UIN Dipersimpangan Jalan (3)

Pemuda

METAMORFOSA IAIN/STAIN menjadi UIN, merupakan ikhtiar bersama untuk tidak menjadikan studi Islam (Islamic studies) tidak terbelenggu oleh linearitas-monodisiplin. Kajian dalam studi Islam tidak berhenti pada tafsir, hadis, kalam, fiqh, tasawuf, lughah, tarikh, dan falsafah. Pada posisi ini, kajian Islam masih terjebak dalam wilayah normativitas saja. Hal ini, kemudian berdampak pada kejumudan dan stagnansi pemikiran karena tidak bisa berdialog dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Pergeseran dari Institute ke Universitas, justru meneguhkan hal demikian. Kajian keislaman sudah selayaknya lebih universe, lebih universal. Kata universitas memiliki kesamaan kata dengan istilah universal order atau universum, yang memiliki makna keteraturan alam semesta. Ia juga berdekatan dengan kata the universe, yang dibentuk dari kata sifat universalis yang berarti “umum, mencakup semua, dan menyeluruh”. Dalam bahasa Inggris, kata latin universalis menjadi universal. Kata universal ini dapat berarti konsep umum yang dapat diterapkan pada kenyataan, misalnya konsep kemanusiaan yang dapat diterapkan pada setiap manusia apapun status sosial, warna kulit, ras, dan agamanya.

Dalam Bahasa Prof. Amin Abdullah (2021), perubahan IAIN ke UIN, merubah pola pendekatan yang semula monodisiplin dalam studi Islam, menuju pendekatan yang multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Dengan model pendekatan ini, Studi Islam tidak lagi terjebak pada pola-pola pengambilan kesimpulan dengan cara yang cepat dan instan, sehingga melahirkan sikap hitam-putih, benar-salah, mudah menyalahkan dan mengkafirkan.

Problem yang agaknya semakin rumit adalah ketika UIN berhadapan dengan persoalan kebangsaan atau kenegaraan. Sebagai sebuah institusi negara, mungkinkah UIN akan bergeser lebih terbuka dengan berbagai ragam keterbukaan yang mengiringinya? Baik persoalan pendekatan dalam kajian keislaman maupun pada tataran praksisnya. Misalnya, membuka diri dari berbagai ragam etnis, kelompok, faham, dan agama di Indonesia.

Sudah menjadi “rahasia umum” di Negara ini, bahwa IAIN yang berubah menjadi UIN justru mengentalkan persoalan primordial itu sendiri. Institusi UIN justru dinikmati oleh kelompok dan faham tertentu. Penerimaan atas kelompok yang lain, hanyalah “pemanis” untuk menyegarkan pandangan bahwa UIN milik negara. UIN milik semua warga negara.

Pandangan itu muncul karena memang pada tataran empiris menguhkan hal demikian adanya. Misalnya, ketika ada kelompok lain yang mencoba masuk di lembaga ini, justru mereka “dipaksa” untuk mengikuti aturan-aturan yang terkadang bertentangan dengan ideology mereka miliki.

Jadi ada kesan yang sangat kuat, dimana UIN hanyalah milik kelompok tertentu, sementara ia adalah lembaga negara. Sebagai lembaga negara, yang dibiayai oleh pajak negara, maka sesungguhnya semua elemen bangsa memiliki hak yang sama untuk membangun dan mengisi aktivitas kelembagaan; baik sebagai akademisi, peneliti, mahasiswa, dosen, dan lainnya di UIN.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Amin Abdullah, bahwa perubahan IAIN menjadi UIN semestinya mampu menjadi penyejuk dan peretas bagi lahirnya keharmonisan dan kemashlahatan berbangsa dan bernegara saat ini. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa UIN haruslah menjadi garda terdepan untuk mendorong terciptanya;

“Kebaikan dan kemaslahatan umum (public good), ketertiban umum (public order), moralitas dan kesantunan publik (public morality), keselamatan publik (public safety), kesehatan umum (public health) dan keharmonisan sosial (social harmony) adalah nilai-nilai dan kebaikan sosial–politik tertinggi (socio-political virtues) yang perlu secara terus menerus dipegang teguh, dijadikan alat ukur kesejahteraan bersama, menjadi acuan dan pedoman bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat majemuk dimanapun berada…” (Abdullah, 2017).

UIN dengan demikian, sudah selayaknya mulai terbuka dengan berbagai aliran, faham, suku, dan bahkan agama. Bahwa hadirnya berbagai ragam etnis, suku, dan agama bahkan lintas disiplin ilmu, dalam ruang-ruang diskusi di UIN, bukanlah sesuatu yang akan mengerdilkan studi Islam di UIN. Secara paradigmatic, perubahan IAIN menjadi UIN, semestinya merubah paradigma keilmuan, yang semula terbatas pada Islamic Studies, maka menggeser pada kajian-kajian yang lebih multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Wallahu a’lam bi al-Showab. ***

Baca: UIN Dipersimpangan Jalan (2)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *