ketika berlawan arah saat berjalan. Mata selalu tidak dapat diingatkan untuk berpaling, ternyata remaja-remaja itu memang selalu mengekorinya, baik ia sedang santai di depan rumah, maupun ketika minum di kedai Mak Long Ros.

Tapi, kali ini sudah empat hari tidak kelihatan, remaja-remaja mulai bertanya-tanya dan membicarakan tentang Roza saat berkumpul sore hari:

”Ke manakah perempuan yang terganggu jiwanya itu? Di sungai tidak ada kelihatan. Pergi mandi pun tidak pernah lagi. Rumahnya pun tertutup dengan rapat, baik jendela maupun pintu. Apakah ia pergi ke ujung sungai yaitu teluk tempat pertemuan laut?”

”Mungkin begitu! Sebab sampan-sampan banyak berlabuh di sana. Karena dia belum puas dengan niat, mendapatkan lelaki pencari ikan. Atau paling tidak ia bisa melihat siapa saja di atas sampan,” jawab salah seorang dari mereka.

Seminggu remaja-remaja tidak melihatnya di mana ia berdiam. Sehingga mereka mengira ia sudah menikah dan menemukan jodoh di kuala sana. Kata orang tua-tua di kampung itu:

”Kalau perempuan sudah tua, tidak menikah, akan mengalami kesulitan jodoh. Dan jiwanya pasti akan terganggu.”

”Mungkin karena hal itulah Roza mencari-cari pasangan hidup di sana. Bak pepatah: sumur mencari timba,” kata sebagian remaja.

Roza hanya berulang dari rumahnya ke teluk, pergi pagi, pulangnya malam. Ia memang sengaja tidak melihatkan dirinya dari orang kampung. Untuk menjaga kenyamanan mulut-mulut yang berkata tentang peristiwa menikah di umur tua. Apalagi jiwanya sedang diganggu dengan laki-laki yang hidup di sungai. Jiwa yang selalu sakit apabila memikirkan tentang sungai.

***

Pada petang yang gagap Roza mulai nampakkan dirinya mandi di sungai dengan kemban kain. Sambil merapal amalan pantunnya pada sungai, lalu ia menjerit sekuat-kuatnya untuk melepas sesuatu yang tersimpan. Memang belum pernah ia keluarkan suara sekuat itu, entah kepada siapa dituju.

”Wahai sungai! Jika memang jodohmu adalah aku! Maka aku siap untuk memelukmu sampai mati! Tapi kalau jodoh aku manusia, berilah kembali nyawa ikan-ikan agar para pencari ikan kembali!” (*)

Pekanbaru, 2021

——————–
Joni Hendri, kelahiran Teluk Dalam, 12 Agustus 1993. Alumnus AKMR Jurusan Teater. Karya-karya berupa esai, cerpen, dan puisi dimuat di beberapa antologi dan media. Bergiat di Rumah Kreatif Suku Seni Riau dan Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP). Mahasiswa FIB UNILAK Jurusan Sastra Indonesia.

Baca: Cerpen Ngah Aroel: Melepas Kekasih

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *