Hainteny, Pantun dari Malagasi

Sastrawan

HAINTENY, Pantun dari Malagasi.

Tanggal 17 Desember 2020 yang baru berlalu, pantun telah ditetapkan oleh UNESCO dalam sidang sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paris sebagai warisan dunia. Maka ini berarti pantun telah diakui sebagai warisan kultural takbenda umat manusia yang berskala dunia. Ini sudah tentu tidak hanya akan membanggakan Indonesia dan Malaysia saja sebagai negara-negara “pengusung”, namun juga pastilah negara-negara lain yang serumpun di seputaran Nusantara atau Asia Tenggara. Bahkan “kalau tahu”, mungkin juga akan menjadi kebanggaan pula bagi William Marsden, Ernest Founiet, Victor Hugo, Charles Pierre Baudelaire, dan banyak lagi sastrawan Barat/Eropa lainnya yang pernah “bersentuhan” dengan pantoum, kalau bukan membuatnya sendiri.

Malahan pula mungkin sekali juga negara-negara “satu nenek moyang” dalam selingkaran bangsa atau ras Austronesia, yang dipercaya memiliki asal-usul, gen, bahasa, dan kebudayaan yang sama. Wilayah kedudukan “Bangsa” Austronesia ini oleh banyak ahli diyakini membentang dari Kepulauan Malagasi (Madagaskar) di sebelah Barat hingga Rapa Nui (Pulau Paskah) di Timur, dan Kepulauan Formosa (Taiwan) di sebelah Utara [ada sebagian yang berpendapat bahkan hingga Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang] hingga Aotearoa (Selandia Baru) di Selatan. Sejak ribuan tahun yang lalu. Suatu hamparan wilayah yang kalau [pernah] jadi satu kerajaan, pastilah jauh lebih besar lingkup wilayahnya dari kekaisan mana pun yang pernah ada dalam sejarah. Sebuah khayalan megalomania?

Malagasi sendiri diyakini adalah merupakan salah satu tapak peradaban “bangsa” Austronesia ini [sebagian ahli mengistilahkannya sebagai “Melayu Besar”, sedangkan ras Melayu yang mendiami kawasan Nusantara disebut sebagai “Melayu Kecil”], berdasarkan hasil beberapa penelitian. Dikutip dari Wikipedia, mereka sekarang dikenal sebagai orang-orang Merina (Imerina, Antimerina, atau Hova). Leluhur mereka, orang-orang Malayo-Indonesians (Melayu Kecil), diperkirakan tiba dan menghuni pulau yang sekarang disebut Malagasi itu sekitar abad ke-2 sampai ke-5 M, menyeberangi Samudera Hindia, dengan menggunakan sejenis perahu. Dalam perjalanan panjang sejarah, mereka pernah mendirikan beberapa kerajaan yang makmur seperti Sakalava dan Betsimisaraka. Bahasa [dialek] Merina sendiri menjadi bahasa resmi Madagaskar.

Orang Madagaskar sendiri secara umum berdasarkan penelitian mutakhir dinyatakan memiliki gen suku Bantu yang berasal dari Afrika (63 %) dan suku Banjar (37 %). Orang Banjar yang berasal dari selatan Kalimantan ini memiliki 77 % gen suku Melayu dan 23 % suku Ma’anyan (salah satu suku Dayak). Percampuran itu sudah berlangsung lebih dari 7 abad (sejak 1275). Demikian menurut Pradiptajati Kusuma, yang dikutip dari tirto.id dalam artikel “Ada Jejak Nusantara pada Gen Orang Madagaskar”, 15 Februari 2018.

Jejak itu pun bukan hanya menyangkut genetika saja, namun juga linguistik, [dan] kultural. Inilah juga metode yang dikembangkan oleh Stephen Oppenheimer dalam menyusun buku Eden in The East yang terbit pertama kali tahun 1998, setelah melakukan penelitian selama belasan tahun. Menurut Maurizio Serva masih dalam artikel di atas, dikatakan bahwa ada sekitar 45 % tingkat persamaan kosakata dasar antara bahasa Malagasi dengan bahasa Ma’anyan. Kalau ingin dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bolehlah kita coba-coba “penghiburan” dengan sedikit contoh berikut.

Kalau kita menyebut “langit”, maka orang Madagaskar menyebutnya lanitra. Indonesia “tahun”, Madagaskar taona. “Sepuluh” = polo [mungkin dari “puluh”, sebagaimana contoh berikut:], “dua puluh” = roa-polo, “empat” = efatra, “orang” = olana, “tanah” = tanety, “lembu” = omby, “sawah” = tanimbary (-bary = padi; mungkin berasal dari frasa “[tempat] tanam padi”), dan seterusnya. Asyik kan?

Dalam hal aspek kultural/kebudayaan, salah satu yang terkenal adalah apa yang disebut sebagai hainteny. Menurut Wikipedia, hainteny adalah bentuk tradisional dari sastra dan puisi lisan Malagasi, yang melibatkan penggunaan metafora yang berat. Hal ini terkait terutama dengan orang Merina di Madagaskar. Dalam penggunaan metafora dan kiasannya, puisi ini menyerupai jenis puisi lain, pantun Melayu, dan Fox menyatakan “sepertinya Merina membawa serta tradisi puisi Melayu-Polinesia” ke Madagaskar. […] Hainteny sering menggabungkan ohabolana (peribahasa) dan kabary (wacana publik; mungkin ada hubungannya dengan kata “kabar”, SAS). Kedua tradisi lisan ini tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari Malagasi, di mana keduanya diucapkan pada acara-acara seperti pernikahan, pemakaman, kelahiran, dan famadihana; dan merupakan komponen penting dari pertunjukan hiragasi. Mungkin juga termasuk angano (cerita rakyat dan dongeng), tantara (narasi sejarah; mungkin ada hubungannya dengan kata “tentara”, yang biasa berhubungan dengan peristiwa sejarah, SAS) atau ankamantatra (teka-teki).

Benarkah hainteny dapat digolongkan sebagai pantun? Mari kita coba tilik contoh berikut ini, yang dikutip dari books.google.co.id, sebuah buku berjudul Hainteny: The Traditional Poetry of Madagascar, yang diedit oleh Leonard Fox [diberi penjelasan: This book is the first translation into English of a large, representative collection of the quintessential form of Malagasy poetic creativity. In addition, it is the largest assemblage of hainteny texts ever published in one volume.), halaman 90, dengan bab berjudul “Kutukan Cinta” :

Tongolo manga faka
fary manga fololona
ny tandindon-dambany aza manitra
ka mainka ny lamba tinafiny

Bawang merah berakar biru
bebatang tebu berdaun biru,
bahkan ujung jubahnya pun harumnya bau
apatah lagi kain yang dia sampirkan.

Voarohirohin-kenatra ny vavako
voafatopato-baraka ny molotro
aniraho Ramanontany hiloa-peo
voanemba maina anie aho
ka raha voatohina dia mianjera

Mulutku tersumbat rasa malu
bibirku terbelenggu rasa malu,
kirimkan Ramanontany berbicara untukku
atau biarkan aku mengering layu
dan jatuh walau hanya disentuh.

Ny rambiazina no mamerovero an-tanety
ny tongolo no manitra voasary
ka raha nandre ny fameroverom-pitia aho
dia te-hividy ta-hanakalo
ny vava soa toa sakafo

Rerumputan menyebar harum di humus
bawang merah beraroma sitrus,
begitu kurasakan ada aroma cinta
ingin aku memilikinya
di bibir nan selezat rasanya.

Zana-pantaka azeninjenina
zana-bero asesiky ny omby
nasesiky ny fitia sy ny hanina aho
ka tsy mahalala ny masoandro ho rendrika

Kekanak riang bermainan
anak lembu disusukan induknya,
tersebab cinta kulupakan makan
dan tak peduli mentari ‘kan ke mana.

Andriamatoa*) volon-kotona
mamahatra ambanin’ny rano fa mora tapaka
Ramatoa*) ravim-bero
maitso faniry fa mora malazo
toy ny siny ka tsy manam-po afa-tsy ny rano
toy ny rano ka tsy manam-po afa-tsy ny siny

Wahai Tuan Kapas
yang mengapung di air tapi gampang terkupas
wahai Nyonya Buni
yang berdaun rona-hijau namun mudah lali,
aku bagai geleta yang tiada kuinginkan selain tirta
aku bagai tirta yang tiada kuinginkan selain geleta.

Apa yang kita kenal sebagai pantun selama ini adalah sajak yang memiliki “aturan-aturan teknis”, sekurang-kurangnya: a) satu bait pantun terdiri dari empat baris; b) setiap bait terdiri dari dua baris awal berupa sampiran (pembayang) dan dua baris akhir adalah isi; c) antara sampiran dan isi memiliki hubungan yang logis; d) setiap baris pantun terdiri dari empat untai kata [ada versi lain dengan ukuran 8 hingga 12 suku kata]; e) rima pantun terikat pada rumus abab. Dengan “aturan-aturan teknis” seperti itu dapatkah hainteny di atas dinyatakan sebagai pantun? Sepertinya tidak.

Jumlah baris pada setiap bait hainteny tidak selalu empat, ada lima, enam, bahkan mungkin lebih, atau kurang dari empat [belum ditelusuri bait-bait lainnya]. Apakah setiap barisnya terdiri dari empat untai kata? Ternyata juga tidak seketat demikian. Rimanya juga melenceng dari aturan pantun yang kita kenal (atau yang telah ditetapkan sebagai “rumus” pantun dunia?). Apakah dengan demikian berarti hainteny gugur, atau tidak dapat digolongkan sebagai pantun?

Namun, kita dapat melihat, ada “rumus” penting pantun yang masih setia digunakan, yaitu berkaitan dengan sampiran dan isi. Kita masih dapat menemukan sampiran dan isi di dalam hainteny ini. Beberapa bait juga memenuhi rumus hubungan yang logis itu. Kedua hal inilah yang terpenting, yang mungkin dapat disebut sebagai “bentuk esensial”, atau mungkin roh, sebuah pantun; dibanding dengan “bentuk substansial”, atau badan, untuk persyaratan lainnya. Bait keempat bahkan dapat dikatakan telah terpenuhi segala aturan baku itu.

Kalau sudah begitu, mungkinkah ia lantas dapat digolongkan sebagai talibun, yaitu sebuah varian lain dari pantun (selain karmina atau seloka)? Tidak juga nampaknya, karena talibun memiliki aturan bait yang berisi 6, 8, atau 10 baris per baitnya. Pada hainteny kita lihat jumlah barit setiap baitnya nampaknya cenderung tak beraturan, lebih bebas.

Saudara kita itu sudah membawa tradisi pantun ribuan tahun lamanya, dan lalu terpisah nyaris sepanjang masa itu pula dari “tanah nenek-moyangnya”. Perkembangan sejarah, akulturasi budaya, unsur lokalitas, barangkali membuat hainteny menjadi sebuah varian pantun tersendiri, yang tidak harus terikat kepada “rumus dasar pantun”; seperti kita juga di sini, dalam masa ribuan tahun itu.

*) Andriamatoa dalam wiktionary dijelaskan sebagai: a title of respect for the eldestmale in a family (andriana = “nobility”) + (matoa = “firstborn”). Sedang Ramatoa pula bermakna nyonya.

[CATATAN PENULIS: dengan segala keterbatasan dan mohon permaafan, terjemahan/alih-bahasa hainteny di atas sudah pasti tidak akurat karena Penulis tidak memahami bahasa dan kultur Malagasi. Tetapi – dengan mengedepankan “keberanian” dan maksud baik – sebagai perkenalan mudah-mudahan terjemahan itu sudah cukup memadai, sekurang-kurangnya untuk menggambarkan “suasana-makna” yang diusung oleh puisi/pantun hainteny itu. Terjemahan dilakukan dengan bantuan google-translate dan wiktionary, KBBI daring, Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko, serta dipandu dengan edisi terjemahan bahasa Inggris yang terdapat di halaman 91 buku yang sama]

***

Baca : “Tanamlah Aku Seperti …” HJ

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *