Asal Tanah Kembali Tanah

tanah

Air mata mengalir tumpah
air tanah tersumbat sampah
biarkan mereka gadai marwah
esok pasti pulang ke tanah

Asam gelugur asam kandis
kedua asam meriang riang
pulang ke tanah mereka menangis
mengingat ulah menjadi biang

Bukan panah sembarang panah
belajar memanah perintah baginda
cinta dunia serakah tanah
akhir zaman menjadi pertanda

OLEH karena sudah menjadi kegiatan rutin, diskusi minggu kemarin terasa berbeda walaupun sedikit. Sebelumnya, selalu saja adu argumen ihwal tajuk Jengah Jenguk yang akan dikemukakan. Rupanya kemarin berbeda. Pertajukan tidak begitu diperdebat-masalahkan. Tidak seperti biasa yang ada justru persamaan. Tajuk ini didedikasikan khusus kepada mereka yang diberi amanah menjadi “penguasa dan yang diberi kuasa”. Ihwal tanah!?

Tajuk Jengah Jenguk hari ini sejujurnya hampir mirip dengan tajuk sebuah buku, “dari lubang kembali ke lubang”. Siapa penulis dan apa isinya? Silakan ditelusur jejak digitalnya. Kelik nama tajuk bukunya. Insya Allah, mbah google langsung meresponnya. Silakan dicoba.

Bersagang pada peristiwa trending dua mingguan belakangan ini, negeri berjuluk, “kolam susu” begitulah jika ingin mempertanya-soalkan tentang kejati-dirian. Dalam pemaknaan sederhana adalah sesuatu yang berhubungan langsung maupun tidak dengan jati diri. Belakangan gugatan terhadap ke-jatidiri-an inilah penyebab (sebagai tersangka) hiruk-pekak menyengat telinga. Siapa atau Apa?

Tanah adalah tersangkanya. Tanah adalah tertuduhnya. Tanah adalah biang jatinya. Tanah adalah jatidirinya. Dan tanah akan menunggu kepulangannya. Simplikasinya sesuai tajuk sebuah buku “dari lubang kembali ke lubang”. Aku, engkau, dia, kami, mereka, dan kita yang berasal “dari lubang (?) akan kembali ke lubang (?)”. Begitulah otentik esensinya tanah dalam Jengah Jenguk hari ini.

Sejauh jiwa mengelana, boleh jadi tak banyak yang memahami. Jika tanah adalah identik dengan manusia. Boleh jadi pula, tak banyak yang mengerti filosofi diharamkannya seorang Muslim mengkonsumsi daging babi. Selain perintah Qurani yang melarangnya. Maka taat adalah pancangnya. Namun siapa menyana jika ditilik berdasar DNA-nya, hewan babi hampir menyerupai manusia.

Belajar dari sisi hampir inilah, maka filosofi “mengkonsumsi (memakan) daging babi, identik dengan memakan manusia (saudara sendiri), tidak keliru”. Begitulah memaknai sebuah perumpaan. Oleh karena itu se-jakarta-nya (biasanya, se-yogya-nya) khusus para pihak penguasa, dan pemberi kuasa tanah menyadar-makluminya.

Mengapa tak engkau pandang dirimu sang “penguasa tanah”. Mengapa engkau tak bercermin sang “pemberi kuasa tanah”. Kepada pemberi kuasa dan yang menguasai, “kalian adalah tanah”. Asal tanah akan kembali tanah.

Boleh jadi sang penguasa lupa. Renungkanlah lirik lagu Indonesia Pusaka.

“Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu dipuja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata”

Wallahualam bissawab. ***

Baca : Pertarungan dua Khilafah Dunia

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *