Pancasila

Bismillah,

INI Hari Pancasila, hari perenungan dan pembangunan jiwa. Cerahlah hingga ke penghujung hari!

Emak menatapku dengan teduh. Lalu, dia pejamkan matanya.

”Sudah lama Pancasila hilang di rumah besar ini,” suaranya parau. ”Jangan sampai sila-sila itu menghilang begitu saja atau dirampok oleh gerombolan tak dikenal,” suara Emak makin berat. ”Kalian bisa mencarinya di mana saja. Setelah kalian genggam, masukkan kembali sila-sila itu ke hati dan benak. Harus kalian temukan sebelum kematian Emak,” kalimat terakhir Emak itu melahirkan gerun di hatiku. Tapi, aku teringat bahwa hidup dan maut itu di tangan Allah Taala.

Aku paham maksud Emak. Pancasila laksana tiang di rumah kami. Emak pasti takut rumah besar kami akan roboh karena kehilangan tiang atau dirampok gerombolan orang tak dikenal. Pancasila menjadi adat. Lima sila itu menjadi dasar kebudayaan buat kekuatan rumah besar kami. Sila-silanya menjelma menjadi nilai-nilai. Nilai-nilai dalam sila menjalar bagai daun ribu-ribu sebagai pengebat keberagaman hidup. Keberagaman itu menyatu dalam kebatan yang kuat dari lima tiang seri itu.

”Ingat pesan Emak!”

”Kita warga yang beragama, mengakui adanya tuhan, bukan ateis. Bagi kita, agama kita. Kita mesti menghormati orang lain dalam mengamalkan agama mereka. Mereka pun demikian. Jika engkau tak mau mengerjakan perintah tuhan, atau bahkan membangkang tuhan, atau mencemooh agama itu berarti satu tiang hilang dalam dirimu. Itu bermakna satu tiang rumah besar kita sudah patah.”  

”Kalian sudah besar, sudah tahu baik-buruk. Moral itu penting. Di mata tuhan, kita punya kesamaan hak dan kewajiban. Selama kalian tidak adil dan tak beradab, kalian bukanlah manusia. Manusia yang sesungguhnya mesti adil dan mesti beradab. Adab lebih tinggi daripada ilmu. Buat apa ilmu tinggi kalau kalian tak beradab. Tak berguna status sosial selangit jika kosong adab. Tak guna jadi pemimpin jika tak adil dengan rakyat. Jika kalian tak adil dan tak beradab, itu bermakna tiang kedua rumah besar kita sudah riuk.”

”Kalian tahu bahwa persatuan itu penting. Keluarga kita dalam rumah besar ini mesti bersatu. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Abah dan Emak perlu sagang dari kalian karena kalian zuriat yang kuat. Kita punya tali persatuan yang sudah terkebat. Jaga itu! Jangan sampai tali persatuan yang terkebat itu dicincang-cincang oleh orang luar sehingga kita berkecai-berai. Perbedaan adalah kekayaan dan kekuatan kita. Perbedaan itu mesti kita jaga dari adu domba. Dari perbedaan itulah, kebersamaan kita eratkan. Bhinneka Tunggal Ika. Marilah kita bersatu untuk menopang kekuatan rumah besar ini! Jika  berkecai-berai, itu bermakna tiang ketiga sudah lapuk. Dalam hal persatuan, Tunjuk Ajar Melayu memberikan bekal. Adat hidup berkaum bangsa, tolong menolong rasa merasa. Adat hidup berbangsa-bangsa, sakit senang sama dirasa, kalau makan sama perisa, adat lembaga sama dibela, harta pusaka sama dipelihara, hal dan milik sama dijaga, duduk tegak sama setara” (1994:69-70).

”Kita adalah rakyat. Rakyat itu penting dalam suatu rumah besar. Karena itu, rakyat mesti punya pemimpin yang punya hikmah dan kebijaksanaan. Hikmah itu semacam marwah. Kebijaksanaan itu tindakan yang lebih mengutamakan aspek kemanusiaan/kerakyatan. Hikmah dan kebijaksanaan itu dirangkum melalui musyawarah. Hasil musyawarah mestilah lebih condong kepada rakyat. Bulat air karena buluh, bulat kata karena mufakat. Seandainya tidak ada musyawarah dalam memutuskan sesuatu, maka pincanglah tiang keempat. Dalam hal musyawarah ini, Tunjuk Ajar Melayu memiliki nilai tersendiri. Apa tanda Melayu bertuah, duduk tegaknya bermusyawarah. Apa tanda Melayu beradat, hidup di dalam musyawarah mufakat. Apa tanda Melayu beradat, dengan musyawarah menegakkan adat” (1994:228-229).

”Karena itu, kita dalam rumah besar ini berhak memperoleh keadilan. Keadilan dalam bekerja. Keadilan bersuara. Keadilan di jalan raya. Keadilan ekonomi. Keadilan mencari nafkah. Keadilan hukum. Keadilan pertanian. Apapun bentuk kegiatan hidup, kita patut memperoleh keadilan darinya. Semuanya tanpa kecuali. Perbuatan tidak adil akan merusak kehidupan kita. Ibarat tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan. Jika ketidakadilan terjadi, bermakna tiang kelima sudah roboh. Karena itu, kita membagi sama adil, memotong sama panjang. Bagi kita bangsa Melayu, keadilan dan kebenaran itu sejalan. Tunjuk Ajar Melayu mengatakan, Apa tanda Melayu jati, membela keadilan berani mati. Apa tanda Melayu jati, menegakkan yang benar tahan mati. Apa tanda Melayu jati, adil dan benar jatinya diri. Apa tanda Melayu jati, adil dan benar dipegang mati. Apa tanda Melayu terpuji, adil dan benar ia taati” (1994:83-84). 

Pesan Emak terus mengiang-ngiang. Gema suara Emak memantul ke gunung, laut, lembah, dan angkasa. Pancasila yang dicari tidak ke mana-mana. Rupanya tidak hilang. Sila-sila itu hanya terhimpit oleh beragam sampah kehidupan kita. Sila-silanya sengaja diutak-atik oleh otak keserakahan dan materialistis. Sedikit saja kita kuis sampah-sampah kehidupan itu dari hati dan pikiran kita, niscaya Pancasila akan terbang bersama Garuda Pancasila.

Jadikan setiap hari adalah Hari Pancasila.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 30 Syawal 1443 / 31 Mei 2022

Baca: Kemenyan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *