‘Barat’ Adalah ‘Dajjal Baru’?

Selat Melaka airnya keruh
tempat nelayan mnggelar pukat
terbersit khabar duaribu tigapuluh
arab diubah menjadi barat

Idul fitri juadah ketupat
isinya beras rasanya nikmat             
khabar petunjuk jelang kiamat
ibarat matahari terbit di barat

Hidup di dunia hanya sesaat
amal ibadah bekal safaat
jangan sampai berpikir sesat
ridho Allah berubah laknat

PEMBACA budiman yang arif nan bijak: Apa khabar hari ini? Semoga senantiasa dikaruniai kesehatan, keselamatan dan kesuksesan. Amin.

Sudah menjadi sajian umum di media sosial khususnya youtube ihwal perubahan besar di negeri-negeri Arab, Timur Tengah tak terkecuali Arab Saudi (Saudi Arabiah). Bahkan sudah biasa (bukan asing lagi), pernyataan penguasa kerajaan Arab Saudi pada 2030-an, akan diubah seperti Barat (Amerika dan Eropa Barat). Mohon dirujuk atok google dipastikan dapat membantu memberikan informasinya.

Menanggapi rencana perubahan besar tersebut, berbagai kalangan yang berupaya mencermat-telaahi, mendiskusikan dan menafsirkannya. Di antara adalah para penyuka studi  (penstudi, pengkaji) ihwal akhir zaman (nubuah). Menjadi relevan untuk ditelusur pendapatan Syekh Imran Hosein yang mengindentikan jika ‘matahari terbit dari Barat’ adalah sebuah kiasan (perumpaaan). ‘Matahari terbit dari Barat’ adalah sebuah pertanda (tanda-tanda).  Bahkan kata (konsep) ‘Barat’ dimaknai dengan pendekatan (cara) baru.

Jengah Jenguk Cendekia (J2C) berupaya mengulas ringkas hubungan kata (konsep) Barat dengan Dajjal. Semoga bincang-bahas ringkas ini dapat menjadi iktibar yang berharga bagi pembaca J2C semua. Amin.

***

‘Dajjal Baru’ adalah sebuah upaya memahami ‘keberadaan’ terkait ‘ke-dajall-an [segala sesuatu yang berhubungan dengan ‘ke-palsu-an’]. Penyelamat palsu, misalnya. Secara sederhana dalam banyak pengertian tentang Dajjal, ‘kepalsuan’ jarang dijadikan makna utama yang umum disampaikan. Selama ini yang umum dipahami jika Dajjal dan akhir zaman’, keduanya, terintegrasi, sepaket, tak dapat dipisahkan. Ihwal hubungan ‘Barat’ dan Dajjal: mengapa perlu diupayakan memahaminya, Dajjal versi baru: ‘Dajjal Baru’? Apakah Dajjal telah berubah? Apakah ada Dajjal yang lama? Lalu apa hubunganya dengan Barat?

Jengah Jenguk Cendekia (C2J) dalam hubungan mencermat-saksamai seterusnya menerokai esensi Dajjal ‘Baru’, paling tidak terdapat tiga argumentasinya.

Pertama, istilah Dajjal dalam perspektif ke-nubuwwah-an [eskatologi], memunculkan kajian yang saling silang-sengketa berdasarkan sumber referensi yang berbeda. Pada esensinya, perbedaan penjelasan menyebabkan kebingungan dalam memaknai Dajjal.

Kedua, keberadaan dalam konteks wujud [kapan ada, genealoginya seperti apa: wujud manusia, jin, atau sistem berpikir, dan bersemayam di mana?], menjadikannya tidak hanya silang sengketa, melainkan juga kebingungan. 

Ketiga, tidak adanya sumber qurani otentik terkait konsep Dajjal secara langsung. Realitas ini memunculkan pertanyaan sekaligus kecurigaan tentang Dajjal, terkhusus yang bersumber [perembesan] berdasarkan cerita Israiliyat. Apalagi dalam konteks substansi isi, walapun riwayat ceritanya bersumber hadis yang dapat dipercaya perawinya, misalnya.

Mencermati ketiga argumen tersebut, menjadi penting diupayakan pemahaman baru terkait dengan Dajjal atau diistilahkan dengan ‘Dajjal Baru’ [DJ]. Jadi DJ adalah memahami dalam realitas sistem dunia menuju persiapan menghadapi akhir zaman yang lebih tematik, gradual, dan bijaksana [minimal, tidak menakut-nakuti dengan berbagai bencana akan terjadi]. Dalam hal ini, Dajjal berhubungan langsung dengan iman terkait hari kiamat [sesuai rukun iman ke-5, percaya hari kiamat]. Dalam konteks inilah, iman wajib dipahami secara terintegrasi, tidak dapat dipisahkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan [hari kiamat].

Bersandar pada konteks keimanan ini, minimal ‘Dajjal Baru’ yang dimaknai menjadi ‘kepalsuan’, dapat diidentifikasi melalui empat hal. Pertama, kepalsuan dari sisi ke-tahuid-an [ke-esaan-an] tuhan. Perubahan cara berfikir dari percaya pada satu tuhan, berubah menjadi banyak tuhan [politeisme], tiga tuhan [triteisme], sehingga tak bertuhan [ateisme]. Dalam konteks ini [poli-tri-atei], dimaknai syirik [membanyak, mentiga, dan bahkan meniadakan tuhan] adalah karakter ‘Dajjal Baru’ berhubungan ‘penyelewengan’akan ke-tauhid-an [ke-esa-an] tuhan.

Kedua, ‘kepalsuan’ terhadap pusat penghitungan waktu dunia’ yang seharusnya kota Makkah menjadi titik tumpunya, diubah Greenwich Mean Time [GMT], London. Dilanjutkan, arah waktu jarum jam yang bergerak seharusnya dari kanan ke kiri, diubah menjadi dari kiri ke kanan.

Ketiga, ‘kepalsuan’ penggunaan mata uang dunia yang seharusnya mas dan perak [dinar dan dirham], diubah menjdi kertas yang didominasi ‘US Dollar’ dalam sistem ekonomi dunia yang berbasis riba penuh spekulasi. Sangat jelas sumber-sumber otentik yang mengharamkan riba. Lihatlah sstem ekonomi ribawi yang didukung oleh lembaga (institusi) keuangan pun  perbankan dunia. Jarang dikaji dari ilmuwan Barat terkait ‘kekejam-jahatan praktik ribawi’ yang dipraktikan di merata dunia.

Keempat, kasus Holywings yang dinilai sebagai ‘penodaan agama’ menjadi referensi berharga. Cara pandang Qurani secara analogis-akademis dengan mudah dapat mengidentifikasinya. Dengan arif-bijak referensi Qurani menyebutkan dengan tegas jika ‘meminum khamar’ (minuman keras), jutaan atau bahkan miliaran manusia ‘para peminum khamar’ di bumi ini adalah termasuk ‘perbuatan Syaitan’.

Tentu saja, tidak dapat divonis langsung jika para peminum tersebut adalah benar ‘syaitan’. Tidak dapat, bukan berarti ‘tidak seperti atau tidak menjadi’. Terpenting para penyuka khamar yang hampir di merata negeri (‘Barat’), bukankah sudah menjadi kebiasaan. Yang anehnya, hukum positif di rerata negara ‘Barat’ dilarang pengendara motor-mobil pada kapasitas ‘kandungan alkohol tertentu’. Realitas ini tentu saja memunculkan sebuah ‘kelucuan’. Dalam makna tertentu dapat dinilai sebagai sebuah ‘ke-dajjal-an.

Pengidentifikasian ‘Dajjal Baru’ ini adalah cara pandang untuk mengetahui kekeliruan lalu memperbaiki pemikiran dari sistem yang benar menurut referensi Qurani menjadi sistem ‘palsu’ [baca: Dajjal], atau yang disebut oleh Ahmad Thomson dengan istilah ‘Sistem Dajjal’. Upaya mengubah pemikiran pada akhir zaman (di penghujung zaman) adalah proses penyadaraan insani untuk mematuhi sistem keilahiahan yang telah terdegradasi menuju kepada kepatuhan [sunantullah] yang selama ini, tanpa sadar [terpedaya] menjadi manusia pembangkang [pen-dajjal-an].

‘Dajjal Baru’ esensinya terfokus, tidak pada ‘Dajjal’ sebagai personal, melainkan memberikan pemahaman lebih spesifik yang menyangkut ke-sistem-an. Dalam konteks ini, ‘Dajjal Baru’ adalah pemahaman baru bagaimana mengidentifikasi jika minimal keempat kepalsuan adalah bagian dari rekayasa personal makhluq Allah Swt yang memang diberikan mandat [otoritas], menyelewengkan atau menjerumuskan ummat manusia dari sistem ke-benar-an menuju ke-palsu-an [ke-dajjal-an].

Merujuk Syekh Imron Hussein yang menyamakan (identik) pernyataan bahwa ‘matahari terbit dari Barat’ adalah sebuah perumpamaan. Dalam konteks ini, ‘Barat’ dimaknai sebagai ‘Dajjal’ (kepalsuan).

Lalu benarkah kepalsuan tersebut dapat direpresentasikan oleh seseorang, personal atau makhluk Allah yang lain? Atau, apakah ‘Barat’ merupakan tempat bermukim (markas besar) makhluk tersebut beserta kroni-kroninya?  

Wallahualam bissawab. ***

Baca: Bahasa Politik, Bahasa Budaya?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *