Tawuran Otak

ALHAMDULILLAH; tak sampai ada yang mati percuma bersimbah darah dalam ajang “tawuran otot” mahasiswa minggu lalu di salah satu kampus perguruan tinggi negeri tertua di negeri bertuah ini.

Memang betul bahwa mahasiswa adalah aset bangsa! Itu kalau keberadaanya memberikan nilai tambah bagi peningkatan daya saing diri dan institusi.

Kalau tidak? Pastilah jadi beban. Tuas pengungkit nilai tambah itu adalah kemuliaan karakter budi pekerti dan kehebatan dalam penguasaan Ilmu, Teknologi, dan Seni (Ipteks) melalui olah akal budi alias “tawuran otak”, bukan “tawuran otot”.

Kampus itu tempat asah otak bukan asah otot. Makin tajam otak, makin bedelau cahaya ipteks. Makin banyak energi yang dikuras untuk meregang otot, makin lemah atau tumpul otak karena energi untuk berfikir tinggal sedikit.

Meningkatkan nilai tambah itu adalah tanggung jawab utama mahasiswa yang mengemban misi menuntut ilmu. Belajar lah betul-betul dengan semangat penuh membara, bukan meracik prahara.

Mahasiswa yang cerdas adalah mahasiswa yang membangun kualitas diri melalui aktivitas perkuliahan dengan sungguh-sungguh, penuh disiplin, kerja keras, jujur, dan bertanggungjawab sebagai fondasi agen perubahan.

Kualitas pribadi mahasiswa bernilai tambah itu tidak hadir begitu saja, melainkan harus dengan sadar ditenun melalui integritas, komitmen, dan disiplin secara konsisten dalam menggali dan menimba ilmu sehabis daya.

Untuk menjaga komitmen  diperlukan kedisiplinan belajar yang tinggi. Disiplin belajar ini akan sangat menentukan kualitas tuas pengungkit nilai tambah. Sangatlah besar kerugian jika sebagian besar energi dikuras untuk membangun nilai kurang selama belajar di kampus.

Wahai penyandang agen perubahan, sadarilah bahwa perubahan tak akan berhasil sebelum Anda berhasil mengubah cara berfikir. Perubahan yang kekal serta berfondasi kuat adalah perubahan yang dibangun di atas fondasi karakter positif yang handal (intangibles) hasil “tawuran otak”. Bukan karakter negatif yang berandal hasil “tawuran otot”. 

Belajarlah secara konsisten, betungkus lumus, berhempas pulas, dan berpeluh penat untuk menguasai kemahiran-kemahiran baru sebagai bekal meraih kecemerlangan masa depan.

Sebab intangibles tidak dengan serta merta dapat dimiliki. Ia membutuhkan waktu untuk ditumbuhkan dan tak dapat diperoleh dalam tempo sekejap.

Coyle (2009) menandaskan bahwa untuk memiliki World Class Skill, dibutuhkan latihan intensif (deep practice) selama tidak kurang dari 10.000 jam, dan ini sangat dimungkinkan selama siklus pendidikan kesarjanaan.

Hanya mahasiswa yang memiliki modal intangibles lebih besar yang dapat dan pantas menyandang julukan sebagai agen perubahan. Kurang dari itu siap-siap lah menerima cibiran sebagai agen kerusuhan. Tak suka bukan?

Namun untuk menjadi intangibles dibutuhkan lebih dari sekedar disiplin individu (mahasiswa), akan tetapi juga  disiplin kolektif sivitas akademika. Kesemuanya, membutuhkan culture of discipline melalui transformasi budaya akademik secara sistemik. 

Shaping academic leadership dirasa mendesak untuk digesa dalam bingkai transformasi budaya akademik kampus agar kelak dapat menuai mahasiswa bertalenta kompetitif.

Tanpa budaya akademik yang kuat, tak ada intagibles yang dapat dimobilisasi untuk merakit perubahan meraih kecemerlangan akademik, walaupun peneraju universitas silih berganti. 

“Setiap manusia harus memutuskan: Berjalan dalam ruang kreatif berbagi, atau dalam ruang gelap egoisme yang merusak“ ~ Martin Luther King, Jr

Apa Maciam…? ***

Baca : Miskin Kaya

#kolom27

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *