UIN Dipersimpangan Jalan (2)

Pemuda

PERSOALAN yang mengiringi IAIN ini kemudian adalah berdirinya jurusan IPA maupun IPS pada Madrasah Aliyah, yang memang menjadi calon mahasiswa di IAIN. Dalam konteks ini, lulusan Madrasah Aliyah akan sulit masuk IAIN, apabila IAIN hanya menyediakan jurusan dan program studi agama saja. Agar lulusan Madrasah Aliyah ini dapat melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN, maka IAIN harus dirubah menjadi Universitas. Dengan demikian, perubahan IAIN menjadi UIN akan membuka peluang dan kesempatan bagi lulusan Madrasah Aliyah, dan UIN juga membuka kesempatan bagi lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) untuk belajar di IAIN.

Secara politis, sesungguhnya IAIN mengamini “suara-suara” dari bawah, yang menghendaki akan kemungkinan tidak diterimanya para lulusan Madrasah di Jurusan-jurusan umum di Perguruan Tinggi Umum (PTU), agar dapat diterima di IAIN. Hal ini, menjadikan posisi tawar IAIN menjadi lebih rendah, karena IAIN menerima caon mahasiswa yang tidak lulus di PTU. Artinya, IAIN merupakan pilihan kedua dari mereka yang ingin melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi (PT).

Jika demikian kondisinya, maka argumentasi tentang ketidakberimbangan daya saing lulusan IAIN dengan PTU di Indonesia, sesungguhnya bisa dilacak dari aspek in put yang diperoleh IAIN pada masa itu. Begitu juga alasan tentang rendahnya penerimaan alumni IAIN di “pasar kerja” dibandingkan dengan PTU. PTU memiliki variasi keilmuan yang lebih banyak ketimbang IAIN, sehingga wajar mereka memiliki alumni yang tersebar diberbagai dunia kerja. Karenanya, tidak bisa membandingkan IAIN dengan PTU pada saat itu. Artinya, tidak bisa juga kita menyatakan bahwa kualitas atau mutu IAIN pada saat itu lebih jelek dari pada PTU.

Persoalan lainnya yang ingin dibongkar oleh IAIN adalah keinginan untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan atau mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum dan ilmu humaniora. Keinginan ini, didasari oleh keyakinan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah Alquran dan Sunnah. Maka segala ilmu pengatuan yang lahir tanpa didasari oleh ideologi atau dasar Alquran dan Hadits, maka bisa dipastikan ilmu itu sekuler dan tidak layak untuk digunakan oleh umat Islam.

Oleh karenanya, menurut Ahmad Zainul Hamdi (2005), bahwa gagasan tentang Islamisasi ilmu ini, sesungguhnya berputar pada dua hal; Pertama, bahwa ilmu pengetahuan itu dikonstruksi oleh individu atau kelompok yang membangunnya. Karenanya, jika sebuah ilmu pengetahuan itu lahir dari seseorang atau kelompok yang menjadikan Alquran dan Hadits sebagai pedoman hidupnya, maka bisa dipastikan ilmu pengetahuan itu telah Islami. Sebaliknya, ketika ilmu pengetahuan itu muncul dari Barat yang sekuler dan non-muslim, maka ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan yang dari Barat mestilah di Islamkan; dan kedua, menjadikan Alquran sebagai basis atau foundasi dalam membangun ilmu pengetahuan.

Problemnya kemudian adalah ketika Alquran dan Hadits menjadi landasan keilmuan, kemudian hasilnya tidak sejalan dengan Alquran dan Hadits, apakah lalu “dipaksakan” agar sama dengan teks Alquran dan hadits tersebut? Ini yang oleh Sardar disebut sebagai sebuah tragedi atau kecelakaan yang sangat berbahaya. Sardar menyebut proses ini dengan istilah Buchailisme, sebuah istilah yang merujuk pada nama Bucaille yang menerbitkan buku cukup fenomenal Bible, Qoran, dan Science pada tahun 1976 di Paris. Menurut Sardar, membuktikan kebenaran Alquran dengan capaian ilmu pengetahuan itu sangat membahayakan. Hal ini, jika ada penemuan baru atau teori baru terkait dengan ilmu pengetahuan itu, maka Alquran akan menjadi terpuruk.

Persoalan lainnya adalah ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan itu justru terkesan memaksakan diri. Sehingga terkesan hanyalah proses ayatisasi, yaitu memberikan jastifkasi ayat pada riset yang dikontruksnya. Atau memberikan simbol-simbol Islam pada keilmuan yang dibangunnya. Bahkan hanya melalui proses simbolisasi bahasa; ana, akhi, ukhti, antum dan lainnya. Pada tataran ini, proyek Islamisasi jutrus terjerumus pada simbolisasi agama (Islam).

Pada proses ini, kita gagal memahami Islam sebagai objek kajian keilmuan dan Islam sebagai landasan etis (Zainul Hamdi, 2005). Sebagai objek kajian keilmuan, Islam semestinya tunduk dan patuh dengan prosedur-prosedur keilmuan. Misalnya, sebagai sebuah teks, maka Alquran boleh dibaca dan dipahami oleh siapa saja, bahkan orang yang tidak mempercayai Alquran sebagai wahyu Tuhan sekalipun. Prosedur keilmuan untuk memahami Alquran adalah ilmu tafsir, ilmu bahasa, dan lainnya. “Siapapun boleh mengkaji Alquran, bahkan orang non-muslim pun boleh. Jika ia menggunakan prosedur ilmiah, maka derajat keilmuan yang dihasilkan sama dengan orang-orang Islam yang mengkaji Alquran” kata Fazlur Rahman (1985).

Begitu juga kata Nashr Hamid Abu Zayd dan Hassan Hanafi, bahwa Alquran sebagai sebuah teks yang terbuka maka ia juga harus menerima metode-metode baru yang berkembang saat ini. Temuan-temuan seperti ilmu hermeneutika, sosiologi, antropogi, psikologi, dan lainnya, seharusnya bisa diaplikasikan dalam memahami Alquran. Sementara Islam secara etis, menggunakan Alquran sebagai pedoman dalam bertindak dan berprilaku; seperti sikap jujur, sabar, adil, toleran, dan seterusnya. Wallahu a’lam bi al-Showab. ***

Baca: UIN Dipersimpangan Jalan (1)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *