Memperkuat Kebebasan Beragama di Indonesia

Pemuda

YAYASAN Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) pada hari Sabtu 29 Januari 2021 kemaren mengeluarkan sebuah pernyataan penting terkait dengan isu kebebasan beragama di Negeri ini. Dalam pernyataan itu, YLBHI menyatakan bahwa pada hari itu, sejumlah aparat satpol PP Kabupaten Sintang sudah mengepung masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, untuk melakukan pembongkaran secara paksa masjid milik komunitas muslim Ahmadiyah. Pembongkaran masjid ini merupakan tindak lanjut dari kebijakan dari Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Sintang yang telah menerbitkan Surat Peringatan (SP3), dan surat tugas pembongkaran masjid tersebut, dengan menunjuk Kasatpol PP sebagai pelaksana.

Kabar itu, tentu mejadi catatan kelam dalam sejarah kebebasan beragama di Indonesia. Konsep dasar bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” yang tertuang dalam UUD 1945, ayat 1 (satu), menjadi terkoyak oleh peristiwa itu. Narasi Gus Menteri Agama untuk menjadikan “tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi”, telah “dibuka” oleh tindakan intoleransi warga dan Pemerintah Sintang tersebut.

Mayoritarianisme

Memang, dalam sejarah panjang perjalanan Indonesia ini, gejala mayoritarianisme begitu terlihat jelas, lebih-lebih pasca reformasi. “Mayoritarianisme adalah suatu pandangan, sikap bahwa mayoritas lah yang harus diutamakan. Minoritas harus ikut terhadap mayoritas”, demikian penjelasan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, saat merilis hasil survei di Kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada 3 November 2019.

Berbagai bentuk diskriminasi mayoitas atas minoritas, seringkali terwujud dalam berbagai bentuknya; ujaran kebencian dalam bentuk spanduk-spanduk; Penghakiman atas keyakinan yang berbeda, bahwa kelompok mayoritaslah yang paling benar, sementara minoritas itu “sempalan”, salah, dan keluar dari mainstream. Anehnya, Negara biasanya justru mendukung hal ini semua. Bisa jadi Negara memperoleh tekanan yang sangat kuat oleh kelompok mayoritas, atau bisa pula itu sebagai dalih Negara untuk melakukan proses “merukunkan” warga Negara.

Tendensi sikap Pemerintah daerah atau Negara melindungi mayoritas ini, beberapa riset menyebutkan, merupakan upaya untuk mempertahankan posisinya sebagai pejabat Negara. Artinya, beberapa isu syiah, ahmadiyah, kristenisasi, dan lainnya, menjadi komoditas bagi para politikus untuk “merayu” kelompok mayoritas pada pemilihan bupati atau wali kota atau gubernur. Para politikus ini, berupaya sekuat tenaga untuk membuat janji kepada kelompok mayoritas dalam kampanyenya tentunya, bahwa ia akan membela Islam, akan memperjuangkan Islam, bahkan akan memperlemah kelompok-kelompok tertentu dalam Islam, yang berbeda dengan Islam yang selama ini dianut oleh mayoritas.

Pada posisi ini, moral public telah dimiliki oleh kelompok tertentu dengan atas nama agama, atas nama Tuhan. Klaim kebenaran dalam beragama dan menyembah Tuhan, dikuasai oleh satu tafsir, satu faham yang kebetulan menjadi mayoritas. Gambaran ini, menegaskan betapa rumitnya menjadi minoritas di negeri ini, di tengah gejala mayoritarianisme yang begitu akut. Menjadi minoritas adalah menjadi kalah dalam segala hal. Menjadi minoritas harus rela melakukan “pendekatan” yang rumit kepada kelompok mayoritas. Menjadi minoritas harus merendahkan diri sendiri untuk siap diperlakukan sebagai warga kelas dua. Menjadi minoritas harus siap didiskriminasi oleh yang merasa mayoritas.

Semua Setara

Gagasan bahwa setiap manusia memiliki hak mendasar untuk mengaktualisasikan dan mengimplementasikan setiap keyakinan agamanya, merupakan bagian penting dari Hak Azasi Manusia (HAM). Konsep ini, sesungguhnya, ingin mendorong kepada sebuah “tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesama manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi”. Jelas Prof. Musdah Mulia.

Sebagai sebuah tuntutan moral, maka ia sangat diperlukan, terutama ketika seseorang atau kelompok tertentu memperoleh tekanan dan diskiminasi dari kelompok lainnya. Sebagai kaum minoritas, ia menjadi kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad’afin), dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa, yaitu kelompok mayoritas.

Oleh karena itu, esensi dari HAM adalah memberikan penghargaan kepada manusia sebagai makhluk yang berharga dan mermarwah. Setiap manusia wajib dihargai dan dihormati tanpa harus memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. HAM mengajarkan kita tentang persamaan dan kesetaraan, bahwa kita ini memiliki hak dasar yang sama, yang harus dilindungi dan dimuliakan.

Setiap manusia yang religious di Indonesia, mengharapkan memperoleh kebebasan dalam beribadah kepada Tuhannya. Ia juga berharap bisa berkhusuk “ria” bersama Tuhannya. Ia juga ingin memperoleh ketenangan dan kenikmatan dalam menyembah Tuhannya, sebagaimana kita juga tenang dan nikmat beribadah di Rumah Tuhan kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Foucault dan Perempuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *