Marwan Yohanes: Diperlukan Pemimpin Luar Biasa Menyelesaikan Masalah Lahan di Riau 

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Alih fungsi hutan  menjadi perkebunan maupun hutan tanaman industri dinilai sebagai faktor utama  yang mendorong terjadinya kerusakan lingkungan di Provinsi Riau. Dampak  Alih fungsi lahan  yang  tidak terkendali dan tidak terdata dengan baik ini telah memberikan  dampak buruk terhadap lingkungan di daerah ini.

“Siapapun tahu, bahwa Kebakaran lahan  saat kemarau dan banjir saat musim hujan adalah dampak dari alih fungsi lahan yang tidak terkendali dengan baik,”  kata anggota Komisi V DPRD Riau Marwan Yohanes, kepada LamanRiau.com, Kamis 16 Desember 2021.

Terjadinya banjit lanjut mantan Ketua DPRD kabupaten Kuantan Singingi, akibat berkurangnya daerah resapan secara signifikqn. Terutama di kawasan- kawasan bantaran sungai. Akibatnya saat terjadi hujan, sungai tudak mampung genangan. Akibatnya genangan air atau banjir tidak.bisa dihindari.

Marwan mengatakan,  memperbaiki persoalan lingkungan yang akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Diperlukan pekerjaan yang luar biasa,  memperbaiki masalah ini.

“Untuk memperbaikinya juga dibutuhkan pemimpin yang luar biasa. Jika pemimpinnya biasa-biasa saja, ya…penyelesaiannya juga biasa-biasa saja,” kata politisi Partai Gerindra ini lagi.

Untuk menangani kerusakan lingkungan tidak cukup hanya menyediakan mie instan dan tenda penampungan. “Terkadang saya agak marah ketika ada orang yang bertanya tentang bagaimana cara menangi banjir.  Dan saya jawab asal-asalan. Kalau terjadi banjir ya sediakan saja mie instan,” pungkas Ketua Panitia Khusus Konflik Laha Antara Masyarakat Dan Perusahaan ini.

Untuk dinketahui, temuan DPRD Riau pada 2015 menyebut bahwa dari 4,2 juta hektar kebun sawit di Riau,  terdapat 1,8 juta hektar yang tidak mengantongi izin. Izin tersebut di antaranya Izin Usaha Perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha budidaya dan juga HGU. 

Anggota DPRD Riau Suhardiman Amby waktu itu menyebut potensi penerimaan pajak yang hilang karena ketiadaan izin perkebunan itu mencapai Rp107 triliun setiap tahun. Sementara data Eyes on the Forest (EOF), lembaga berbasis di Riau ini dalam laporan bulan Juni 2021 menyebut bahwa hingga 59% atau 5,4 juta hektar daratan Riau telah berubah jadi kebun sawit. Data itu diperoleh setelah menginterpretasi visual citra satelit Landsat 2019 dan 2020. 

Dari jumlah itu, sebanyak 3,26 juta hektar teridentifikasi sebagai kebun sawit yang sudah tua. Sementara sisanya berupa kebun dengan campuran sawit dan pembukaan baru dengan sawit muda atau kemungkinan besar akan ditanami komoditas sawit. Namun kontrasnya, laporan itu juga menyebut hanya sekitar 862 ribu hektar kebun sawit yang didaftarkan BPN pada 2016. Laporan itu juga menyimpulkan bahwa hingga 86% luas kebun sawit di Riau adalah ilegal pada 2019/2020 atau 4,6 juta hektar lebih. 

Pemprov Riau sendiri merespon temuan lebih dari satu juta hektar kebun sawit ilegal di Riau pada 2019 dengan membentuk satuan tugas atau satgas. Ada tiga tim terpadu dalam satgas ini yakni Tim Pengendali, TIm Operasi dan Tim Yustisi. Namun sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Riau mempertanyakan keterbukaan tentang bagaimana cara satgas tersebut bekerja dan sejauh. (Jm)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *