Meniru?

Jalaluddin As-Suyuti

MAN tasyabbaha biqaumin fa huwa minhum: Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia merupakan bagian dari mereka. (HR: Abu Dawud)

Itu merupakan hadits nabi Muhammad Saw yang turun pasca pertemuan nabi dengan para sahabat sebelum melaksanakan perang Uhud. Agar kaum muslim mudah dikenali di medan laga maka ada sahabat yang mengusulkan tanda itu diletakkan di baju mereka. Dan nabi pun menyetujuinya. Lalu turunlah hadis tersebut.

Dewasa ini, hadits di atas dijadikan sebagian kelompok dalam Islam sebagai upaya untuk mengerdilkan Islam, bahwa segala sesuatu yang menyerupai orang selain Islam merupakan bagian dari kaum itu. Sehingga muncullah segala hal yang dibuat untuk dan atas nama kaum muslimin saja. Semua hal yang datang dari luar Islam seolah dipandang haram. Padahal tak dapat dipungkiri dalam beberapa hal umat Islam mesti belajar dari orang lain, baik dari segi etos kerja maupun capaian-capaian penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Apa batasan tasyabbuh atau menyerupai/ meniru dalam Islam?

Pertama, tasyabbuh merupakan suatu obyek yang menyerupai sesuatu yang lain. Atau menyerupai/ meniru orang lain seolah-olah ia bagian dari orang atau kaum tersebut. Atau usaha seseorang atau suatu kaum untuk meniru sosok atau kaum yang dikaguminya itu, baik dari bentuk tingkah laku, budaya, sifat-sifat sampai cara mereka beragama.

Saat Indonesia masih dalam penjajahan KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah wa al-Jamaah telah menfatwakan bahwa meniru atau menyerupai penjajah yang berbeda agama dengan kaum muslim di nusantara dalam hal pakaian khusus ketika mereka akan berangkat ke rumah ibadah kaum non-muslim tersebut merupakan kafir dan diharamkan. Saat itu, memang kedatangan kaum penjajah ke tanah air membawa beberapa misi, seperti gold, glory dan gospel.

Tasyabbuh terbagi dua, yaitu yang dilarang dan dibolehkan. Tasyabbuh kepada kaum lain yang dilarang adalah dalam perkara akidah, ibadah, dan meniru budaya luar yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.

Sementara pada aspek mu’amalah dan demi perkembangan kemajuan pengetahuan dan teknologi tidaklah mengapa.

Kenapa demikian? Karena nabi Muhammad saw pernah mengabarkan bahwa umat Islam mesti juga belajar kepada umat lain. Misalnya dari hadits: inni uhibbu an attabi’a ahla al-kitab fima lam yu’mar: sesungguhnya aku suka mengikuti ahli kitab pada sesuatu yang tidak diperintahkan. (HR: Bukhari)

Dari tinjauan sejarah, bahwa sebelum datangnya Nabi Muhammad Saw sebagai rasul, di dunia sudah muncul beberapa peradaban besar, di antaranya peradaban Romawi dan Persia. Percaya atau tidak, kebudayaan bangsa-bangsa besar itu sedikit banyak sudah terinfiltrasi dalam kebudayaan Islam. Stempel atau cap saja mesti dibuat nabi demi diakuinya surat tersebut oleh raja-raja saat itu. Bahkan awalnya nabi meniru cara menata diri, seperti menyisir rambut menyerupai kaum lain agar menarik simpati mereka. Bahkan nabi menyukai jubah orang-orang Rum (Romawi).

Bahkan kubah pada masjid yang seolah menjadi identitas rumah ibadah muslim hari ini pada awalnya berasal dari katedral ortodoks Hagia Sophia/ Aya Sofya di Turki, yang kemudian katedral ini pun menjadi mesjid. Pun menara yang terdapat di masjid, sesungguhnya sudah ujud pada rumah-rumah ibadah kaum majusian.

Perbauran budaya ini menjadi lumrah karena dari tinjauan sosiologi, kebudayaan itu tak berbeda dengan sifat air. Ia akan mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Pada awalnya masyarakat Islam belum sebesar Romawi dan Persia, sehingga sangat memungkinkan adat budaya peradaban-peradaban besar itu mewarnai peradaban Islam. Dan tak dapat dipungkiri juga, pada akhirnya Islam pun pernah menjadi pusat peradaban dunia, dan juga mewarnai peradaban-peradaban bangsa lain.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Buah Syahadat

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *