Opini  

Hasrat Menjadi Pemimpin

pemimpin

LAMANRIAU.COM –  Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin, pemimpin atas dirinya, minimal keluarganya, dan dalam tulisan ini fokus bahasan adalah kepemimpinan publik secara formal dan non-formal yang penulis rasa menarik untuk kita angkat dipermukaan, sehingga nantinya dapat menjadi renungan untuk kesadaran dalam upaya membangun tradisi baru yaitu sebuah sikap selektif dalam merekrut sosok pemimpin terbaik berdasarkan kemampuan, bukan semata hasrat, popularitas atau materi.

Hasrat membara untuk menjadi pemimpin sering kita temui dalam keseharian yang begitu penuh dinamika, baik pada level organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan maupun kemahasiswaan. Dan di struktural formal seperti posisi Presiden, Kepala Daerah, Dewan Wakil Rakyat dan tak ketinggalan seksi juga adalah posisi kepala Desa yang akhir-akhir ini dominan diperbincangkan. Hampir dapat dikatakan banyak orang yang berminat mengakses beberapa posisi ini, namun kadang kurang pertimbangan keadaan diri atas kehendaknya untuk duduk disana terkait dengan kelayakan dan kemampuan.

Nietzche seorang filosof Jerman mengatakan bahwa ada satu hasrat yang tak pernah padam dalam diri manusia yaitu hasrat untuk berkuasa, dalam teori kebutuhan Maslow dijelaskan bahwa ini adalah dorongan eksistensi, pengakuan serta ke-aku-an seseorang terhadap manusia lain dan di dalamnya ada kepuasan, maka banyak anak manusia berjuang secara mati-matian merebut posisi ini untuk memuaskan hasrat itu.

Manusia secara fungsi juga telah digambarkan Tuhan dalam al-Quran, bahwa ia diciptakan sebagai khalifah (pemimpin) (Qs. al-baqarah: 30) agar menjalankan fungsi kekhalifahannya, yaitu menggandakan kebaikan, kedamaian, keadilan serta kesejahteraan. Peran ini pernah Allah tawarkan pada langit, pada bumi dan lautan, tapi kesemuanya menolak, karena betapa berat amanah dan pertanggungjawabannya, dan akhirnya manusia yang menyanggupi.

Rasionalitas diterimanya amanah ini sungguh dapat dipercaya, bahwa sosok manusia dibekali instrumen pancaindra, akal dan hati untuk memahami segala ayat-ayat-Nya sebagai potensi sekaligus inspirasi. Maka, konsekuensi manusia dalam menjalankan fungsi kepemimpinan itu harus mengedepankan aspek pancaindra, akal dan hati serta ajaran sebagai ukuran, bukan nafsu yang tidak terbimbing.

Maka, menurut Plato sosok pemimpin ideal itu haruslah seorang Filosof, filosof dalam arti ia punya kafasitas pengetahuan, nilai diri serta kebijaksaaan dalam kepemimpinannya sehingga membuka peluang untuk percepatan kemajuan dan perubahan serta keadilan. Dengan begitu, Plato memahami bahwa memimpin bukan semata hanya menghandalkan kedendak untuk berkuasa tapi sebuah kualifikasi total yang harus ada pada diri seseorang.

Ambisi yang tidak terukur menyorongkan diri untuk menjadi pemimpin termasuk sikap kurang baik, karena sosok pemimpin itu punya ukuran tidak semata berdiri atas kehendak. Dalam dinamika sosial keseharian kita, tekait dengan rekrutmen kepemimpinan telah terjadi pergeseran motif dan nilai yang sangat luar biasa. Pemimpin tidak lagi dipahami sebagai fungsi tapi sebatas posisi yang menjadi semacam panggung eksistensi yang harus direbut secara mati-matian untuk memenuhi ruang kebanggaan bak remot yang memegang kendali.

Padahal pemimpin itu adalah soal fungsi, yaitu sejauhmana kemampuannya dalam menjalankan tugas dan wewenang dalam satu institusi atau organisasi sehingga tewujudnya target dan harapan bersama. Dengan kata lain harga diri dari sosok seorang pemimpin itu dipertaruhkan pada peran dan fungsinya pada wadah tersebut, jika ia tidak mampu menjalankannya secara baik maka dengan sendirinya posisi itu akan mengejek dirinya sendiri lewat penilain publik.

Oleh karena itu, memimpin adalah persoalan ilmu dan cara (leadership), pemimpin itu tidak bisa hanya lahir secara alami faktor keturunan oleh sebab kekuasaan, serta kekayaan, tapi harus melalui rekayasa sumberdaya, artinya ada proses penempaan serius yang dilakukan untuk mematangkan kecerdasan, baik itu intelektual, emosional maupun spritual. Sehingga hadir dan tampilnya benar bisa menjawab persoalan.

Kitapun mengapresiasi setiap individu yang punya niat, tapi niat itu juga harus dibarengi dengan konsep tau diri yaitu terkait dengan kadar, sadar, tensi dan porsi sang diri. Sebab, jadi pemimpin tidak cukup hanya semata dengan niat dan sikap baik, tapi ia juga harus cerdas, punya konsep tentang kemajuan, punya alternatif jawaban atas segala persoalan. Kemudian mampu mengoperasikan konsep serta orang-orang sekitar untuk menjadikan sebuah perubahan. Oleh karena itu, jadi pemimpin tidak cukup semata mengandalkan kehendak dan semangat, tapi perlu kalkulasi kemampuan dengan konsep tau diri, periksa diri.

Maka, setiap hasrat dan semangat seseorang untuk berkuasa itu Perlu diuji secara mendalam terkait dengan sikap dan pengetahuannya untuk menjejaki kemungkinan apakah ia benar mampu apa tidak menjalankan roda organisasi atau institusi tersebut. Hal ini untuk menghindari kematian sebuah wadah, disalah fungsikan sebuah wadah serta teraniayanya orang-orang yang dipimpin karena ketidak mampuannya. Dengan sesi uji itu biarlah ia tersisih oleh kemampuanya sendiri, sebab memimpin orang banyak ia harus lebih cerdas dari yang cerdas, harus yang terbaik dari segala yang baik.

Kedepan untuk mewujudkan pemimpin terbaik di wadah dan institusi apapun kita, pertama yaitu perlu mentradisikan “konsep tau diri”. Sebab, pemimpin itu tidak lahir atas kehendak secara dadakan, tapi sebuah proses dan karakter yang terbimbing yaitu lewat rekayasa sumberdaya, rekayasa sosial. Kalau selama ini ia tidak pernah bergaul, memikirkan, membicarakan bahkan berbuat untuk orang banyak lalu tiba-tiba mau dan diangkat menjadi pemimpin, tentu berpotensi menjadi persoalan dikemudian, padahal hadirnya ia justru untuk menjawab persoalan.

Kedua yaitu untuk mencari yang terbaik, selain seleksi atas mekanisme administrasi. Juga butuh seleksi dari mekanisme sosial, artinya diperlukan masyarakat aktif dalam upaya mencari dan menjejaki, menyeleksi hingga menguji sosok pemimpin untuk membimbingnya nanti. Maka, masyarakat harus aktif menguji sosok tersebut terkait dengan rekam jejak, sikap dan pengetahuannya selama ini, apakah ia punya pandangan bagaimana sesungguhnya memajukan oragnisasi, institusi ataupun daerah ataupun negeri ini kedepan. Jangan anggap ia pintar dan cerdas hanya meraba di alam status dan gaya, mentang-mentang kaya lalu dianggap cerdas, tapi benar pastikan bahwa ia mampu membuat perubahan atas kualitas yang dimiliki. Sebab, masyarakatlah yang memproduksi pemimpinnya, seperti apa sosok pemimpin itu, seperti itulah gambaran tingkat kecerdasan masyarakatnya. Jika, dirasa kita masih mendapat sosok pemimpin yang belum mampun wujudkan harapan dan perubahan maka rubahlah cara berpikir dan mencarinya. Sebab, tertumpu hanya pada seleksi administrasi semata, orang jahat dan bodohpun berpotensi memimpin ribuan orang baik dan pintar.

Inilah beberapa catatan pikiran yang dapat saya ketengahkan, berdasarkan pengamatan atas fenomena rekrutmen kepemimpinan yang selama ini dianggap sepele oleh kalangan masyarakat kita, padahal mereka ingin nahoda yang terbaik tapi abai pada proses mencari dan memilih. Jika tema kepemimpinan ini dipandang sebagai ruh sentral dalam mewujudkan perubahan maka kajian awal saya ini sangat strategis menjadi pengantar untuk dikembangkan pada forum-forum lainnya sehingga nantinya akan lahir tradisi baru dalam rekrut kepemimpnan kita, apapun jenis lembaga atau institusi itu.***

Penulis : Ahmad Tamimi, anggota Bawaslu Indragiri Hilir.

Baca : Jangan Mudah Percaya Terhadap Kritik

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *