Bangunan Seni Melayu

rumah singgah

Dalam seni Melayu
adat dan syarak jadi teraju

Yang disebut seni terbilang,
kepada adat tidak menyalah,
kepada syarak tidak menyilang

Apa tanda seni bermarwah?
Isinya elok lahirnya indah

Dato’ Sri Tennas Effendy

MEMULAI dari apa pun ilham serta ide, gagasan, aktivitas dan artefak yang dihasilkan, wujud budaya Melayu itu selalu berakar dan bersandar pada tiga pilar seni budaya Melayu, yaitu adab (etika), tuntunan (logika), dan indah (estetika). Baik karya bahasa sastra, pakaian, seni bangunan dan kerajinan, upacara adat, musik, tarian, permainan rakyat dan sebagainya. Tidak ada sama sekali yang mengarahkan pada hal-hal yang buruk. Pada fisik tidak mencelakakan jasmani. Pada jiwa tidak merusak rohani.

Datuk Tennas Effendy dalam buku Tunjuk Ajar Melayu menjabarkan, seni Melayu itu adat dan syarak menjadi teraju. Kemudian seni budaya yang hebat itu diolah (gagasan) dengan tidak menyalahi adat dan tidak menyilangi syarak.  Sehingga melahirkan karya-karya yang bermarwah, yang isinya elok dan lahirnya indah. Maka dari itu, selalu saja karya-karya yang lahir dari kebudayaan Melayu isinya selalu mengandung filosofi yang dalam untuk direnung. Sedangkan tampilan bentuknya selalu pula memberikan keindahan yang meneduhkan dan nyaman dipandang.

Oleh karena itu karya-karya dalam kebudayaan Melayu senantiasa jadi media pendidikan moral. Media pembentukan karakter. Media untuk merenung perbaikan diri. Bila itu karya tontonan sekaligus menjadi tuntunan.

Bila itu karya bangunan bukan saja jadi tempat berdiam dan berteduh tetapi juga tempat menjaga lembaga adat budaya.

Bila itu karya musik selalu halus untuk membentuk jiwa yang harmoni. Bila itu karya tari selalu gemulai menggambarkan kelembutan budi.

Bila itu pakaian, bukan saja alat penutup tubuh tetapi juga alat memarwahkan diri. Maka disebutkan baju kurung itu dikurung oleh adat dan syarak.

Inilah yang menjadi pembeda, antara hasil karya seni budaya Melayu berbeda dengan seni budaya daerah lainnya. Apatah lagi dengan daerah yang berbeda agamanya (syarak). Sesuatu – bukan semua – yang dianggap bernilai seni dalam kebudayaan Bali, misalnya, belum tentu dapat dikatakan bernilai seni dalam kebudayaan Melayu. Contohnya, tarian Bali yang mendedahkan dada dan bahu bagian atas. Dalam kebudayaan Bali bisa saja itu dianggap berkebudayaan. Namun dalam kebudayaan Melayu itu dianggap tidak berbudaya, karena sangat melanggar adat dan adab, lebih lagi pada syarak.

Segala ragam kebudayaan Melayu selalu diangkapkan dengan santun atau digambarkan dengan teduh. Karya-karya yang santun itu selalu berupa ungkapan pepatah petitih, syair, gurindam, pantun, bidal, cerita rakyat yang berupa karya lisan atau tulisan. Sedangkan karya-karya berbentuk fisikal selalu meneduhkan dan nyaman untuk dipandang.

Di dalam seni banyaklah arti
Di dalam pantun ada penuntun
Di dalam pepatah terdapat amanah
Di dalam bidal banyaklah akal

Kehalusan ungkapan dan sikap dalam budaya Melayu bukan saja terjadi dalam hubungan antarsesama manusia. Tetapi juga pada hewan dan makhluk yang ghaib. Untuk mengetahui ini, orang bisa melihat pada upacara menumbai, yaitu tradisi mengambil madu lebah di pohon sialang di daerah Pelalawan, Riau.

Dalam proses mengembil madu di tengah malam ini, sang pawang berbaik-baik laku terhadap sang lebah yang punya sarang dan sialang. Ini diungkapkan dalam syair atau pantun tradisional Melayu itu, seperti kutipan ini :

Mbat menghembat aku todung
Mbat mai di ate tanggo
Kalau ya sialang ni lingkaran todung dan nago
Tetaplah juo di bonie kayu.

Orang Kampe menggulai labu
Mai digulai kulit-kulitnyo
Hitam manis baiknyo laku
Awak diam dicubitnyo..

Yang di bawah contoh bagaimana orang berkomunikasi dengan dengan makhluk ghaib dengan santun dalam bahasa budaya Melayu Riau.

Pinjam tukuol pinjam landean
Tompat menukuol kalakati
Pinjam dusun pinjam laman
Tompat main malam ini

UU Hamidy, 2010

Ragam budaya Melayu kaya sekali. Lagi-lagi dalam seni bahasa dan sastra. Untuk menggambarkan orang atau pemimpin yang zalim atau bodoh atau bahlul sekali pun mereka tetap memakai bahasa berbudaya. Halus, santun, malah berkelakar.  Maksudnya “mencubit” (mengkritisi) tetapi sambil menggelitik (kelakar). Jenguklah cerita kelakar Melayu yang berpaut akar budayanya, mulai yang anonim sampai yang terciptakan era kini, seperti Pak Ande alias Pak Pandir, Lebai Malang, Musang Berjanggut dan lain-lain, sampai kepada Yong Dolah atau Kelakar Wak Atan sekali pun.

Puisi di bawah ini bisa lebih menjelaskan lagi posisi Seni budaya Melayu :

SENDI SENI KITA

Kepada : james bowall@sukmais

Seni kita, bukan saja polesan estetika
Di situ juga ada bangunan etika
dan kuatnya pondasi logika

Dalamnya estetika kautemui keindahan diri
Dalamnya etika kauhayati kerendahan hati
Di logika, kauselusuri cerahnya akal budi

Kode etik kita bersandikan adat-budaya
Kode budaya bersendikan syarak
Syarak bersendikan kitabullah

Puisi kalian sengaja diolah memandir
Tambah jauh semakin hanyut ke hilir
Tidak berawal tidak pula berakhir

Puisi kami senantiasa jernih tak menyesat
Tambah jauh cahaya semakin mengilat
Awalnya dunia titik akhirnya akhirat

Seni menghibur bukan melacur
Seni menyuluh bukan merusuh
Seni memadu bukan meracun

Indah tertukar tujah, jadi limbah
Adab tertukar biadab, jadi fitnah
Otak tertukar kotak, jadi sampah

Indah, menghibur. Rumahnya di sukma
Adat, memelihara. Menaranya di jiwa
Benak, berupaya. Jalannya di teroka

Berbancuh estetika dengan etika,
sudah manis bertambah wibawa.

Berbancuh etika dengan logika,
sudah santun masuk akal pula.

Berbancuh logika dengan estetika,
walau dikritik terasa digelitik saja.

Berpuisilah, melembut hati tetap berseri.
Beretikalah, ramuan rukun sesama manusia
Berlogikalah, obat pikun tidak lekas, pelupa.

Pekanbaru, 442018

(Mosthamir Thalib, 2018) ***

Pekanbaru, 2021

Baca : TKA Ikan Emas

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *