Miskin Kaya

ALHAMDULILLAH; mari kita sentiasa bersyukur. Tak kesah kita itu miskin atau kaya. Sebab keduanya amat sangat relatif. Kedua kelas kehidupan bipolar itu mestilah disyukuri jika tak sudi masuk kelas ketiga, khufur nikmat.

Miskin dan kaya tidak tergantung pada umur seseorang maupun entitas. Tak pula ada jaminan bahwa yang berumur lebih tua selalu lebih kaya dibandingkan dengan yang lebih muda. Pun sebaliknya. 

Ada orang sudah kaya di usia muda. Tak perlu tunggu tua untuk menjadi kaya. Bahkan tak sedikit tetap miskin meski sudah tua renta.

Yang sedari muda miskin papa kedana sampai ke tua juga tak sedikit. Pun banyak juga yang tetap kaya dari muda sampai ke tua.

Banyak negara maju yang kaya-raya meski umurnya kurang dari 200 tahun. Tapi ada juga negara yang meski sudah berumur hampir 2000 tahun, mereka masih miskin.

Kandungan sumber daya alam yang melimpah di suatu wilayah/negara juga tidak menjamin negara itu kaya dan rakyatnya sejahtera. Bahkan masih ramai anak-anak di wilayah yang katanya kaya itu tak tamat sekolah.

Sekitar delapan puluh persen daratan Jepang berupa pegunungan. Tak cukup untuk meningkatkan pertanian & peternakan. Lahan untuk bercocok tanam amat lah terbatas.

Tapi negeri Sakura yang perah menjajah kita itu menjema laksana “industri terapung” (floating industry). Ia mengolah bahan baku hasil impor dengan harga relatif murah, lalu mengekspor barang jadi dengan harga relatif mahal. Macam jiran kita Singapura juga.

Mana ada kebun Coklat di Swiss. Cuma sekitar sebelas persen saja daratan penuh salju itu yang bisa ditanami. Tapi ia dikenal sebagai pembuat coklat terbaik di dunia.

Swiss juga lihai mengolah susu dengan kualitas terbaik. Nestle merupakan produk made in Swiss yang mendunia sejak dahulu kala dan dikenal masyarakat kita sampai ke ceruk-ceruk kebun getah.

Swiss juga tidak punya cukup reputasi dalam perkaran keamanan, integritas, dan ketertiban. Tapi, bank-bank di kampung Petenis Flamboyan@Roger Federer ini menjadi pilihan utama orang berduit menyimpan kekayaannya.

Soal kecerdasan, nampak-nampaknya juga tak ada perbedaan mencolok antara si miskin dan si kaya. Ras atau warna kulit juga bukan penentu menjadi miskin atau kaya.

Jadi, apa beda antara yang miskin dengan yang kaya? Perbedaannya terletak pada sikap/perilaku masyarakatnya yang telah dibentuk sepanjang tahun melalui pendidikan dan kebudayaan.

Mayoritas perilaku masyarakat di negara maju sehari-harinya mengikuti/mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan: 1) jujur dan berintegritas, (2) bertanggung jawab, (3) hormat pada aturan & hukum, (4) hormat pada hak orang/warga lain, (5) cinta pada pekerjaan, (6) berusaha keras untuk menabung & investasi, (7) mau bekerja keras, dan (8) tepat waktu.

Di negara terbelakang/miskin/berkembang, hanya sebagian kecil masyarakatnya mematuhi prinsip dasar kehidupan tersebut, selebihnya kebanyakan tidak patuh alias sekehendak hati perut.

Kita bukan miskin atau terbelakang karena kurang sumber daya alam, atau karena alam yang kejam kepada kita.

Kita menjadi terbelakang/lemah/miskin karena perilaku/sikap kita sendiri yang kurang/tidak baik. Kita kekurangan kemauan untuk mematuhi dan mengamalkan prinsip-prinsip dasar kehidupan masyarakat yang maju dan berkelas.

Kita bisa mulai dari mana saja asal kita mau. Yang terpenting ada hasrat untuk mengubah diri; mengubah takdir yang bisa diubah.

“Dalam diri setiap orang terdapat kekuatan untuk menjadi sehat dan menjadi sakit, untuk menjadi kaya dan menjadi miskin, untuk hidup bebas atau menjadi budak. Kita sendiri lah yang menentukan hal itu, bukan sesuatu atau orang lain”~Richard Bach

Apa Maciam…? ***

Baca : Kecerdasan Naturalistik

#kolom26

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *