Kosmopolitanisme Islam

Pemuda

KATA kosmopolitanisme ini, terdiri dari dua kata, yaitu kosmos yang berarti alam raya atau dunia, dan polites yang berarti masyarakat atau warga Negara. Maka kosmopolitanisme adalah sebuah keyakinan bahwa warga masyarakat di dunia ini sesungguhnya merupakan satu kesatuan, merupakan jalinan kesatuan yang berkelindan atas sebuah tatanan etik-global, yakni kemanusiaan. Aneka ragam yang lahir dari setiap “gang kecil” dari dunia ini, menjadi pijakan penting untuk saling berdialog untuk membangun tatanan dunia yang damai dan beradab.

Kesadaran akan pentingnya membangun kesadaran akan kosmopolitanise Islam ini menjadi relevan dalam konteks dinamika global saat ini. Yaitu, dengan munculnya teknologi informasi, maka dunia saat ini tidak lagi memiliki jarak, batas, dan ruang-waktu. Interaksi antar sesama manusia tidak lagi terbatas face to face secara fisik, namun juga secara non-fisik dalam dunia maya. Dalam satu waktu, interaksi ini, tidak hanya terbatas pada wilayah yang sama, melainkan juga bisa merambah di berbagai benua. Tidak jarang, proses itu kemudian membentuk sebuah komunitas yang disebut dengan istilah masyarakat berjejaring (network society). Jaringan ini, terbentuk berdasarkan kesamaan tema, isu, maupun kepentingan. Kesamaan ini lalu menjadi persaudaraan baru, persaudaraan yang terbangun atas dasar kesamaan ide, kepentingan, budaya, bahkan agama.

Dalam situasi seperti itu, praktik-praktik kosmopolitanisme Islam yang terbangun dalam sejarah, mestilah menjadi dasar bagi kita saat ini, untuk mengembangkannya. Keterbukaan umat Islam masa lalu terhadap peradaban yang datang dari luar, yang kemudian melahirkan “golden age”, era keemasan Islam, merupakan ekspresi dari Islam yang kosmopolit. Kemajuan ilmu pengetahuan Islam pada masa itu, merupakan buah dari interaksi dan dialog antara umat Islam dengan masyarakat di luar umat Islam; Kristen, Yahudi, dan lainnya.

Dalam masyarakat yang kosmopolit, sikap dan budaya dialektik ilmiah menjadi penopang penting. Proses ini, mempersyaratkan akan adanya toleransi. Misalnya meskipun para ulama dahulu memiliki pemahaman yang beragam, sesuai dengan kapasitas dan substansi keilmuan yang mereka miliki, namun mereka tetap memegang teguh dalam merawat perbedaan itu. Sehingga tidak muncul cacian, makian, atau kafir-mengkafirkan.

Gus Dur dalam salah satu tulisannya yang berjudul Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia, Transformasi dan Kebudayaan, menyebutkan bahwa sebuah kosmopolitanisme Islam terbangun atas ajaran moral Islam itu sendiri, yaitu;

Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Ini merupakan aspek penting dalam upaya menyelesaikan sebuah permasalahan yang tidak boleh diselesaikan dengan cara-cara kekerasan, sehingga menyakiti fisik seseorang. Apa yang dilakukan oleh Jendral Napoleon atas Muhammad Kece, adalah tindakan yang tidak mempertimbangkan aspek ini, apa pun alasanya. Karena, bagi Gus Dur, Islam tidak mengajarkan kekerasan dan hal-hal yang sifatnya anarkis.

Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din); Jika orang beragama dianggap sebagai sebuah “hidayah”, petunjuk Allah atas agama yang dipilih dan diyakininya, maka tidak boleh bagi kita untuk merusak “hidayah” itu dengan memaksanya ikut dengan agama yang kita yakini. Sebagai umat Islam, wajib memberikan rasa “nyaman” bagi orang lain untuk menjalankan keyakinan dan ritual sesuai dengan agamanya.

Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl); Islam mendorong umatnya untuk terus memperbaiki kualitas keturunan, membina sikap mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan diantara sesama umat manusia, dan Allah mengharamkan zina sebagai bentuk pemuliaan manusia dan keturunan.

Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal); meskipun harta benda yang kita miliki adalah titipan Tuhan, namun proses perolehannya merupakan hasil jerih payah yang kita lakukan. Kita juga dilarang untuk memperoleh harta benda yang dimiliki melalui jalan koruptif, menjarah, dan lainnya.

Dan, kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk);

Kelima dasar itu, akan terwujud jika masing-masing kita memiliki kesadaran akan persamaan derajat dan sikap tegang rasa terhadap perbedaan pandangan. Karena memang, secara fungsional, misi Islam terhadap upaya perbaikan sosial dikendalikan oleh adanya budaya toleransi, keterbukaan sikap, dan peduli terhadap kemanusiaan. Sehingga, lahir sebuah kesadaran bagi umat Islam di Indonesi saat ini, sebagaimana yang disebut oleh Amin Abdullah (2019) kesadaran akan harkat dan martabat manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat dengan umat beragama (greather inter-faith interaction), kesetaraan antar warga negara (equel citizenship), dan seterusnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Membela Agama, Membela Kemanusiaan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *