Penopang Hijrah

hijrah

PADA bulan Agustus tahun 2021 ini ada dua momentum penting yang menjadi perhatian bagi umat Islam Indonesia. Pertama pada bulan ini diperingati 76 tahun Indonesia merdeka. Kedua, pada bulan ini diperingati peristiwa hijrah.

Hijrah merupakan suatu metode yang dilakukan nabi Muhammad Saw untuk membentuk masyarakat madani islami yang menjadi tatanan masyarakat ideal sepanjang masa. Secara harfiah, hijrah bermakna pristiwa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah juga dapat berarti sebagai pristiwa pindahnya dari suatu kondisi ke kondisi yang lain. Esensinya pindah atau bergerak dari situasi dan kondisi yang kurang baik kepada yang baik, dari yang baik menuju kepada yang lebih baik.

Hijrah dalam makna fisik pernah terjadi sebanyak tiga kali. Pertama hijrah yang dilakukan kaum muslimin dari Mekah ke Habsyah; kedua hijrah yang dilakukan dari Mekah ke Thaif; ketiga hijrah dari Mekah ke Madinah.

Menurut Raghib al-Isfahani, pakar leksikografi Alquran, setelah meneliti penggunaan kata hijrah di dalam Alquran yang terulang sebanyak 31 kali mengatakan bahwa ada tiga makna yang dituju oleh kata tersebut, yaitu: pertama, pindah dari negeri yang berpenduduk kafir atau musyrik ke negeri yang berpenduduk muslim; kedua, meninggalkan syahwat, akhlak yang buruk, dan dosa-dosanya menuju kebaikan yang diperintahkan Allah Swt. Ketiga, mujahadat al-nafs (mengendalikan hawa nafsu) untuk mencapai martabat yang hakiki.

Dalam kaitannya dengan hijrah itu, maujud enam elemen atau unsur penting yang membentuk peradaban Islam jika dilihat dari pristiwa hijrah yang dilakukan nabi dari Mekah ke Madinah sekitar 14 abad yang lalu, yaitu pemimpin, pengusaha, pemuda belia, kaum perempuan dan non-muslim yang dapat diajak berkerja sama.

Pertama, kepemimpinan. Hal ini langsung terlihat pada sosok nabi yang tampil sederhana akan tetapi punya misi dan visi yang jauh ke depan. Nabi Muhammad Saw mampu menyatukan masyarakat perantau dan masyarakat tempatan untuk mewujudkan masyarakat madani islami, hal ini terlihat dari bersatunya kaum muhajirin (perantau) dan anshor (penduduk lokal) untuk memajukan Negara madinah sehingga terciptalah masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang dibentuk untuk dapat menikmati kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Masyarakat yang mengedepankan nilai ilahiah dalam menjalani proses kehidupan.

Kedua, peran kaum tua yang bijak dan berhati mulia. Ini terlihat pada sosk Abu Bakar As-Shidiq yang berhati mulia. Menemani nabi dalam kondisi apa pun. Mengorbankan apapun demi kepentingan Islam. Mempercayai apapun berita yang dibawa nabi tanpa ada filter sedikitpun jika itu kabar yang bersumber dari nabi Muhammad Saw. Cinta dan kepercayaan yang tulus ini menjadi modal dasar menempatkan Abu Bakar menjadi salah-satu manusia yang dicintai nabi Muhammad Saw sehingga membuat ia pun akan dicintai Allah Swt.

Ketiga, para saudagar atau pengusaha. Hal ini terlihat dari figur sahabat nabi yang tajir, seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, dan sahabat nabi yang kaya lainnya. Mereka memahami bahwa harta hanya titipan Ilahi untuk bekal dalam perjalanan dunia yang pendek dan perjalanan yang jauh ke masa hadapan. Untuk itu, mereka meletakkan dunia hanya di tangan tidak di hati, sehingga tidak segan dan berat hati menyerahkan sebagian harta itu untuk kepentingan umat Islam karena mereka menyadari bahwa yang diinfakkan, yang digunakan untuk kemaslahatan umat, itulah harta mereka yang sesungguhnya, harta yang dibawa dan menolong mereka setelah kehidupan dunia berakhir. Mereka yang amat yakin dengan firman Allah Swt dalam surat Albaqarah ayat 261: Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai akan menghasilkan seratus butir biji, dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.

Keempat, elemen berikutnya adalah kaum belia. Saat hendak berangkat hijrah menuju kota Yatsrib yang kemudian bernama Madinah, nabi membangunkan sepupunya Ali Bin Abi Thalib untuk menggantikan posisinya di tempat tidur dalam rangka mengecoh para kufar. Saat itu Ali mengikuti saja tanpa ada tawar menawar. Ia gadaikan nyawa demi nabi Muhammad Saw, manusia yang sangat dicintainya itu. Sikap Ali ini sejatinya menjadi pengajaran amat berharga bagi kaum muda Islam masa kini dalam berjuang untuk kejayaan Islam di masa depan.

Kelima kaum hawa. Ini terlihat salah satunya pada sosok Asma binti Abi Bakar yang mempersiapkan perbekalan Nabi dan Abu Bakar saat berangkat meninggalkan kota Mekah. Bahkan ia menyuruh pembantunya bernama Amir bin Fuhairah membawa kambing-kambingnya mengikuti unta rasul ketika hendak meninggalkan Mekah. Semua itu dilakukan agar jejak unta Rasulullah Saw dan Abu Bakar tidak terlihat oleh kafir Quraisy.

Keenam kaum non-muslim yang berhubungan baik dengan umat Islam. Kabarnya, ketika nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar hijrah pertama kali, jalan yang mereka lalui merupakan rute yang tak biasa ditempuh para musafir kebanyakan. Penunjuk jalan tikus atau rute alternatif itu adalah Abdullah bin Uraiqith, seorang Badwi yang saat itu belum memeluk Islam. Pun, setelah Negara Madinah berdiri, penduduk Madinah bukan saja terdiri dari kaum muslimin akan tetapi juga dari berbagai etnis dan pemeluk agama lainnya, seperti Yahudi, Nasrani dan lainnya. Mereka hidup penuh damai, makmur dan sejahtera di dalamnya di bawah kepemimpinan nabi Muhammad Saw.

Demi menuju kecemerlangan dan mengembalikan kejayaan umat Islam di masa depan, orang-orang yang berkarakter enam unsur di atas merupakan peneraju awal dan utama untuk menopang terciptanya peradaban yang dicita-citakan tersebut.

Apakah kita termasuk satu dari enam tipe manusia hebat penopang hijrahnya nabi dalam rangka menciptakan peradaban emas di atas?

Wallahu a’lam. ***

Baca : Kemerdekaan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *