Sumpah

Bang Long

Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2021)

Bismillah,
SADAR atau tidak, Saya dan Saudara mungkin pernah bersumpah. Sumpah bisa muncul karena hati sedang mengkal. Sumpah juga bisa muncul karena suatu kebohongan. Sumpah pun bisa muncul karena kita ingin mempertahankan suatu kebenaran. Bahkan, sumpah bisa juga muncul karena kita ingin mempertahankan diri dari berbagai tekanan. Karena suatu perjanjian pun, kita sanggup bersumpah. Intinya, kita bisa saja bersumpah karena alasan tertentu sesuai kondisi yang dialami.

Waktu memang cepat berlalu. Sembilan puluh tiga tahun sudah bangsa ini bersumpah. Sumpah Pemuda tercetus dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Kongres ini berlangsung selama dua hari, 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia. Inti Sumpah Pemuda: (1) Bertanah air satu, tanah air Indonesia; (2) Berbangsa satu, bangsa Indonesia; (3) Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Inilah sekebat kesadaran bersama tentang patriotik dan nasionalisme. Inilah tonggak awal kesadaran berkebangsaan. Inilah juga pancang awal persatuan yang kita dengungkan itu. Yang terpenting, Sumpah Pemuda ini merupakan rahmat dari Allah Azawajalla.

Dalam kaitannya dengan peristiwa bersejarah ini, sumpah identik dengan ikrar atau janji. Sumpah bermakna memberikan penguatan, kekuatan, tekad, semangat, atau ghirah. Jadi, hakikat Sumpah Pemuda adalah memberikan penguatan, kekuatan, tekad, semangat, atau ghirah kepada bangsa ini dalam memancang jatidiri berkebangsaan dan persatuan. Peristiwa bersejarah ini merupakan tujuan untuk menguatkan apa yang diinginkan oleh para pemuda (bangsa) Indonesia ketika itu, saat berada dalam tekanan penjajahan. Tekat itu lahir dari tetesan air mata. Dari kekuatan inilah, Indonesia terlahir.

Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, berpidato sastra mengenang penyair besar, Chairil Anwar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Kamis, 23 Mei 2013 malam.

”Ketika pemuda mencetuskan Sumpah Pemuda, Indonesia belum ada, masih dalam bentuk imajinasi. Dalam puisi, imajinasi adalah hal utama. Indonesia lahir dari puisi,” katanya malam itu. Sutardji memandang Sumpah Pemuda sebagai pemantik api perjuangan dari berbagai macam latar belakang kehidupan sosial, politik, budaya, etnis, dan berbagai perkumpulan di wilayah jajahan Belanda yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda.

Pada sisi lain, sastrawan Taufik Ikram Jamil mengatakan, karya sastra termasuk puisi, selain alamiah juga ilmiah. Puisi bisa dijelaskan, memiliki tubuh dan sosok, memiliki hitung dan perhitungan, sama seperti membongkar rumus pythagoras dalam matematika. Hal yang sama juga disampaikan penerima hadiah nobel dari Amerika Latin, Garcia Marquez. Dia mengatakan, imajinasi bukanlah sesuatu yang omong kosong. Imajinasi dilandasi oleh kenyataan-kenyataan yang wujud, setidak-tidaknya bisa direkonstruksi sebagai sesuatu. Semelambung apa pun imajinasi, ia tetap membumi.

Kita sudah merdeka. Kemerdekaan itu lahir dari kekuatan imajinasi dalam Sumpah Pemuda. Kekuatan imajinasi itu menjalar di tanah air, menjentik semangat perjuangan, dan memantik semangat kebangsaan laksana nyala api membara. Sumpah bertanah air satu, tanah air Indonesia telah membatasi agar kita tidak berkhianat kepada bangsa dan negara ini. Sumpah berbangsa satu, bangsa Indonesia telah membatasi agar kita selalu setia dan menjadi nasionalis sejati. Sumpah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia telah membatasi kita untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Namun, yang menjadi pertanyaan, sudahkah kita berada dalam batasan diri seperti itu? Atau jangan-jangan, kita sudah menjadi pengkhianat, anti-nasionalis, dan malu berbahasa Indonesia. Hus puss, diamlah!

Tak perlu berkoar-koar bahwa kita sudah merdeka jika tak bisa mengisi sesuatu yang berharga dalam kotak kemerdekaan itu. Dalam hal ini, keikutsertaan para pemuda (bangsa) Indonesia sangat penting. Tentu saja kotak kemerdekaan itu mesti diisi dengan emas dan berlian, bukan karatan besi atau longkang. Puisi yang sangat cermat berpesan tentang harapan kepada para pemuda berjudul Wahai Pemuda Mana Telurmu? karya Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Apa gunanya merdeka/ Kalau tak bertelur?/ Apa gunanya bebas/ Kalau tak menetas?/ Wahai bangsaku/ Wahai Pemuda/ Mana telurmu? Telur melambangkan hasil dari suatu karya. Pemuda (bangsa) Indonesia selayaknya mengisi kotak negara ini dengan karya-karya berharga serta perangai, sifat, dan sikap yang bertamadun. Menetas bermakna menjadi bangsa yang selalu memperbarui diri dengan hal terbaik. Jika tidak, kita hanya seperti Burung/ Jika tak bertelur/ Tak menetas/ Sia-sia saja terbang bebas.

Kemauan memperbarui diri sudah merupakan tuntutan zaman. Zaman terus berubah. Perubahan tersebut mendorong kita untuk mengembangkan kemampuan dari berbagai segi. Gunanya untuk mengisi kotak kemerdekaan bangsa dan negara ini. Perubahan dan pembaruan pada diri kita tersebut seperti Kepompong menetaskan kupu-kupu/ Kuntum membawa bunga/ putik jadi buah/ Buah menyimpan biji/ menyimpan mimpi/ menyimpan pohon/ dan bunga-bunga. Kupu-kupu, bunga, putik, buah, biji, mimpi, dan pohon merupakan simbol tentang perubahan dan pembaruan itu. Kita seperti berada pada spiral daur kehidupan. Spiral daur kehidupan itu terus bergulir sepanjang waktu yang kita jalani. Sutardji pun memetaforakan manusia (pemuda) sebagai burung berpikir dan burung merenung. Dalam hakikat berpikir dan merenung itu, manusia (pemuda) mesti membangkitkan kesadarannya bahwa manusia harus bertelur. Manusia (pemuda) harus berkarya untuk memberikan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara ini. Pada dua bait terakhir, Sutardji memberikan pesan tajam kepada para pemuda (bangsa) negara ini.

Wahai pemuda
Wahai Garuda
menetaslah
lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini !

Menetaslah seperti dulu
Para pemuda bertelur emas
Menetas Kau
Dalam sumpah mereka
(7 Agustus 2010)

Sumpah memiliki dua makna, yaitu (1) ikrar; janji; (2) kutukan; tulah; umpatan. Sumpah Pemuda merupakan ikrar atau janji kita sebagai bangsa Indonesia. Setia berpegang pada pancang ikrar atau janji akan membarakan semangat patriotis dan nasionalis untuk membangun Indonesia seperti bait puisi Diponegoro karya Chairil Anwar: Di masa pembangunan ini/Tuan hidup kembali/ Dan bara kagum menjadi api. Sementara itu, sikap tidak setia berpegang pada pancang ikrar atau janji akan membentuk semangat pengkhianat. Jika sudah menjadi pengkhianat, maka sumpah akan menjadi kutukan, tulah, dan umpatan laksana puisi Sajak Anak Muda karya W.S. Rendra.

Para pemuda, bertelur emas. Lalu, menetaslah! ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Ahad, 17 Rabiul Awal 1443 / 24 Oktober 2021.

Baca : Membaca Penderitaan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *