Kisruh itu Berawal dari Pengelolaan Blok Migas

Balai Adat Melayu Riau.

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Ada ungkapan, ketika petak sawah bersemak, tak ada yang mau mengurus, dibiarkan terlantar begitu saja. Tapi ketika petak sawah itu mulai memunculkan bulir padi, banyak orang berebut mengklaim dan berebut untuk mengurus sawah yang mulai menguning itu.

Perumpamaan ini tepat menyikapi kisruh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan. Sebelum adanya kompensasi 10 % Blok Migas Rokan untuk masyarakat adat Melayu Riau oleh Pemerintah Pusat, kondisi di tubuh LAM Riau tak beriak. Tidak ada gelombang. Namun riak, lalu menjadi gelombang setelah Blok Rokan kembali ke pemerintah Indonesia. Dan Presiden Jokowi saat ditabalkan gelar Datuk Seri Setia Amanah Negara, Sabtu 15 Desember 2018, menjanjikan masyarakat adat Melayu Riau akan mendapat jatah 10 persen dan hak ikut mengelola Blok Rokan itu.

Keterlibatan LAMR untuk ikut mengelola Blok Rokan setelah berakhirnya kontrak PT Chevron Pacific Indonesia tahun 2021 tidak lepas dari peran lembaga adat ini berjuang agar blok tersebut dikelola oleh anak bangsa sendiri, khususnya masyarakat Riau.

Perjuangan itu telah dimulai sejak Juli 2018 oleh Ketua Umum MKA (waktu itu) Datuk Seri Al Azhar dan Ketua Umum DPH Syahril Abubakar. Peluang itu mulai terbuka saat Jokowi ditabalkan Datuk Seri Setia Amanah Negara.

Jokowi memberi sinyal masyarakat adat akan diberi perioritas untuk mengelola Blok Rokan dalam bentuk Investasi Bisnis to Bisnis sebanyak 39 persen.

Waktu itu Jokowi menyampaikan kepada Pertamina, agar “Blok Rokan jangan dikelola sendiri; libatkan yang namanya daerah sebesar-besarnya. Kalau daerah mampu memegang lebih besar, kenapa tidak?”

Peluang itu diambil oleh Syahril dengan segera menyiapkan Badan Usaha Milik Adat (BUMA) pada bulan November 2020. BUMA itu didirikan agar bisa ikut mengelola Blok Rokan secara Bisnis to Bisnis (B to B).

Menurut Syahril, LAMR sebagai lembaga adat tidak bisa mengambil peluang yang diberikan Presiden. Maka didirikanlah BUMA untuk mengambil peluang itu.

“Saham BUMA nantinya akan mengatasnamakan LAM Riau, begitu juga dengan nama direktur dan komisarisnya, kata Syahril waktu itu.

Dalam perjalanannya, Syahril dengan BUMA jalan sendiri, tanpa melibatkan MKA. Dalam struktur BUMA, Datuk Seri Syahril duduk sebagai Komisaris Utama. Sementara Direktur Utamanya Datuk Seri Muzamil Baharudin dan Datuk Khairul Zainal serta Datuk Hermansyah selaku jajaran direksi.

Syahril bersama BUMA menggaet perusahaan swasta luar negeri untuk bisa ikut tender pengelolaan Blok Rokan. Tanggal 4 Mei 2021, LAMR kata Syahril, bersama mitra sudah mendaftar ke Pertamina melalui EO credit suisse, sebagai pihak penyelenggara tender Alasannya dalam B to B bisnis perminyakan di bawah naungan Pertamina, terdapat semacam EO untuk mengurusnya dan dilelangkan di Credit Suisse bagi perusahaan manapun yang kredibel dan memiliki pengalaman.

Sebelumnya di bulan Februari 2021, Syahril bersama jajaran DPH yang masuk di BUMA melakukan lobi ke DPR RI, minta dukungan anggota DPR RI dari Dapil Riau agar BUMA bisa mendapat hak pengelolaan itu.

Lalu, 1 November 2021, BUMA LAMR diundang menghadiri rapat bersama Tenaga Ahli Utama Bidang Energi Kedeputian I KSP Didi Setiarto, Deputi Dukungan Bisnis Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Kerja Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) Riki Rahmad Firdaus, Kepala Divisi Pengelolaan Rantai Suplai dan Analisis Biaya SKK Migas Erwin Suryadi, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Dana Dojoadhi dan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Jaffee A Suardin.

Rapat tersebut KSP mempertemukan LAMR bersama BUMA LAMR dengan pihak terkait lainnya untuk finalisasi pekerjaan-pekerjaan maintenance, pemeliharaan, services dan operator yang akan dikerjasamakan dengan BUMA bersama partnernya secara business to business.

Rapat memutuskan bahwa BUMA bersama partner dapat mengikuti semua pekerjaan yang ada di PHR sepanjang memenuhi persyaratan baik administrasi maupun persyaratan teknis lainnya.

Sewaktu Al Azhar masih hidup dan menjadi Ketum MKA sempat kecewa dengan sepak terjang Syahril dan kawan-kawan tanpa memberitahu MKA. Kekecewaan itu diungkapkannya kepada beberapa orang dekat.

“Adinda Datuk Seri Al Azhar pernah dengan penuh haru mengeluhkan hal tersebut kepada saya waktu itu,” kata Azlaini Agus, Tokoh Melayu Riau.

Malah, Al Azhar sempat menyatakan ingin mundur sebagai Ketua Umum MKA, kata Datuk Marjohan. Namun saya larang, bukan begitu cara jalan keluarnya.

Ketika Datuk Seri Marjohan menjadi Ketum MKA menggantikan Al Azhar yang meninggal dunia 12 Oktober 2021, pada bulan Maret 2022, MKA LAMR meminta Dewan Pimpinan Harian (DPH) menghentikan segala aktivitas kegiatan yang dilakukan, tanpa adanya persetujuan sebagaimana yang diatur dalam AD/ART LAM Riau.

MKA juga minta Badan Pengembangan Usaha yang diketuai Haris Kampai dicabut. Karena tanpa sepengetahuan MKA, BPU telah menjalin kerjasama dengan PT Hex Prima Energy untuk pekerjaan maintenance, surface facility, coating dan fabricatin.

Menurut Marjohan, soal kerjasama sudah diatur dalam Perda Nomor 1/2012 Bab X Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa kerja sama hanya dilakukan dalam hal adat dan sosial budaya.

Langkah Syahril dengan BUMA untuk ikut mengelola Blok Rokan ini kemudian memancing kritikan dari tokoh-tokoh Melayu Riau dan sejumlah anggota DPRD Riau.

Sekretaris Jendral Persatuan Masyarakat Riau Jakarta (PMRJ), M Suhada mengkritik Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) yang membentuk Badan Usaha Milik Adat (BUMA) dan ikut dalam bisnis di Blok Rokan.

“LAM Riau ini kita lihat tidak menjalankan tugas dan fungsinya. Salah satunya dengan membentuk BUMA untuk berbisnis. Itu kan sudah di luar ketentuan, kalau mau berbisnis ya di luar LAM lah. Kita serahkan saja ke Pemda Riau melalui BUMD, supaya tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku,” kata Suhada.

Ketua Lembaga Melayu Riau Jakarta, Darmawi, juga ikut komentar soal langkah Datuk Syahril Abubakar yang dianggap sudah terlalu melenceng.

“Oleh Syahril, LAMR ini sudah menjadi lembaga alat, bukan lembaga adat lagi, ngapain dia ngurus Blok Rokan, mau ikut berbisnis pula. Kalau diperjuangkan anak kemenakan saya sepakat. Kalau mau ikut berbisnis, itu bukan tugas LAMR,” ujarnya.

Anggota DPRD Riau Husaimi Hamidi mengaku belum tahu, apa sebetulnya visi dan misi BUMA.

“Katanya mengangkat batang terendam, saya sepakat. Sekarang kita bicara PAD atau person? Kalau BUMA yang dimajukan, Pemda Riau punya saham di sana atau tidak? Kalau dia punya saham di sana berarti ada PAD. Ketika pemda tidak punya saham, saya tidak tahu caranya nanti BUMA bagaimana memberikan kontribusi ke Pemda Riau,” ujar Husaimi seperti dikutip dari Riau Pos, Senin 15 Februari 2022.

Menurut dia, dalam persoalan Blok Rokan ini, kepentingan antara pendapatan daerah dengan pendapatan personal harus dipisahkan. Begitu juga bila memang BUMA yang dimaksud memberikan keuntungan untuk lembaga adat.

“Kalau bicara LAMR, LAMR dapat apa? Riau dapat apa? Sehingga tidak terjadi persepsi yang macam-macam. Kalau B to B murni bisnis. Harus terpisah. Dengan LAMR yang memakai pihak ketiga, kan BUMA kan itu yang dikedepankan. Mau ndak dia bekerja sama dengan BUMD Riau? Kalau bicara SDM, kenapa tidak orang Riau dipakai? Kenapa nggak perusahaan Riau dipakai. Jangan bicara ini, nanti tujuannya lain,” pungkas politisi PPP ini. ***

Editor: Fahrul Rozi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *