Cupak

Bang Long

Bismillah,

SAYA ingat betul. Saat kecil, nasi menjadi makanan istimewa. Jarang-jarang makan nasi. Memang agak memperihatinkan. Maklumlah, rezeki waktu itu kais pagi makan pagi, kais petang makan petang. Syukurlah Atok punya kebun meria (rumbia/pohon sagu). Abah ikut mengolah. Dari menebang, menggolek, mengirik, hingga menjadi sagu. Dari sagu inilah, Emak dan Nenek mengolah menjadi beragam makanan. Gobak, sagu rendang, sagu resik, lempeng, laksa, dan sebagainya. Kami lebih banyak makan olahan sagu. Gobak atau gubal manjadi pengganti nasi.

Karena istimewa itu, tidak setiap hari Emak menanak nasi. Ketika nak menanak nasi, Emak pasti mengambil cupak. Emak memanfaatkan kaleng susu kental manis bekas sebagai cupak. Dengan kaleng bekas itulah, Emak atau Nenek menyukat beras ketika nak menanak. Emak dan Nenek sudah hapal betul berapa cupak beras yang harus disukat untuk mencukupi sepuluh lambung. Nenek, Emak, Abah, dan kami tujuh beradik. Cupak itu selalu pas.

Dalam bahasa Melayu, ada kata cupak. Cupak berarti sukatan, takaran, atau ukuran. Bisa juga berarti penyukat (alat untuk menyukat). Lazimnya, benda yang disukat seperti beras, gula, tepung, kacang-kacangan, dan sejenisnya. Dalam KBBI, kata cupak memiliki beberapa arti, yaitu (1) takaran beras (biasanya satu cupak sama dengan seperempat gantang), (2) kepala pengudut (tempat candu dibakar), (3) struktur berbentuk gelembung, dan (4) alat dari kain atau semacamnya berbentuk lipatan-lipatan yang kedap cahaya dan/atau kedap udara, dipakai pada kamera atau alat untuk mengembus udara.

Dalam tradisi lisan Melayu, kata cupak dapat kita temukan dalam peribahasa. Dari kata cupak, muncullah peribahasa sebagai tuntunan yang ranggi. Membawakan cupak ke negeri orang, umpamanya, merupakan peribahasa yang bermakna memakai adat istiadat sendiri di negeri orang. Kata cupak dalam peribahasa tersebut bermakna kias yang mengacu kepada adat/tata nilai. Peribahasa yang secupak tak ’kan jadi segantang bermakna sesuatu yang sudah pasti (tidak dapat diubah lagi). Kata secupak dalam peribahasa ini mengiaskan sesuatu keniscayaan. Inilah bukti bahwa cupak merupakan kata yang indah sehingga mendapat tempat dalam peribahasa.

Cupak adalah lambang dari batasan, tata cara, adat. Sesuatu yang ada di alam ini memiliki batasan tertentu. Hendak belajar, ada caranya. Hendak nikah, ada adatnya. Mau minum dan makan, ada tuntunan. Kalau nak berkebun, pun ada adatnya. Bahkan, nak berak juga harus sesuai caranya. Semua yang hendak kita lakukan, niscaya ada tata caranya. Mulai dari dalam Emak sampai ke liang lahat, ada susunan cupak yang patut kita ikuti. Semasa hidup hingga mati, kita semestinya diatur dalam cupak-cupak tertentu.

Nak berbahasa (berkomunikasi) ada batasnya, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Tak jarang kita menyaksikan politikus berbahasa sedap tekaknya saja. Sering juga kita nengok seseorang merundung ulama dengan bahasa tak pantas. Mentelah lagi kalau kita berbahasa dengan berpantun. Dalam dunia komedi, kita saksikan video yang beredar di media sosial tentang kias orang Melayu berpantun saat peristiwa darurat terjadi. Mana ada orang Melayu berpantun kalau menghadapi peristiwa darurat seperti ketika kebakaran, ketika nak berak (sekedar contoh karena ada beredar video seseorang berpantun dalam kondisi tersebut dan terkesan merendahkan kemuliaan pantun), atau peristiwa sejenisnya.

Setiap perangai, ada aturan sendiri. Suatu negeri mempunyai adatnya yang khas. Karena itu, ketika masuk kandang macan, kita mengaum. Masuk kandang kambing, kita mengembek. Lain padang lain belalang. Lain laut lain ikannya. Yang tak sedapnya, ada orang tak sanggup menyesuaikan diri dengan adat istiadat di mana tempat dia berada. Dia tak menggunakan cupak pada dirinya. Dia tak sanggup mengira-ngira di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung.

Betung ada ruasnya. Ruas itulah batasnya. Ruas betung berbeda dengan ruas tebu. Ruas betung berongga. Karena itu, betung bisa disumbat dengan benda lain. Ruas tebu padat berisi. Tebu tak bisa diisi dengan benda lain. Jika kita betung, maka kita bisa mengisi diri dengan benda lain. Ilmu berfaedah tentunya. Jangan pula kita sumbat rongga diri dengan sampah atau air longkang. Kalau kita tebu, tak perlulah kita menganggap diri kita manis saja. Elok dan jelek diri bukan kita yang menilai. Sebaiknya, kita bersihkan saja cupak diri agar kita semakin paham dengan batas diri.

Kalau perahu cupak diri nak dilayarkan, kita mesti piawai menakar angin. Biar badai dapat diterka, kita harus juga menakar kemampuan perahu. Setelah itu, barulah kita akan bersiap sedia melayarkan perahu cupak diri. Jika kita mualimnya, tahulah bermain gelombang dan menentang badai. Seandainya kita kelasi atau matros, maka pandai-pandailah menempatkan letak diri untuk melaksanakan tugas. Kalau kelasi nak memaksakan diri menjadi mualim, alamat kapal akan tenggelam.

Kesanggupan kita taklah sama. Ilmu kita berbeda-beda. Latar pendidikan pun tidak serupa. Kalaupun sama, tetapi kemampuan kita akan dibatasi oleh tingkat ketekunan. Kesanggupan, ilmu, dan latar pendidikan kita bisa saja sama. Namun, ketekunanlah yang menjadikannya berbeda. Tahulah menakar diri memasing. Kalau katak, ya, melompat saja. Jika ikan, berenanglah. Seandainya burung, bentangkan kepak dan terbanglah. Apabila kura-kura, ya, merayaplah, tak perlu nak memaksakan diri berlari bagai arnap. Berusaha sekuat tenaga tak dilarang. Memaksakan kehendak itu yang pantang. Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 22 Jumadil Akhir 1443 / 25 Januari 2022.

Baca : Tanjung Durhaka

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *