Cerpen Jasman Bandul: Lailatul Qadar tak Turun di Kampung Kami

“MARI mengaji, berangsur-angsur kita dekat kepada Alquran. Tak mampu se Juz, kau bacalah dua tiga lembar saja. Kalau belum mampu juga, baca saja sehalaman. Dua hal yang ditinggal oleh Nabi Kita, dan ia menjadi petunjuk, jikapun belum, ayat-ayat itu terbiasa kita baca, Al_quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw”

Tausiah Ustad Imron malam itu, setahun yang lalu. Masih lagi aku ingat-ingat, kata-kata yang nyentak di hati “ Di Alam Barzah nanti, kita ditanya, “siapa imammu”. Jawabnya bukan Pak Hadi, atau pak yoga, tapi, Al-Quran.

“Angsoulah Miko dulu, kami tahun depan ajo” jawab seorang remaja, saat remaja sebaya mereka mengajak mengaji. “Bertadarus, minimal sekali dalam setahun, tambah khatam saat nikah, atau sekali sahaja, saat nyawa hendak hilang dari badan, itupun kadang tak telus beristifar dan tahlil”, sungutnya.

Malam-malam romadan memang menjadi malam-malam yang ditunggu oleh semua muslim dunia. Malam-malam romadan merupakan malam terbaik untuk melakukan ibadah kepada Allah dan amalan lainnya. Salah satunya tadarus Alquran. Untuk menyemarakkan tadarus Alquran, biasanya ketua remaja mesjid telah mempersiapkan jauh sebelum romadan tiba. Mereka membuat program yang berkaitan dengan Alquran. Misal, belajar hukum bacaan, belajar Irama lagu tilawah, bahkan program lomba hafalan surah pendek bagi anak-anak.

“Megat, Dikau tak ikut khatam Alquran malam ini?”, tanya Bah Ketar kepada Megat, nampak tengah bersolek di depan cermin. Mengkilap rambutnya disebabkan minyak rambut lavender. Nyengat baunya. “Nak kemane dikau nyetel ni?’, tanya Abah ketar lagi. “Aku malam ni tak terawih Bah, aku nak nengok lampu colok”, jawab Megat selambe. “Malam Lailatul Qadar ni Gat”, tengkah Bah ketar. “Ha, ini nak mencari laila…..tul ….lah Bah”. Dengan santai Megat melangkah menuju pintu dan langsung mengayuh sepeda angin Abahnya, untuk dibawa jalan-jalan menengok lampu colok, sambil mencari “Lailatul”, itu. “Gawat budak kenen ni dah”, sambut Bah ketar seraya menggeleng kepalanya. “Tak sampai lailatul qadar di kampung kami”, lanjutnya seraya memasang kopiah hitam, lalu berangkat menuju mesjid.

Megat, nama timang Bah ketar. Nama sebenarnya Sabran. Megat anak nomor dua dari tiga bersuadara. Saudaranya yang lain semua berjenis kelamin perempuan. Paling tua Hamidah, dan paling bungsu Latifah. Sejak kecil lagi, saat berumur 3 tahun megat sudah ditinggalkan ibunya, meninggal dunia saat melahirkan adik bungsunya. Sejak itulah, ia dipelihara oleh Kak Midah dan Abahnya. Kini usianya sudah 12 tahun. Sudah pandai bergaya pula.

Azan isya sudah berkumandang, Abah telahpun sampai di mesjid. Saat tiba di tangga naik, Abah menyaksikan sesuatu yang berbeda malam ini. Tak banyak kasut atau alas kaki jamaah. Dapat dihitung jumlahnya. Selain itu, suara pingkau anak-anak juga sayup saja terdengar. Sepi. “Turun Lailatul Qadar malam ini?” gurau Abah Ketar kepada seseorang di depannya. “Lailatul Qadar lari, Bah”, jawabnya. “orang-orang yang lari dari Dia tu, Ran”, pungkas Abah pada Keran.

Pemandangan hampir setiap tahun, kalau agenda lampu colok diadakan. Orang-orang hanya berlendak di jalan-jalan. Mereka menyaksikan beraneka ragam konstruksi api colok. Paling banyak gambar mesjid. Ribuan pelita dan bergelen-gelen mintak solar harus disiapkan. Pekerjaannya memakan banyak waktu dan tenaga. Jangan harap hasil hendak baik jika yang bekerja hanya dua atau tiga orang.

“Laitatul Qadar tak turun dikampung kita”, sekali lagi Abah Ketar berujar, sebelum ia masuk mesjid dan melaksanakan solat Qobliah. Dia menggeleng-gelengkan kepala.

Sudah menjadi kebiasaan, setelah selesai melaksanakan sholat Isya dan terawih berjamaah, orang-orang tua berkumpul sambil menikmati juadah yang disiapkan oleh pengurus mesjid, hasil dari sumbangan jamaah juga. Ada kopi dan makanan ringan lainnya. Pada saat itulah kesempatan mereka, termasuk Abah Ketar dapat berbincang-bincang ringan dengan jamaah yang lain. Banyak perkara yang dapat disampaikan. Terutama tentang perkembangan agama dikampungnya. Abah Ketar memang tak tinggi sekolah, tapi kalau ilmu agama Islam dia juga jadi panutan di kampung.

“Sedap kopi malam ni tuk Imam”, Abah Ketar memulai perbincangan. “Iye Bah”, jawab Pak Imam. “Sayangnya tak banyak yang minum”, berhenti sejenak sambil menyeruput kopi hitam. “Budak-budakpun macam tak ada, sunyi mesjid ni. Banyak belebih air kopi malam ni”, lanjut Abah Ketar dengan nada berat. “Usah Gaduh, Bah, biar kami medalnya”, kata Keran bergurau.

Beberapa orang remaja mesjid sedang sibuk mempersiapkan acara khatam Alquran. Menyiapkan Rehal dan Quran. Hanya beberapa orang saja. Tak macam malam-malam biasa. Sepuluh hari terakhir ini memang macam ekor tikus jumlah jamaah. Tepat malam ini, malam tujuh likou malam khatam Alquran dimesjid ini. Malam ganjil, malam diturunkannya Lailatul Qadar. Itu yang selalu didengar dalam kajian-kajian bulan puasa.

“Lari Lailatul Qadar dari kampung kita ni”, ucapan Bah Ketar terputus, sebab pembaawa acara Khatam telah memulai acara.

Beberap remaja saja yang berbaris di depan. Itupun di dominasi kaum perempuan. Sedangkan yang laki-laki, didominiasi bapak-bapak dan hanya beberapa orang pula. “Itu macam, entah berapa cebis yang ikut khatam malam ini, makin terkikis tradisi ini oleh lampu colok ni”, bisik Bah Ketar kepada Pak Imam, campur tesasul juga, di sela-sela khatam Alquran berlangsung.”Heheh”, itu saja yang terungkap dari mulut pak Imam.

Khatam Alquran di tutup dengan tahlil dan doa khatam. Kali ini untuk tahlil dan doa diminta kesediaan bapak Ustad Ali. Acara berlangsung dengan lancar meski tak banyak yang hadir. Malam-malam ganjil ini, perbanyak ibadah dan amal, niscaya dapat juga menikmati nikmatnya romadan.

“Alhamdulilillah bapak Ibu jamaah, selesai sudah acara kita malam ini, namun sebelum kita bersurai, diminta kepada Jamaah untuk jangan pulang dahulu, kita akan mengadakan musyarawah sebentar”, tutup pembawa acara.

Musyarwahpun dimulai. Tak satu orangpun yang tahu, apa yang akan dibahas pak imam. Sepertinya ini mendadak, pasti ada yang tak beres. Biasanya begitu. Termasuk Bah Ketar, dia terkejut juga saat pembawa acara mengumumkan berita itu. Di luar ruangan mesjid, beberapa jamaah berbincang perlahan. “Musayarah apa ya?”, tanya mereka separuh berbisik.

Belum sempat tuk imam hendak membuka rapat, tiba-tiba dari luar terdengar suara berteriak. “Bah…Bah…Ketar!” terlihat Awang terburu-buru memanggil Bah ketar dari luar mesjid. Semua orang yang hendak memulai musyarah terkejut. “Bah…Bah Ketar!” ulangnya sambil tersengal-sengal nafasnya. “Ngape ngentam dikau ni Wang, cakaplah yang jelas”, hardik Keran kepada Awang. “orang nak rapat”, sambungnya lagi. “ Dak Megat telanggo honda, Bah”, jawabnya.

“Astaqfirullahalazim, Megat!”, seru Abah Ketar dari dalam ruang mesjid. Sontak semuanya terkejut. Lelaki bertubuh kurus itu bergegas keluar mesjid tanpa mengenakan kasut. Ia langsung mengikuti kemana Awang pergi. Tak hanya Abah Ketar, semua jamaah turut bersama menjenguk Megat.

“ Dimane Megat” tanya Keran

“ Puskesmas, tak sadokan diri, parah dia bang”, jawab sahabat Awang.

“ Apa kesahlah Megat ni”, sambung Keran.

Abah Ketar tiba dipintu puksesmas dan bergegas menuju ruang IGD puskesmas Rawat inap. Saat membuka pintu kamar, lelaki separuh baya itu tak mampu menahan air matanya menyaksikan anaknya terbaring dengan lumuran darah, terlihat perawat tergesa-gesa merawat Megat.

“Megattttttt!……teriak Abah Ketar separuh sadar. Langsung ke katil tempat Megat dibaringkan.

“Sabar Pak, biar kami urus anak bapak”, salah seorang perawat menyabarkan Abah Ketar, sambil dengan tangkas ia membersihkan luka di bagian wajah Megat.

Di luar ruang IGD, terdengar teriakan yang lebih menyayat. “Abang Megat!”, adik bungsu Megat berteriak dan akhirnya pingsan. Paniklah ruang kamar rawat inap itu. Latifah dipindahkan ke ruang yang berbeda. Disana kakaknya yang tua Hamidah yang mengurus. Tidak hanya Megat, akhirnya adik bungsunya pun harus dilakukan tindakan segera.

Megat memang tempat Latifah bermanja. Kamana-mana dengan Megat. Namun malam ini, Latifah tak bersama Megat saat melihat lampu colok.

“Dah ada firasat Abah sebelum Dikau pergi berjalan tadi, Gat!”, sambil menangis.

“Sudahlah Bah, jangan itu dipikirkan”, kata Keran membujuk.

“Lailatul Qadar tak dapat, Musibah yang dikau terima”, sambungnya lagi dengan nada agak keras.

“Istiqfar Bah, tak boleh macam ini”, kata Keran ke Bah Ketar.

Perawat masih berkutat dengan luka Megat. Infus dan oksigen terpasang di tangan dan saluran pernafasan. Megat masih tak sadarkan diri. Bagian kepalanya luka parah. Tangan kanannya patah tulang, begitu juga kaki kanannya. Kabar dari kawan-kawan Megat, orang yang melanggar Megat memang sedang laju.

Dua jam sudah Abah Ketar dan yang lain berada di puskesmas, Megat belum sadarkan diri. Dari pihak puskesmas tidak memutuskan untuk membawa Megat untuk di rujuk ke rumah sakit umum daerah.

“Anak saya perlu di rujuk ke rumah sakit besar, Dok?”, tanya Abah Ketar.

“Sabar pak, saya lihat perkembangan anak bapak membaik”, jelas Dokter ke Abah Ketar.

“Alhamdulillah, anak bapak sudah sadarkan diri”, lanjutnya lagi.

“Alhamdulillah Megat!”, dan buru-buru masuk kamar ruang rawat.

——————————
Jasman (Jasman Bandul), lahir di Bandul, (Riau) 10 Juni 1984, Beberapa puisi pernah terbit Media Riau Pos, Radar Madura 2020. Sajaknya dan Cerpennya termaktub dalam beberapa antologi puisi Penyair Kopi Dunia (Aceh), Antologi Puisi Gempa Aceh (2017). Antologi Puisi Melukah Bulan di Musim Kemarau (2015), dan Kumpulan Cerpen Lorong (2015). Antologi Puisi, Menderas Sampai Siak, Matahari Sastra Riau, dan Mufakat Air (2017). Antologi Puisi Efitaf Padang Panjang (2018), antologi Puisi Negeri Poci 2019, antolgi Puisi Jazirah 2019. Dan antologi Hari Puisi Dunia “Berbisik pada Dunia” 2020. Antologi puisi Jazirah 2020. *

Baca: Cerpen Jasman Bandul: Muallaf Penjaja Hijab

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *