Tentang Puasa Kita

Pemuda

PUASA pada tahun ini, merupakan ibadah puasa yang kita laksanakan sebagaimana puasa-puasa pada tahun-tahun yang lalu. Siang tidak makan, tidak minum, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, pada malam harinya, kita juga disibukkan oleh shalat tarawih berjamaah di masjid atau mushalla. Bahkan tidak jarang, kita menghabiskan waktu-waktu tertentu, baik malam maupun siang hari, untuk membaca Alquran.

Begitulah aktivitas hari-hari kita selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Pertanyaan reflektifnya adalah kenapa perilaku kita dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat masih menyisakan ruang yang jauh dari tujuan berpuasa itu sendiri? Korupsi masih merajalela, bumi yang makmur tidak berbanding lurus dengan kemiskinan yang masih menjamur, sikap sombong dan ingin menang sendiri masih menguasai diri, tutur kata yang santun masih kalah dengan kata kemarahan penuh kebencian.

Banyak ceramah selama bulan Ramadhan, yang membantu kita untuk semakin dalam merefleksikan diri. Juga banyak tulisan para Ulama’ atau para intelektual kita, yang telah dibaca dan dicermati sebagai bahan renungan dan pengetahuan. Namun, tampaknya belum cukup mampu mempengaruhi perilaku kita. Kenapa begitu?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif itu menjadi penting karena selaras dengan perintah Nabi untuk senantiasa ber-muhasabah, sembari mengimani dengan kuat akan puasa yang kita jalani. Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ber-ihtisaban, nisacaya diampuna dosa-dosanya yang telah lalu, begitu janji Allah melalui mulut suci Nabi Muhammad.

Benarkah puasa kita justru beriringan dengan sikap angkuh agar dihormati dan dihargai? Apakah puasa kita hanya sekedar menunjukkan perbedaan identitas kepada orang yang berbeda dengan kita? Atau jangan-jangan puasa yang kita lakukan saat ini hanya ingin menegaskan sikap mayoritarianisme? Sebuah sikap yang menginginkan akan ruang yang bebas bagi kelompoknya atas kelompok lainnya, dalam menentukan kebijakan public dan politik.

Jika itu benar, maka puasa kita masih berada pada posisi lahiriah saja. Puasa kita belum masuk pada ceruk terdalam dalam diri kita sendiri. Puasa kita masih untuk kita sendiri.

Namun masih terperangkap dengan egoism sendiri; berbohong, menfitnah, iri, dengki, angkuh, sombong, dan seterusnya. Puasa seperti ini yang dikhawatirkan oleh Nabi “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

Bukankah Allah sengaja memerintahkan untuk berpuasa untuk Dia, bukan untuk kita? Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Qudsi yang Rasul sampaikan, bahwa “Seluruh amalan anak Adam untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Sungguh, ibadah puasa itu untuk-Ku. Akulah yang langsung akan memberikan imbalannya” (Shahïh al-Bukhâri: 1904).

Betapa banyak ibadah yang Allah berikan untuk kita, seperti Shalat, Zakat, bahkan Haji maupun ibadah lainnya yang dengan bebas kita pertontonkan kepada lainnya, agar kita layak disebut sholih? Hanya puasa saja, kata Allah, jangan engkau pertontonkan. Maka kejujuran yang diiringi dengan ketulusan yang paling dalam, menjadi modal utama dalam berpuasa.

Dengan kejujuran kita memaklumatkan bahwa Allah senantiasa menilai, membersamai, memperhatikan, setiap gerak langkah kita. Dengan ketulusan, akan menelanjangi egosme kita, betapa lemahnya kita di hadapan Tuhan. Memperkuat dua hal ini dalam berpuasa, akan menghantarkan diri kita pada proses perbaikan-perbaikan tata laku sehari-hari. Ia akan mendorong lahirnya perubahan prilaku, baik untuk dirinya dan semua manusia.

Berbuat baik bagi sesama manusia itu, merupakan refleksi dari ragam ekpresi ibadah untuk Allah. Sebagaimana kisah yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ketika ditanya oleh Allah, “Wahai Musa, terlalu banyak ibadahmu, mana ibadah untuk-Ku?” Musa pun terkejut tiada terkira, sebab selama ini ibadah yang ia lakukan untuk Tuhan-nya, lalu kenapa Dia pertanyakan itu? Lebih lanjut, Tuhan bertanya kembali, “Semua ibadah yang kamu lakukan hanyalah untuk kamu, mana untuk-Ku?” Nabi Musa semakin bingung dan berkata: “Tunjukkan hambamu yang lemah ini, jika itu saya lakukan itu untuk-ku bukan untuk-Mu?” Lalu Tuhan berfirman: “Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku. Itulah ibadah untukku bukan untukmu”.

Dengan begitu, buah dari kejujuran dan ketulusan dalam berpuasa itu adalah pengkhidmatan. Berkhidmat kepada kaum yang lemah. Berkhidmat kepada orang-orang disekeliling kita, bukan cacian, makian, kezhaliman, apa lagi pembantaian dengan cara-cara kekerasan. Pernah Nabi memperoleh pengaduan dari salah seorang Shahabat, bahwa ada seseorang yang selalu berpuasa disiang hari, dan bangun malam untuk shalat, namun mulutnya sering menyakiti tetangganya, perilakunya sering menyakiti bawahannya, dan Nabi pun menjawab “Dia Dineraka”. Wallahu A’lam bi Al-Shawab. ***

Baca: UIN Dipersimpangan Jalan (4)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *