Cerpen Gandi Sugandi: Puasa Tanpa Kepala Keluarga

USAI mandi, Masdi duduk bersila di teras depan rumah panggung. Dua tangannya lalu berkali-kali menggulung ujung bawah kain celana panjang hitam kusam sampai di lutut. Hingga terlihatlah urat-urat kaki warna hijau-kebiruan yang nyembul di betis kaki kirinya. Perlahan, diusap-usapnya betis—dimulai dari mata kaki hingga ke bawah lutut. Dirasakannya pegal-pegal di betis. Lalu, diraihlah balsam di jendela di pinggir daun pintu. Diolesinya dengan pelahan juga rata, tetapi betis kaki kanannya tidak diolesinya dengan balsam karena ada luka menganga yang belum kering di betis bekas terkena ujung cangkul.

Tatapannya lalu menerawang kosong ke depan rumah, berupa hamparan sawah yang baru ditanami bibit padi—masih jauh dari panen.

Dia kemudian memijit-mijit pinggang sebelah kiri-kanannya secara bersamaan dengan kedua tangannya, kemudian diolesi lagi balsam. Masdi yang berusia 40-an ini kembali menerawang. Dengan suara parau akibat masih keletihan setelah mencangkul di sawah, lalu berkata pada Ida istrinya yang sedang berada di dapur, “Kau sedang apa? Pijatin bahuku ya.”

Ida menyahut, “Iya tunggu sebentar, tanggung.”

Beberapa saat kemudian, sayuran daun singkong bercampur parutan kelapa, matang pula di atas katel—yang seperti biasa dimasak dengan api dari kayu bakar. Ida gegas ke teras depan, langsung memulai memijit. Masdi merasakan kenyamanan.

“Mencangkul di sawah itu payah. Badan kotor terkena lumpur, bertemu ular, lintah, kecapaian kepanasan, tetapi uang sedikit karena upahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita. Ya memang sudah segitu upahnya, sudah standar di mana-mana, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Rina anak kita kini sudah kelas 6. Aku ingin dia tetap terus bersekolah. Namun nanti, pemenuhan kebutuhan sekolahnya dari mana?” Masdi bicara panjang.

“Sabar tanpa batas, Kang. Segini mungkin rezeki kita saat ini.” Lalu, Ida tersontak kaget saat melihat di pergelangan kaki Masdi ada luka menganga.

“Kang?”

“Ya ini terkena cangkul, tadinya mau mencangkul lintah di lumpur, tetapi meliuk terus, akhirnya mengenai mata kaki.”

“Duh, Kang, pergelangan kaki luka lagi, terulang seperti tujuh tahun lalu. Berarti besok terpaksa libur. Padahal ini adalah hari pertama kuli mencangkul di musim tanam padi, mana puasa tinggal beberapa hari lagi.”

“Ya sabar.” Masdi lalu merogoh saku, memberikan semua uang pada Ida. “Ini untuk membeli beras 2 kg, sebagian lagi untukku berobat.” Ida menerima uang dengan lesu dan memisahkan 1 lembar 20 ribu untuk Masdi.

“Sehabis pulang dari puskesmas dan juga besok, Akang istirahat saja. Besok kan aku dan Rina akan bekerja memetik cabai rawit di kebun tetangga.”

“Ya.” Masdi lalu kembali menerawang.

“Kenapa, Kang?”

“Aku sudah bosan melihatmu dan anak kita dengan keadaan seperti ini. Nanti, bila pergelangan kakiku sudah kering, aku akan menyeberang pulau. Untuk ongkos dan bekal, akan pinjam ke teman.”

“Jangan, pulau seberang kan jauh. Aku takut terjadi apa-apa.”

***

MASDI dan keluarga tinggal di rumah panggung gubuk berukuran 6 m x 8 m, berdinding bilik, berjendela kaca 2 buah di muka rumah saja. Yang membuat nyaman dari rumah ini hanyalah memakai genting, bukan asbes yang tetap panas untuk berteduh di saat siang dan dingin di saat malam. Tetapi untuk mandi dan mencuci, keluarga ini mestilah pergi ke sungai kecil, sekitaran jarak 50 m—sungai tempat mengail sedikit ikan bila keluarga ini ingin menambah gizi.

Rumah Masdi ada di selingkungan sawah, perkebunan palawija dan hutan, terlewati sungai kecil, bertetangga dengan 30 rumah yang berpendar. Tak sepetak pun tanah dimiliki Masdi. Dulu, karena satu kebutuhan yang sangat mendesak, tanah warisannya yang tidak luas dijual.

Kini, pun Masdi tidak tentu bermata pencaharian. Bila di kampungnya atau kampung tetangga ada petak sawah yang akan ditanami padi, Masdi terbawa mengolah. Bila sawah-sawah telah penuh dengan bibit padi, maka Masdi ikut mencangkul di perkebunan palawija. Namun ada kalanya—seperti dulu berkali-kali—tidak ada pekerjaan sama sekali.

***

PADA hari kedua luka pergelangan kaki Masdi belum kering. Masdi tidak kerasan di rumah, pagi-pagi meskipun tertatih-tatih pergi memancing ke sungai; sementara Ida dan Rina sedang berjalan di jalan setapak menuju kebun. Jalan setapak yang sempit dan tanah yang licin tidak mengurangi kegesitan Rina berjalan karena telah dibiasakan ayah-ibunya sejak dini—dibawa serta ke sawah, ke tegalan atau bahkan sesekali ke hutan mencari kayu bakar yang sudah tergeletak di tanah.

Untuk Rina, memetik cabai rawit berarti tidak masuk sekolah, tetapi ini adalah pilihan. Dengan memetik cabai rawit, maka bisa mendapat uang. Orang tuanya seperti tidak melarang dan tidak menyuruh. Di sekolah, seringkali Rina tidak punya uang jajan. Saat melihat teman-temannya jajan, air liurnya tertahan di mulut.

***

DI kebun, cabai rawit sedang berbuah lebat, entah berapa ribu, berjarak tanam 60 cm x 60 cm. Berukuran sebesar kelingking anak-anak. Jumlah daun dan buahnya hampir seimbang dalam setiap batangnya karena begitu intensif dipelihara pemiliknya: rutin disiangi, dipupuk secara berkala. Cabai rawit yang tua berwarna hijau tua mengilat, mirip dengan warna daunnya. Cabai-cabai rawit yang masih di batang-batangnya itu menyembul ke atas, seakan ingin segera dipetik untuk kemudian ikut ke kota dijadikan sambal, menjadi santapan di warung nasi dan rumah makan.

Ibu-ibu tetangga Ida yang tinggal di sekitaran kebun cabai rawit, juga telah tampak, semua berbaju lusuh, dengan kepala ditutupi kain samping. Bersemangat memetik satu demi satu cabai rawit.

Setelah setiap penuh dalam genggaman tangan, dimasukanlah ke dalam karung masing-masing untuk setiap pemetik, untuk keakuratan nanti ditimbang, agar perhitungan upah tepat.

***

LUKA di pergelangan kaki Masdi belum benar-benar kering, masih ada kain kassa lembut yang menutupi. Namun sore ini tidak seperti biasa, wajahnya cerah. Ada uang dua juta rupiah di genggamannya. Lalu diperlihatkan pada Ida. Beberapa saat Ida tidak berkomentar, ada sedikit curiga.

“Ini uang, buat modal kerja di pulau seberang,” Masdi berkata.

“Dari mana uang itu? Lagi pula, mengapa tiba-tiba?”

Telunjuk Masdi menunjuk ke rumah bercat hijau. “Hasil pinjaman tadi siang dari Pak RW. Aku kerja di sawah, di kebun, di hutan, tidak pernah kaya. Kurang terus. Dulu juga kau pernah minta cerai. Tetapi ada Rina yang selalu menjadi rantai rumah tangga kita. Rezekiku mungkin di sana di pertambangan timah. Nanti besok bersama 2 orang teman akan berangkat.”

“Aku ikut, Kang. Nanti aku dan Rina di sini makan apa?”

“Jangan ikut. Nanti kalian di sini makan nasi dan daging. Dua minggu sekali ada transfer uang ke nomor rekening tetangga, untukmu dan Rina.”

“Besok kan puasa? Berarti kau akan berpuasa di pulau seberang? Lalu, aku dan Rina pun akan berpuasa sebulan penuh tanpa kau?”

“Iya. Kan baru tahun ini kita menjalani. Sabarlah.” ***

Bandung, Maret 2022

*) Cerpen ini sudah ditayangkan di Ayobandung.com pada 2 April 2022

Gandi Sugandi, alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan.

Baca: Cerpen Joni Hendri: Perempuan yang Terganggu Jiwanya oleh Sungai

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *