Sajak dan Puisi Ni Made Purnama Sari

ni made purnama sari

Jalan Cilame

Baru saja sebutir kedelai
meluncur bergulingan
Sebelum roda seorang tukang becak
Menggilasnya pecah berserak

Becak tua langganan pedagang pasar lama
Terkelupas catnya tersebab basuhan hujan garam
Juga keringat tangan para pelancong
yang tak henti menunjuk bertanya
Pada gudang begitu kumuh
Rumah berhantu separuh rubuh
Dan timbunan sampah wihara sebelah

Cilame seketika bagai museum terlupa
Ibarat pencuri sembunyi dari kejaran waktu
Menyelinap di gang-gang kecil
Menyamar tikus tanah, coro yang lemah
Atau ratap sedu seorang kuli bocah
lalai abainya disesali berkali-kali

Nanas-nanas dikupas sekenanya
Seperti kucing penuh kutu
Melompat dari keranjang ke keranjang
Menukik naik ke atap, mengincar remah ikan goreng
Lalu hinggap dalam catatan perjalanan
Sekilas tinjauan mata
Dari satu wisatawan
Atau wartawan amatiran

Seorang kakek penunggu warung
Melambai pelan padamu
Sambil menawarkan obat mujarab
Buat menghalau kepikunan usia renta

Tapi inilah Cilame sekarang
Sisa aroma kecap kedelai hitam
Yang meresap ke celah dinding
Menyusup hingga ke masa depan
Di mana tak seorang pun kuasa mengingatnya

2014

Tangan

Tanganku, apa yang selama ini sudah kau buat?
Mengapa semua tidak bisa lagi kau ingat?

Mari ke sini, kita baca buku lagi
Berhentilah membuat puisi tentang maut
Percayalah kita akhirnya akan abadi

Kenangkanlah genggam lembut jari kekasih
Yang membuatmu tak henti mengirimkan surat-surat
Sajak-sajak dan pesan-pesan. Kau kirimkan padanya.
Seolah kau lebih cinta padanya. Daripada yang kutahu

Lebih liar, tanganku. Bikinlah sesuatu yang lebih liar
Dari bulan musim gugur. Dari cermin hilang bayang
Buatlah aku takut oleh fantasimu
Mengayun bersama malam. Melampaui mimpi demi mimpi

Mengapa kau cemas pada guratan nasib buruk
Nujuman penyihir tua sebuah sirkus waktu silam
Tidakkah kau lebih percaya padaku
Bahwa itu ramalan biasa, pelipur bagi mereka
yang kepingin mencuri masa depan

Tanganku, jangan kau abai dan ingkari aku
Kalau kau mati, aku tak mau
Aku tak siap kehilanganmu

2014

Menunggui Ayah

untuk vy
tubuh yang rapuh
siapakah berbaring
ingin sandarkan jiwa

di sisimu?

kau bagi kelam mimpi
kisah di tiap lipatan sendi:
tanda di wajah, bulan separuh
dia—cermin diri itu
memantulkan bayangmu
dan karam bersamanya

dekapan hampa
tak jemu kalian ulangi
mengandaikan diri berbagi
kekasih yang sama:
mencuri dan menyelipkannya
jadi milik masing-masing
acuh akan ayunan tangan waktu
yang membelai tilam kelambu
tanpa pelukan bunda
ketika demam melanda

bagaimana dapat redakan
batuk tengah malam
yang berlarian

bersusulan
bagai sekumpulan rusa dalam rimba
cemas sembunyi dari intaian musim badai
napas tersengal di sela semak—
duri suaramu sendiri

tubuhmu kelopak bunga
yang menaung hidup pada inang mati

sementara dunia maha luas
dan manusia bagai rumput
berbiak dan liar
tumbuh dan merapuh

2019

Surat Cinta untuk Jakarta

di antara tanda baca
koma dan jeda
alinea terakhir sebelum salam perpisahan
aku ingin bicara kepadamu:
kau beri aku nama
tanpa cerita yang bisa dipercaya
sekian kelana melampaui bulan
sekian tamat sepanjang tahun
kini sia-sia dalam sebaris kalimat
penutup sebuah pesan, sebuah sajak cinta
yang kau ragukan kebenarannya

bagaimana kau tahu siapa
dari samar bayangannya?
di suatu kota asing, tempatmu sekarang
bunga seberang jalan, halte di simpangan
pagi menjalin tidur
dalam kuntum musim semi
kepungan waktu—
jangan kau hindari, jangan lari
bacalah segugusan isyarat, laku sederhana
timbang satu kata, jutaan peristiwa
himpunlah selapis angan tak nyata
yang kau yakini begitu murni
lalu kirimkan dengan gembira
seperti tukang pos yang mengantarkan
suratnya yang pertama
atau pembuat roti
menatap ranumnya lempung gandum
yang kelak mengenyangkan lapar si miskin

kau tahu surat ini akan sampai kepadanya
dipahami atau tak; mengapa mesti cemas
masuklah ke dalam hujan
hatimu kuyup
berdiang pada unggun harap
dengarkan langkah kakimu
di tangga stasiun bawah tanah
tanpa peta mau ke mana
sesatkan diri di lorong pemukiman
kemudian seperti kucing liar
tantanglah hidup dengan sembilan nyawa
dalam genggaman!

2019

 

Ni Made Purnama Sari lahir di Klungkung, 22 Maret 1989. Mendirikan Komunitas Sahaja di Bali. Kini ia menempuh Program S-2 Magister Manajemen Pembangunan Sosial, FISIP, Universitas Indonesia. Buku puisinya adalah Bali-Borneo (2014). Dia menulis puisi, prosa, dan esai. Sempat bergiat di TEMPO Institute, kurator fiksi-budaya di Indonesiana TEMPO, kontributor, hingga editor buku-buku memoar dan terjemahan. Kini bergabung di Bentara Budaya. ***

Baca : Kumpulan Puisi Klasik Karya Sapardi Djoko Damono

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

 

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *