Hakim

Bang Long

Bismillah,
PERSAMAAN kata hakim, yaitu pengadil. Pengadil merupakan orang yang memberikan suatu keputusan hukuman dengan mempertimbangkan aspek keadilan. Karena itu, hakim mestilah budiman dan orang yang bijaksana. Siapakah hakim? Kita adalah hakim: Kita menjadi hakim pada diri sendiri dan pada keluarga. Dosen dan rektor menjadi hakim pada mahasiswa. Pendidik dan kepala sekolah menjadi hakim pada siswa. Para pekerja menjadi hakim pada profesinya. Hakim menjadi hakim pada kambing hitam, hakim di pengadilan. Pemimpin menjadi hakim pada rakyat. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat, begitu pesan Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas.

”Jika sudah menjadi hakim, jangan sampai kehilangan adil,” kata Emak saat menonton berita di teve. Berita itu mengabarkan bahwa seorang nenek disidangkan karena mencuri beberapa batang ubi karena kelaparan. Untunglah hakimnya bijaksana dan adil. Nenek itu dibebaskan. ”Kita yang tidak adil karena membiarkan orang lain kelaparan,” sentak Emak. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan sila kelima dari Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adalah seorang hakim bernama Hakim Sarmin dalam cerpen bertajuk Hakim Sarmin karya Agus Noor. Cerpen yang pernah dimuat di Kompas, 31 Mei 2015 ini mengisahkan bagaimana Hakim Sarmin menangani berbagai kasus dalam persidangan yang dipimpinnya. Hakim itu telah menyaksikan bagaimana seseorang mencari keadilan dalam kehidupannya, termasuk melaui persidangannya. ”Keadilan memang lebih mudah didapatkan di luar pengadilan,” begitu batin Hakim Sarmin saat memandang perempuan yang duduk di kursi terdakwa itu. Perempuan 36 tahun tersebut membunuh lima lelaki dengan dendam membara. Kelima lelaki tersebut mati menggenaskan di tangan perempuan yang bermata misterius. Inilah dendam perempuan yang telah diperkosa oleh lima lelaki naas itu.

Hakim Sarmin pernah menangani kasus korupsi seorang jenderal polisi. Pernah juga dia mengadili nenek berusia 70 tahun. Nenek tersebut diadili gara-gara mencuri sebungkus biskuit di minimarket. Namun, inilah kasus terberat yang ditangani oleh Hakim Sarmin. Dalam kedua kasus tersebut, Hakim Sarmin bagai si buta yang tidak mampu melihat keadilan. Dia membebaskan jenderal polisi yang korupsi dan memenjarakan nenek pencuri biskuit selama dua tahun. Kali ini, dia menghukum mati perempuan yang diperkosa lima lelaki. Hakim Sarmin terpaksa mengeksekusi mati perempuan itu. Hakim Sarmin tahu bahwa yang sebenarnya bukan lima lelaki yang memerkosa perempuan itu, tetapi enam lelaki. Hakim Sarmin berada di tempat pemerkosaan ketika itu.

Begitulah jika salah menempatkan hakim. Mata kebenaran dan keadilan diserang katarak, bahkan buta. ”Jika kau tidak bisa melihat kebenaran, suatu hari kebenaran akan mengambil matamu,” begitu pesan moral dalam cerpen ini. Perangai hakim seperti Hakim Sarmin telah mengoyak kebenaran. Perangai hakim ini sangat bertentangan dengan marwah kita sebagai manusia. Tunjuk Ajar Melayu sangat memuliakan kebenaran dan keadilan. Bagi bangsa Melayu, kebenaran dan keadilan merupakan tiang utama untuk menegakkan marwah. Kebenaran dan keadilan wajib ditegakkan dalam kehidupan. Apa tanda Melayu berilmu, pada yang adil ia bertumpu, pada yang benar ia berguru. Apa tanda Melayu bermarwah, adil dan benar tempat berumah (1994:85). Keadilan dan kebenaran sebagai tanda bangsa berilmu dan bermarwah.

Dalam suatu persidangan, hakim bagaikan tempat bersandar. Dia akan menimang-nimang segala pertimbangan sebelum memutuskan. Keputusan hakim akan berdampak psikologis pada orang lain. Seseorang tentu berharap keputusan yang adil dan benar dari palu hakim. Jangan sampai keputusan hakim mengundang carut-marut. Jangan sampai yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi tersangka. Jika itu terjadi, hakim bukan lagi tempat bersandar. Dia telah menjadi petaka bagi kebenaran dan keadilan. Hakim Sarmin merupakan contoh hakim pembawa petaka bagi kebenaran dan keadilan. Dengan palu kekuasaan, dia telah mengecaikan kebenaran dan keadilan di ruang persidangan pengadilan.

Kita tidak perlu Hakim Sarmin. Namun, kita sangat membutuhkan Hakim Marzuki. Dia duduk termenung ketika mendengar tuntutan JPU terhadap nenek yang mencuri ubi karena kelaparan. Sambil membuka toga hakimnya dan memasukkan uang Rp1 juta ke dalam toga. Kemudian, ia mengenakan denda kepada yang hadir sebesar Rp50 ribu per orang karena telah menelantarkan nenek kelaparan. Uang hasil denda itu diberikan kepada nenek tersebut. Hakim Marzuki pun mengetuk palu dan keluar dari ruang sidang. Kita pun merindukan hakim-hakim berjiwa adil, benar, dan bijaksana dalam memutuskan suatu perkara.

”Kita tak perlu hakim yang buta kayu,” sergah Emak. ”Kita pun tak perlu hakim rakus. Jangan sampai kita memilih hakim kepada beruk,” Emak meluapkan kekesalannya saat menonton kisah hakim yang mencoreng keadilan dan kebenaran.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 21 Zulkaidah 1443 / 21 Juni 2021.

Baca: Melaut

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *