Melaut

Bismillah,

INGAT Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Puisi ini menyimpan kenangan tentang hujan sebagai kodrat alam. Namun, Juni bukan cuma menyimpan kenangan tentang hujan. Juni juga menyimpan kenangan tentang alam pada umumnya: Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan khususnya tentang laut: Hari Laut Sedunia. Sebagai manusia yang tinggal di pesisir, laut menjadi pemandangan sehari-hari. Laut menjadi kawan sejati. Laut pun menjadi tantangan.

Laut merupakan bagian dari alam yang membentang. Pergilah ke bibir pantai atau di dermaga atau pelabuhan. Mata kita akan dimanjakan oleh suasana eksotis laut. Bentangan air, riak, dan gelombang menghadirkan keceriaan. Eksotisnya laut bisa menghibur kegundahan hati. Bukan cuma keindahannya. Laut pun merupakan limpahan rahmat dari Allah Taala. Rezeki sebagian kita dititipkan melalui laut. Laut juga menyimpan misteri yang masih belum tersingkapkan. Bahkan dalam sastra, laut menjadi objek tersendiri bagi penyair. Puisi Melaut Benciku, misalnya, meskipun tidak mengeksploitasi eksotis laut, tetapi paling tidak Amir Hamzah memilih diksi melaut untuk menggambarkan sesuatu kebencian yang dahsyat kepada perangai manusia.

”Belalah laut. Laut adalah rumah kita,” singkap Emak. 

Laut memang banyak menyimpan kenangan dalam diri kita. Hamparan air asin itu bagaikan rumah besar kita yang penuh kenangan. Kenangan yang tersimpan dan mengendap itu tersusun menjadi larik-larik indah dan bernas dalam puisi-puisi. Husni Djamaluddin menuliskan kesannya tentang eksotis dan limbah di laut dalam puisinya berjudul Laut: …. dan laut tetap menggunung cintanya/dalam gelombang rindu/laut setia mengirim ombak/ke pantai-pantai. Sapardi Djoko Damono menggali laut dari sudut pandang ketuhanan yang dalam dengan puisinya berjudul Doa Para Pelaut yang Tabah. Abdul Hadi WM pula bercerita tentang betapa cintanya pada laut dalam puisinya berjudul Laut: aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya. Penulis novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata, menulis dan mengungkapkan kesannya tentang laut dalam puisinya berjudul Laut: …. Muara menyempit, delta mengerut/ Hutan lindap, daratan kelabu/ Laut, laut, laut seluas langit. Datar, tetap, tak terhingga, biru mendebarkan.

Peblo Neruda menulis puisi  Saya ingat laut, pantai yang retak dan kereta api/dari Coquimbo, perairan Altaneras dan Tralca dalam puisinya berjudul Saya Ingat Laut. Federico Gascia Lorca pun menuliskan kesannya dalam puisi berjudul Mar: Laut itu/ Lucifer of blue/ Langit yang jatuh/ Karena ingin menjadi terang. Lantas, saya pun menulis puisi tentang laut berjudul Air Laut, Rumah Masa Depan. Saya kutip beberapa larik yang mencerminkan pembelaan dan pelestarian lingkungan. Rumahku adalah laut/Menyimpan pengetahuan tak pernah surut/Lantainya jernih juga sejuk/Tiada limbah/Tiada sampah/Di sana, aku hidup hingga dijemput maut.
 
Dunia Melayu dunia bahari atau laut. Laut atau dunia bahari menjadi sesuatu yang menarik dalam keseharian bangsa Melayu. Laut memberikan efek khusus bagi kehidupan bangsa Melayu sehingga dikenal sebagai bangsa yang bersemangat maritim. Semangat maritim itu sudah menggelora sejak zaman kerajaan Melayu, yaitu Kerajaan Sriwijaya dan kegemilangan Malaka. Dengan semangat maritim inilah, kerajaan Melayu menjadi agung dan mampu bersaing dengan dunia luar.

”Bahwa tradisi kuno kita adalah agar kita menguasai lautan. Bahwa negara kita hanya bisa menjadi besar dan kuat jikalau ada persatuan perhubungan penguasaan yang mutlak atas lautan,” begitu Bung Karno mengatakan.

Kondisi laut saat ini tidak sedikit yang tercemar. Laut jadi bernanah. Laut pun bersampah. Rusak. Dalam hal ini, Tunjuk Ajar Melayu mengatakan: Tanda orang memegang adat, alam dijaga petuah diingat. Tanda orang memegang amanat, terhadap alam berhemat cermat. Tanda orang berpikiran panjang, merusak alam ia berpantang. Tanda ingat kepada Tuhan, menjaga alam ia utamakan. Tunjuk ajar ini berpesan bahwa orang beradat, orang amanah, orang berpikiran panjang, dan orang yang bertuhan, senantiasa menjaga dan berhemat terhadap alam.

Tentang laut, paling tidak, Tunjuk Ajar Melayu mengatakan bahwa orang yang ingat masa depan adalah orang yang taat menjadi laut dan hutan: Tanda ingat ke hari kemudian, taat menjaga laut dan hutan. Orang yang beradat adalah orang yang memiliki kekuatan untuk membela laut dan selat: Adat hidup memegang adat, tahu menjaga laut dan selat. Keselamatan hidup kita pun bergantung pada kemampuan dan keseriusan kita dalam hal memelihara laut dan selat: Kalau hidup hendak selamat, peliharalah laut beserta selat. Di sisi negatif, Tunjuk Ajar Melayu telah mengingatkan tentang akibat yang akan terjadi jika alam binasa:  Apabila alam sudah binasa, pergi ke laut malang menimpa. Bahkan, perusak alam (laut dan sungai) dikecam sebagai manusia yang berakhlak buruk: Siapa merusak laut dan sungai, itulah tanda buruk perangai (1994:602-605).

”Melautlah. Sejak dulu, kita adalah bangsa pelaut. Di laut inilah, kita dibesarkan,” kata Emak.

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 07 Zulkaidah 1443 / 06 Juni 2022.

Baca: Pancasila

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *