Esensi ‘Eid al-Fitr

IDUL FITRI baru saja dirayakan. Umat beriman telah meraih kemenangan setelah melakukan perang besar (jihad al-nafs) selama sebulan Ramadhan.

Apa esensi kemenangan setelah menjalani ibadah bulan Ramadhan?

Idul fitri terdiri dari dua kata. Pertama ‘id, dapat bermakna kembali, perayaan, festival atau hari raya. Kedua, al-fitr berarti suci, fitrah atau potensi azali.

Orang yang telah melaksanakan ibadah Ramadhan dengan sungguh-sungguh pada hakikatnya telah melakukan penyucian. Pertama, melakukan penyucian diri dan harta. Diri dibersihkan melalui zakat fitrah dan berbagai amal ibadah. Sementara harta disucikan melalui zakat mal.

Kedua, selama bulan suci Ramadhan telah melakukan berbagai kegiatan ibadah di rumah suci, yaitu mesjid, mushalla, dan surau. Mesjid menjadi pusat kegiatan untuk menyucikan diri.

Ketiga, pada bulan suci, kaum beriman membaca kalam suci yaitu Alquran. Lidah yang biasa digunakan untuk berbicara yang barangkali banyak salahnya dalam perspektif Ilahi, selama bulan Ramadhan dikoreksi, dibenarkan dan disucikan dengan ayat-ayat suci Alquran.

Keempat, penyucian diri melalui berbagai ibadah, termasuk membaca kalam suci dan berdiam diri di rumah suci untuk beribadah, termasuk melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Mahasuci, yaitu Allah Swt.

Pada dasarnya semua prilaku kesucian itu dalam rangka mencapai derajat takwa sebagaimana yang dinyatakan dalam Alquran (QS. Al-Baqarah: 183). Bahwa puasa itu dilaksanakan dalam rangka mencapai derajat takwa.

Di antara ciri orang bertakwa adalah gemar berinfaq saat senang dan susah, mampu menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain. (QS. Ali Imran: 134)

Untuk itu, setelah bulan Ramadhan berakhir, maka kebiasaan berinfak terus dilestarikan dalam kondisi apapun, kemudian selalu mampu menahan marah dalam berbagai hal yang membuat hati terbakar. Untuk itu maafkan semua kesalahan orang lain yang telah melukai hati hingga berdarah, dan mungkin terus basah dalam duka. Tersenyumlah dalam hati penuh damai dan tentram karena telah mampu meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan tulus.

Sementara ciri orang bertakwa menurut para ulama adalah: Pertama, al-khauf min al-jalil: takut kepada Allah Swt; kedua, al-‘amal al-tanzil: mengamalkan isi kandungan Alquran;  ketiga, al-Ridha bi al-qalil: ridha kepada yang sedikit; keempat, al-isti’dad liyaum al-rahil: mempersiapkan datangnya hari kematian.

Menurut Habib Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad al-Hadrami al-Syafi’i dalam kitab Al-Nashaihu al-Diniyah wa al-washaya al-Imaniyah bahwa orang yang bertakwa akan memperoleh berbagai kebaikan dan kebahagiaan yang besar dari Allah Swt. Di antaranya,

Pertama, kebersamaan dengan Ilahi berupa pemeliharaan yang lembut. “Dan takutlah kamu kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah bersama arang-orang bertakwa.” (QS.  Al-Baqarah: 194).

Kedua, akan memperoleh ilmu laduni. “Bertakwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu ilmu.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Ketiga, menjadi penjelas dalam perkara yang samar ketika terjadi keulitan dan kerumitan, serta menghapus kesalahan dan memperoleh ampunan. “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Ia akan memberimu penjelas dan menghapus segala kesalahanmu, dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Anfal: 29).

Keempat, selamat dari api neraka. “Dan tidak ada seorang pun darimu, melainkan mendatangi neraka. Hal itu bagimu suatu keharusan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa, dan membiarkan orang-orang yang zalim dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam 71-72).

Kelima, memperoleh solusi atas berbagai problem kehidupan. Selain itu akan memperoleh rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. (QS. Al-Thalaq: 2).

Keenam, akan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah. “Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang bertakwa.” (QS. Maryam:63).

Ketujuh, meperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Seseorang yang telah menyucikan diri selama bulan Ramadhan, dan telah merayakan hari kesucian melalui idul fitri  sejatinya selalu menjaga diri agar melakukan ketakwaan kepada Allah Swt sepanjang hayatnya.

Wallahu a’lam. ***

Baca: Beraya di Kampung

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *