Tiket Anak Musang

Hang Tuah

SIAPA pun namanya usah peduli.

Tetiba saja dia muncul depan pintu.

Bajunya crocodile asli.
Celananya Lee asli.
Sepatunya Bally asli.

Kacamatanya rayband ~ yang biasa dipakai para pilot terbang tinggi. Peredam teriknya sinar matahari.

Semua itu diperolehnya di PJ kota terbesar di Indragiri. Bandar bebas berjejaringan langsung luar negeri.

Cuma dia datang dari pusat kota menuju ke pinggiran kota naik oplet, bukan taksi. Menyambung langkah pula, berpeluh-peluh, berjalan kaki. Sehingga penampilan kerennya agak lecet dan meleleh di sana-sini.

Air mukanya jadi keruh kusam, tiada berseri.

Itu kemudian sepadan dengan hajatnya menemui seorang teman lamanya yang dia cari-cari.

“Aku harus sudah sampai Jakarta esok pagi.”

Lho ? Kenapa Memangnya? Kalau mau sampai ya sampai saja. Kalau mau tiba ya tiba sajalah di Jakarta esok pagi. Kok repot-repot pakai lapor-lapor lagi?

He hee.. Rupa-rupanya ujung-ujungnya dia tiada ber piti. Memohon minta duit dipinjami. Nanti. Paling lambat sebulan di Jakarta akan dia ganti.

“Cukup untuk ongkos tiket pesawat pun jadi.”

Kenapa tidak naik bus saja. “Kan jauh lebih murah?”

Dia jawab, lama. Dia mau cepat. Musim itu memang harga tiket bus lebih murah dibanding harga tiket pesawat melambung tinggi.

Sebuah perusahaan ~ konon katanya ~ sudah menampungnya kerja di Jakarta. Pekerjaan bagus untuk dia walaupun cuma tamat SMA. Tidak peduli juga badannya yang sudah termakan usia. Lebih penting lagi, ini bisa menyelamatkan masa depannya. Juga anak bininya. Setelah serabutan di sini-sana. Semua usaha tekor belaka.

Hmm. Tidak jadi soal kalau cuma ongkos tiket. Please terbang tinggi. Berangkat pakai pesawat paling subuh hari. Esok sudah tiba di Jakarta, pagi-pagi sekali. Ikhlas membantu teman sendiri. Terserah. Mau diganti atau pun tidak diganti.

Dia pun menghilang. Seperti lenyap di langit tinggi.

Lama tak terdengar kabar. Dan, siapa pun sudah tidak peduli. Tidak pula minta dikabari. Kemudian ketika dia alih-alih muncul di media sosial, pun tiada yang peduli.

Cuma anehnya, tetiba muncul lagi sikapnya tidak seperti dulu lagi. Inilah yang membuat orang-orang bertanya-tanya pada diri sendiri, di dalam hati.

Apa gerangan yang sudah terjadi?

Sifatnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Dia dulu agak santun, sekarang sudah pandai main terajang main embat.

Jangan coba puji ulama atau bela jelata yang dimelarat atau disekarat. Apatah lagi berani kritisi pepejabat hebat. Habis. Kena sembur kena babat. Kepada kawan pun macam tidak pernah bersahabat. Selembar tiket tentulah dia lebih lagi tidak ingat.

Buzzer kah ini?

Tidak tahu.

Siapa pun dia usah peduli.

Walaupun tetiba saja dia muncul lagi depan pintu. ***

Langsai, 2021

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *