Bahasa Politik, Bahasa Budaya?

Turun Gunung

Sebelum bertindak berpikirlah saksama
musyawarah mufakat budaya bangsa
manusia mati meninggalkan nama
batu nisan sebagai buktinya

Hang Tuah pahlawan perkasa
membela marwah bukti kesatria
bahasa identitas budaya bangsa
identitas bukti sesama manusia

Sembah Tuah harap diampun
sembah Jebat dendam membara
melayu bahasa negeri serumpun
bahasa melayu lingua-franca nusantara

SELAMAT dan sukses buat pembaca budiman yang arif nan bijak. Apa khabar hari ini? Semoga semuanya senantiasa dikaruniai kebahagiaan, keselamatan beserta kesehatan. Amin.

Belakangan ini, selain pernyataan Tun Mahathir Mohamad yang sempat viral, tak kalah ramainya juga menjadi perbincangan yang berasal dari negeri jiran Malaysia. Bincang aktual via media sosial khususnya ihwal upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa dunia. Atau setidaknya menjadi bahasa ASEAN.

Dalam perbincangan tersebut mengemuka seolah-olah terjadi pro-kontra. Di negeri jiran Malaysia bahwa Melayu menjadi bahasa Negara. Di Indonesia, sebaliknya, bahasa Indonesia adalah bahasa negara, bukan bahasa ‘Melayu Indonesia’. Dari sini mengemuka pertanyaan: apa perbedaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia?

Bermunasabah perbedaan ini mengemuka pertanyaan: bahasa itu merupakan bagian dari budaya atau politik? Mengapa di Malaysia (tidak hanya Malaysia, Berunei, Singapura dan Thailand), tetap bahasa Melayu? Sementara di Indonesia, bukan bahasa ‘Melayu Indonesia’, melainkan bahasa Indonesia?

Berupaya membandingkan ihwal kata Melayu dan Indonesia, dinilai tidak relevan (sebanding) oleh karena bukan entitas yang sama. Melayu dapat dimaknai dengan beragam makna walaupun di Malayasia (dan lainnya), tetap menggunakan istilah bahasa Melayu. Sebaliknya, di Indonesia, selain bahasa juga menjadi identitas kebangsaan sekaligus (terintergrasi antara negara, bangsa dan bahasa: Indonesia).

Jengah Jenguk Cendekia (J2C), tidak berupaya mengulas walaupun ringkas ihwal perbedaan tersebut. Pun upaya menjadikan bahasa Melayu (bukan bahasa Indonesia) menjadi bahasa dunia atau ASEAN. Semoga bincang-bahas terkait upaya ini pada lain kesempatan dapat didiskusikan lebih kanjut.

Belajar dari perbedaan tersebut, J2C mengajak pembaca sejenak untuk merenungi ihwal ke-Riau-an yang selalu dianggap tak sedap (kurang nyaman) untuk dikatakan, diklaim sebagai negeri serumpun (antara Malaysia dengan Riau, Indonesia). Kata serumpun susah untuk dibantah yang mengilhami bahwa Riau (termasuk Kepulauan Riau) dan Malaysia dalam (ada dan terdapat) hubungannya dengan bahasa Melayu. Semoga saja ilusterasi sederhana dengan menggunakan kata (konsep) Sasmita, Sasmito dan Sasmite dapat membantu. Minimal dapat menginspirasi penyebab latar belakang perbedaan antara bahasa ‘Melayu Indonesia’ dengan bahasa Melayu (di Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand).

***

Sudah berulang-kali banyak yang tidak sependapat. Maksudnya terjadi perbedaan pendapat. Begitu seterusnya. Perdebatan terus-menerus berlangsung. Tetap saja tidak memperoleh kata sepakat. Kalau ditilik sepintas, namanya juga sepintas-kilas, persoalannya diklaim justru semakin tidak mendasar (substansi, esensial).

Pertanyaan yang selalu muncul: jika tidak mendasar, mengapa tidak juga diperoleh kata sepakat? Minimal sependapat!? Walaupun sependapat, atau kesepahamannya hanya basa-basi belaka.

Perbedaannya pun tidak mencolok. Perbedaan yang dipersoalkan hanya pada penyebutan. Atau boleh juga dikategorikan pada vokalnya saja. Vokal adalah huruf hidup. Semua orang seseantero dunia ini sudah tahu. Vokal itu hurufnya ada lima: a, e, i, o dan u. Justru seharusnya pertanyaan yang susah dijawab adalah: mengapa huruf vokal jumlahnya hanya lima.

Mengapa tidak enam, tujuh, sembilan atau sebelas? Wajar jika pertanyaan ini yang menimbulkan perbedaan pendapat. Minimal perbedaan pendapat dalam jawabannya. Ada beragam jawaban. Tetapi, mengapa kesepakatan tidak juga diperoleh-dapati? Ada apa?

Masyarakat di sebuah negeri yang berjuluk Kolam Susu, Kampung Drian selalu menyebutkannya dengan ‘Sasmite’. Masih dalam satu negeri, tetapi lain kawasan, di kampung Lempok, menyebutnya dengan ‘Sasmito’. Syahdan, konon menurut cerita orang-orang di kampung Lempok dahulunya mereka bukan warga orijinal (banyak menyebutnya asli. Kaum milenial di era otonomi daerah punya istilah berbeda, putra daerah).

Mereka masyarakat yang sudah mengalami transformatif istilah krennya. Oleh karena itu berlaku lumrah, seharusnya disebut ‘Sasmite’ menjadi ‘Sasmito’. Tidak merubah makna, namun sebutannya secara lisan berbeda akhiran. Masyarakat transformatif berakhiran o. Sementara warga tempatan e. Sebenarnya, secara tak langsung terdapat kesamaan.

Sebutan mereka sama-sama berakhiran vokal. Walaupun pada kenyataannya masyarakat yang sudah bertransformatif, terkadang rada-rada segan untuk vokal (Boleh jadi mereka tersandera pepatah lama,” di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak”).

Lain lubuk lain pula ikannya. Ini juga pepatah lama. Agak berbeda di negeri seberang. Orang-orang di negeri seberang ini, menyebutnya bukan ‘Sasmito’ atau ‘Sasmite’ melainkan ‘Sasmita’. Walaupun sama-sama menggunakan vokal, bukan o atau e, tetapi a. Di negeri seberang menjadi ‘Sasmita’. Vokal a yang lebih muda, awal dan utama terkesan cocok, bukan dicocok-cocokan (cocoklogi). Sebenarnya sebutannya menunjukkan sebuah karakter yang konsisten. Karakter ini dialtari oleh karena antara penyebutan selalau sering-jalan (sepadu kasih-sayang) dengan penulisannya.

Sikap konsisten ini memang memunculkan perdebatan. Boleh setuju. Tidak setuju juga tidak masalah. Silakan. Mohon perhatikan pada salah satu lapangan kapal terbang, bandara (bandar udara) ada yang unik sekaligus menimbulkan kelugu-lucuan (terkesan lugu menjadi lucu).

Betapa tidak. Dahulu sebelum reformasi dalam berkomunikasi hanya dua bahasa yang digunakan. Bahasa asing, dan bahasa nasional. Setelah reformasi, era otonomi daerah, konon bertambah menjadi “tiga bahasa”. Tetap bahasa asing (Inggris), nasional (Indonesia), dan daerah (“Melayu”).

Yang menjadi pertanyaan: sebenanya yang bertambah bahasa atau hanya sebuah dialek saja? Kemudian atas dasar ketakpahaman, boleh jadi dialek tersebut diaggap sebagai bahasa? Perbedaan bahasa dengan dialek, tentu saja semua orang sudah tahu. Tak perlu lagi dijelaskan, seperti dalam sekolah atau kuliah mata pelajaran bahasa Melayu, eh bahasa Indonesia.

Belajar sejenak terhadap upaya penambahan “bahasa di bandara” dengan analogi kata Sasmito-Sasmita amat sangat penting direnungi. Benar yang tak perlu ditonjolkan adalah perbedaan akhiran antara Sasmito, Sasmite dan Sasmita. Namun, perbedaan tersebut jangan disalahtafsirkan. Perbedaan titik fokusnya pada dialeknya, bukan bahasanya. Jangan menghilangkan eksistensi untuk menonjolkan yang tak esensi. Artinya, terpenting jangan sampai ‘dialek’ disamakan dengan dengan bahasa. Dialek adalah bagian dari bahasa. Dialek adalah kedinamikaan keragaman dari bahasa, minimal.

Mencermat-telaahi khilas esensianya, bahwa kata Sasmita dimaknai pertanda. Tanda-tanda. Dilekatkan pada nama, sepengetahuan merujuk dari jejak digital, banyak orang menggunakan nama Sasmito atau juga Sasmita. Rasanya belum ada (entah nanti jika baru muncul), yang menggunakan nama Sasmite (akhiran e). Lazimnya, Sasmite hanya ada dalam dialek, belum dalam tulisan. Sasmite, hanya dalam ucapan kebiasaan dialek berasal dari masyarakat tertentu.

Yang pasti Sasmita (Sasmito) adalah sebuah karakter bagi mereka (orang-orang) yang visioner. Orang-orang yang mengerti dengan membaca tanda-tanda (tanda-tanda zaman di antaranya). Misalnya saja seorang pemimpin yang visioner. Mereka dapat “memprediksi” apa yang akan terjadi. Mereka mendapat ‘Laduni’, kata Pak Ustadz.

Berdasarkan Sasmitanya, negeri Kolam Susu tak berprospek. “Di bawah air di atas asap”, kredo baru mengubah yang lama. Dulu, “di atas minyak di bawah minyak”. Sekarang susah membedakan antara banjir atau air. Begitu juga antara api atau asap. Sampah dan harta.

Perumpamaan Sasmitanya, “ayam bertelur di atas padi, mati kebuluran”. Pertanyaannya: bahasa itu politik atau budaya?

Tepuk dada, tanya selera. ***

Baca : ‘Ngah Putin’ vs Khilafah Dolar

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *