UIN Dipersimpangan Jalan (4)

Pemuda

SEMENTARA itu, metamorfosa IAIN/STAIN menjadi UIN, seringkali menyinggung tentang romantisme kejayaan masa lalu, abad ke-8 M, dimana kekuasaan Bani Abbasiah melakukan kegiatan penerjemahan secara massif karya-karya dari Persia dan Yunani.

Meskipun menurut Muqowim (2012), dari hasil risetnya menegaskan bahwa di antara factor penting yang mendorong kuatnya semangat pengembangan keilmuan pada masa itu adalah karena terinspirasi dari Alquran dan Hadits, namun yang tidak kalah penting menurutnya adalah etos kerja para ilmuan pada saat itu.

Mental para ilmuan pada saat itu yang terbuka, obyektif, dan kritis dalam mencermati setiap persoalan yang muncul, telah melahirkan apa yang disebut dengan kegelisahan akademik (sens of curiosity), oleh Iqbal disebut sebagai the principle of movement, inti dari dinamika Islam. Prinsip ini, merupakan bagian dari ijtihad bagi seseorang sebagai ekspresi dari optimalisasi fungsi akal dalam berfikir dan memecahkan aneka persoalan dengan perspektif Islam.

Wilayah kekuasaan Islam pada masa ‘Abbasyiah yang sangat luas, telah memberikan ruang terbuka bagi adanya pertemuan-pertemuan para ilmuan lintas budaya, agama, suku, dan Bahasa. Lebih-lebih wilayah-wilayah yang dikuasai Islam, merupakan wilayah yang memiliki tradisi dan peradaban intelektual yang cukup tinggi dan cukup tua; misalnya Baghdad, Ray, Damaskus, Isfahan, Kairo, Aleppo, Qayrawan, Fez, Cordova, Alexandria, Edessa, Beirut, Jundhesapur, Nisibis, Antioch, dan Harran. Kondisi ini lah yang menurut, Abraham S. Halkin (1956) telah melahirkan karya-karya besar dalam berbagai ilmu pengetahuan; ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika, dan filsafat dari Yunani, sastra dari Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa Arab.

Jadi, proses pengembangan ilmu pengetahuan pada era ini, melibatkan berbagai latarbelakang suku, budaya, dan agama. Misalnya hadirnya orang-orang Persia dari keluarga Baramikah yang telah lama bergelut dalam budaya dan peradaban Yunani.

Untuk memperkuat intensitas gerakan pengembangan ilmu pengetahuan ini, para Khalifah pada saat itu, mencoba membangun sikap moderat dengan menjadikan semua ilmuan sebagai figur yang layak untuk diberikan tempat yang selayaknya sebagai ilmuan, tanpa memandang latar dan profesi bahkan agama.

Sikap seperti ini yang seharusnya menjadi catatan penting bagi para ilmuan saat ini, yakni lebih banyak melakukan dialog-dialog lintas keyakinan yang dapat menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat untuk diamalkan.

Dari sini kemudian muncul ruang dialog keilmuan tanpa sekat wilayah, kultur, suku, bahkan agama. Diskusi-diskusi ilmiah antara muslim dengan non-muslim terjadi di ruang-ruang terbuka. Pertukaran ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid ke kerajaan Romawi di Byzantium, menjadi bukti kuat atas keterbukaan pada masa itu. Begitu juga, pelibatan ilmuan-ilmuan non-muslim dalam proyek-proyek penerjemahan oleh Khalifah al-Ma’mun, seringkali terjadi.

Perlakuan yang sama atas semua kelompok umat Islam pada masa itu, tercermin dari penghargaan yang sama diberikan kepada mereka yang berasal dari Arab, Turki, Persia, India, maupun Syria. Sehingga tidak heran jika muncul para ilmuan besar, dengan ragam latarbelakang budaya dan daerah.

Suasana yang kosmopolit ini, menjadikan para ilmuan muslim pada saat itu merasa nyaman dan tidak merasa takut oleh kebebasan berfikir dan bereksperimen. Para ilmuan muslim merasa bebas melakukan berbagai kegiatan akademik dan mendialogkan berbagai temuannya ke pusat-pusat ilmu pengetahuan. Hampir semua orang pada masa itu bergerak, bersinergi satu sama lain, untuk melakukan berbagai kajian keilmuan melalui kegiatan-kegiatan riset, diskusi, observasi, penulisan, penerjemahan, perdebatan, tentang berbagai disiplin keilmuan yang diminati.

Keterbukaan dan interaksi secara intensif yang dilakukan oleh para ilmuan Muslim dengan ilmuan-ilmuan lain tanpa sekat formal agama, suku, dan tradisi tersebut, menjadikan dinamika intelektual atau jejaring intelektual pada masa itu terbangun dengan baik. Semangat obyektif-kritis dalam menyikapi setiap persoalan maupun perkembangan ilmu pengetahuan, menjadikan mereka mampu mengadakan saling dialog, tanpa beban dengan iluan lain yang berbeda latar belakang suku, ras, tradisi dan agama. Dari kondisi inilah, lalu temuan-temuan atau produk-produk keilmuan yang bersifat universal, tumbuh subur di masa itu.

Oleh karena itu, sekali lagi, UIN dengan demikian, selayaknya mulai terbuka dengan berbagai aliran, faham, suku, dan bahkan agama. Bahwa hadirnya berbagai ragam etnis, suku, dan agama bahkan lintas disiplin ilmu, dalam ruang-ruang diskusi di UIN, bukanlah sesuatu yang akan mengerdilkan studi Islam di UIN. Wallahu a’lam bi al-Showab. ***

Baca: UIN Dipersimpangan Jalan (3)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *