Pemilih dan Yang Dipilh?

Turun Gunung

Setelah dijengah tentu dijenguk
berharap dinda jangan merajuk
kalau kehidupan terus terpuruk
pertanda rejim akan ambruk

Cincin berlian barang perhiasan
selalu berguna penghantar ikatan
apakah pertanda rejim pesanan
penghujung kuasa hilang pengakuan

Sembilan hari puasa ramadhan
cegah emosi jangan berselisih
semoga tiada yang dikorbankan
karena peminpin cermin pemilih

SALAM aqal cerdas

Pembaca yang mulia, tak terasa sudah hari kesembilan bulan Ramadhan. Semoga Ramadhan bulan ini pembaca nan bijak senantiasa diberkahi kebahagian, keselamatan juga kesehatan. Amin

Jengah Jenguk Cendekia (J2C) hari ini bertujuan mengulas-ringkas ihwal “Pemilih dan yang Dipilih”. Teristimewa tajuk ini didedikasikan dalam menyambut peristiwa-peristiwa penting di bulan yang berkah dan penuh rahmat ini.

Istilah pemilih [seseorang yang memilih-melakukan pilihan] jika pun dibarengi sebuah tuntutan, bukan seolah-olah menjadi sebuah penyesalan (refleksi). Benarkah? Ini tentu saja sederhananya jika seseorang yang dipilih tidak sesuai dengan harapan bagin si pemilih. Sehingga berkonsekuensi seolah-olah semua kesalahan dibebankan kepada pihak yang dipilih.

Jengah Jenguk Cendekia berupaya mendiskusikan istilah ‘pemilih dan yang dipilih’ menempatkan hubungan signifikan kausalitas. Hubungannya juga berklid-klindan yang terkoneksi secara langsung peristiwa kekinian, namun sejauh ini belum banyak terungkap ke permukaan. Hubungan tersebut menunjukkan jika seorang pemilih, memilih (melakukan pilihan), bukan karena dijadikan sebuah pilihan, melainkan memang tidak ada pilihan. Bahasa sederhananya pilihan yang tanpa alternatif pilihan.

Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi misalnya, untuk konteks negeri ini bukanlah sebuah pilihan untuk dipilih. Keberadaan bangsa, rakyat, penduduk atau manusia yang mendiaminya selalu diasosiasikan dengan sebuah sistem yang didominasi oleh cara pandang politik (kuasa) semata. Semuanya, seolah-olah tidak pernah terlepas [terbelenggu] oleh sosok kepemimpinan seseorang yang “kebetulan menjadi kepala pemerintahan-negara”.

Orde Lama, ada bung Karno. Orde Baru, Pak Harto. Sementara Reformasi ada siapa? Reformasi ada B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono dan yang lainnya. Berupaya menelaah hubungan kausalitas klid-klindan antara pemilih dengan yang dipilih selalu terkoneksi oleh zamannya (eranya) yang terkesan seolah-olah semua beban berat persoalan negara tertumpu kepada satu orang: siapa? Kepala pemerintahan-negara. Pertanyaannya: apakah pasca pemerintahan ini ada istilah lagi seperti sebelumnya. Misalnya, zaman Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan kemudian setelahnya dengan sebutan zaman “Demokrasi Pasca Pancasila”? Atau zaman era Demokrasi Oligar-Kleptokrat?

Realitas kekinian terkait penamaan dengan istilah antara pemilih dan atau yang dipilih sesungguhnya merupakan sebuah reflektif (cerminan). Saat ini tanpa ‘tendeng aling-aling’ tampaknya perlu mendapat perhatian ihwal istilah pemilih dan yang dipilih menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (terintegrasi atau sepaket). Ini disebabkan banyaknya kritikan pada konteks pemerintahan-negara saat ini yang selalu dilupakan adalah istlah pemilih [seseorang yang memilih].

Boleh jadi terlalu banyak yang tidak mengerti, paham atau jsutru tak peduli terkait istilah pemilih. Padahal jika membicarakan keberadaan berkutat ihwal pemerintahan-negara, istilah pemilih adalah kata kuncinya. Selama ini dikesankan seolah-olah istilah pemilih hanya pada peristiwa politik, rekruitmen kepala pemerintahan-negara. Peristiwanya pun hanya berlangsung lima tahun sekali yang lebih kurang dalam waktu dua atau empat menit saja [di bilik suara].

Pemilih adalah aktivitas memilih. Yang dipilih merupakan hasil pilihan si (yang) memilih (pemilih). Dalam konteks ini tentu saja dengan memilih dimaknai menentukan pilihan. Yang dipilih sejatinya adalah penuntun jalan sebagai nakhoda dalam sistem pemerintahan-negara. Ini bertumpu-pokus pada alur konstitusi (tidak inkonstitusional).

Persoalannya di lapangan (pada implementasi-realitasnya) banyak anak-bangsa di negeri ini tidak begitu peduli [agak ragu untuk mengatakan belum paham] dengan posisinya sebagai pemilih. Realitas ketidakpahaman inilah refleksi kekhilafan atau kesalahan akut anak-bangsa negeri ini.

Sebaliknya justru segelintir [sekelompok kecil] anak-bangsa yang memahaminya secara intelijen [kecerdasan]. Berbekal pengalaman hidup di dua zaman, lama dan baru, dua orde, mereka piawai mengendalikan pemilih, agar memilih pilihan sesuai dengan agendanya (mereka). Belakangan kemudian terdapat banyak masalah dengan seseorang yang dipilih oleh ‘mayoritas pemilih’. Jika ini realitasnya tentu saja bukan salah mereka. Lalu salah siapa?

Pada konteks inilah sekali lagi J2C menilai, semua anak-bangsa di negeri ini wajib menyadari jika pemilih, posisinya walaupun jumlahnya banyak, tidak menentukan. Ini disebabkan, pemilih hanya memilih hasil pilihan mereka (saringan). Itulah sebabnya mudah menjawab pertanyaan: mengapa pilihan hanya ada dua. Mengapa masyarakat terbelah menjadi dua: berhadap-hadapan [vis a vis]. Mengemukanya istilah kurang enak di dengar, tetapi perlu dikemukakan, seperti cebong vs kampret susah dibantah bagian dari ‘skenario mereka’. Dan lain sebagainya.

Sederhananya, menjadi sebuah yang aksiomatis [tak terbantahkan], semua pasti sepakat jika pemilih dan yang dipilih era reformasi khususnya, hanyalah akumulasi produk para “tetua bagian dari anak negeri yang tak rela hilang pengaruh dan kuasanya”. Menjadi wajar jika para tetua itu hanya akan rela mewariskan pengaruh-kuasa kepada generasi sedarah dan kerabatnya [anak, manantu dan cucu] saja beserta para pemodalnya (cukong oligarki).

Pertanyaannya: bagaimana jika hasil pilihannya, bukan dari darah dagingnya, bukan pula bos partai, apalagi pengusaha kaya [cukong]? Lalu pilihannya tersebut ingin pula menjadi ‘raja kecil’. Yang juga berlakon laku seperti prabu? Apa yang harus pemilih lakukan?

Bukankah yang diplih adalah cerminan si pemilih?

Wallahu a’lam bishawab. ***

Baca: Ramadhan Bulan Radikal?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *