Puisi-Puisi Karya J. Akid Lampacak

akid

Kepada Alvia

Al, kubaringkan cintaku di balik musim yang sangkal
Menyapa embun pagi sebelum jatuh ke dasar sunyi
Entah kepada siapa perlu kukabari,
Riang kabut malam yang melempar kau ke tanah ini.

Sepanjang hidupku kau tak perlu banyak tau
Bahwa yang berlari dari tangga pengharapan
Bukan kesenangan hujan untuk jatuh ke halama
Melainkan sebuah kedipan
Yang tumbang dalam pandangan.

Dan hidupku sudah lumayan baik, Al
Mendaki pengharapan setinggi bukit
Hingga kakiku tak lagi bisa menghasilkan jejak
Pada langkah terakhir yang membuatmu beranjak.

Hanya kepada malam kukekalkan kau
Seperti kilau rembulan di ujung kemarau
Kau dan aku selalu ingin sembunyi
Di balik angin yang mulai bernyanyi.

Sampang, 2019

 

Tanian

Tujuh minggu lagi
Kau akan resmi berhenti menebar pesona ini
Berhenti bermain hujan di dadaku
Melepas masa muda yang terburu.

Tatkala berdendang
Tarian ilalang menemani kunang-kunang
Malam dan awan bukan lagi pertanyaan
Bagi datangnya hujan di halaman.

Hanya batu-batu yang bersetia merindu
Kebal menahan kilau-bayang yang di kirimkan bulan
Dari arah pekarangan bersiur begitu panjang
Melestarikan mimpi di malammu yang kelam.

Lebeng Barat, 2019

Untukmu, Adinda

Untukmu, Adinda
Seribu musim yang tertinggal di tengah dada
Membekas di jendela masa tua, tempat anak kita
Kelak akan tertawa, memandang semista
Yang berasal dari rancangan rindu kita.

Dan pada setiap pintu,
Suara burung kapodang terus saja dirindu
Lantaran pesona dan penyesalan seringkali
Membisu. Pada ingatan kita yang dulu.

Untukmu, Adinda
Sebuah tatapan yang hening di pagiku yang dingin
Menemani sunyi selepas angin merayu matahari
Dan di tubuh kita telah tersedia satu pemahaman
Tentang segala tatapan yang berteduh di pebukitan
Meniduri sajak ini, sebelum menjadi robekan misteri.

Lebeng Barat, 2019

Jalan Kampung

Seperti memasuki kawasan ingatan
Ilalang dan hujan menghias terotoar
Berlambai-lambai mengantarkan angin sangkal
Setelah kedatangan kita tak menyisakan bekal.

Sebagaiman kerikil menelan sunyi
Nyayian burung pagi menafsir mimpi
Tak ada penyesalan di tanah ini
Kecuali, luka kita yang mulai bersemidi.

Gadis-gadis penebar ingatan dulu
Ia tumbuh bagai waktu yang berlalu
Menyanyikan kemarau pada pohon jambu
Yang pergi menyambut debu.

Sewaktu-waktu jalan ini bisa saja buntu
Jika langkat yang kita pahat senantiasa membekas
Menyisakan jejak kaki seperti garis kertas
Di tubuh malam yang mulai panas.

Lebeng Barat, 2019

Kujang

/1/
Dari balik kanan lipatan kain kafan
Tersirat runcing keris kujang
Lari ke madura selepas berkuasa di kota sunda
Sebagai pusaka yang mulai lupa terhadap mantra

Sekitar abad ke delapan
Setelah melahirkan berat tiga ratus gram
Adakah ajimat yang dapat mengalahkan?
Kecuali lengking kokok ayam di musim hujan
Yang setia berteduh di bawah kematian.

Tujuh malam sebelum bercahaya
Ia telah terasah dengan keperkasaan kata-kata
Reflek pada segala isyarat angin
Dari balik rimbun yang menyembunyikan daun kering.

/2/
Kujang adalah alif tajam
Menjadi tonggak dalam kebenaran
Berdiri sebagaimana keyakinan bersunyi
Dengan ketabahan waktu yang menulak janji.

Adapun paras keberanian
Berasal dari lentik baja yang kekunigan
Berkilau menjelang mata melepas pandang
ketika gelap dan terang menghasilkan bayang-bayang.

Maka carikan ia tangkai hulunya
Dari ketabahan pereng tempor buko*
Agar tangan biasa menggenggam dengan kokoh
Seperti ukiran naga bermustika emas
Yang selalu menghindar dari rasa cemas.

Sampang, 2019

Tanah Perisai

Rebah di tanahmu yang lapang
Merupakan catatan perisai hijau
Bertitah sepanjang musim hujan
Hingga kemarau terbang bersama awan

Tatkala lima sudut
Yang diperistiwakan menolak kerut
Sayap kuda merupakan tempat perlindungan
Dari anak panah yang melaju kencang.

Kepada tangkai ilalang di atas kuburan
Orang-orang berjenjang mencari terang
Menanam sebiji harapan di tanah ini
Sebagai pernyataan yang tak mengenal janji.

Tak ada lagi ketakutan
Cinta yang sekian lama berdiam
Mengalir ke lembah ingatan
Menata pituah mimpi nenek moyang
Sebelum tidur mentenun kepastian.

Dan pada tanah ini,
Selalu kau temukan kaki kuda tertukar kaki sapi
Lari mengejar keindahan warna lambang
Selepas jejak ingatan tertinggal di halaman.

Sampang, 2019

Surau Hutan

Baragkali, hutan mencipta surau itu dari rimbun batu
Ketika doa pada setiap perjumpaan tak lain hanya
Pengantar penyesalan dari tangan nenek moyang yang
Telah lama menyimpan harapan. Ia kenang kubah yang
Menjadi tanda, sebagaimana semista mewarnai cinta.

Perlahan sunyi menjadi ocehan burung-burung pagi
Hinggap di kali di mana persemidian biasa abadi
Mencatat desiran ilalang di penghujung perbukitan
Hingga pada zikir kesekian kilau purnama mulai terbakar.

Demi daun-daun kering yang telah menghianati angin
Kupersembahkan sujudku melawan nestapa malam
Datang dan pergi merupakan kesetian menuju diam
Walau yang terlambir di pintu depan hanya peta menuju hutan.

Sampang, 2019

——————-
J. Akid Lampacak, dikenal dengan nama panggilan B.J. Akid bernama asli Mohammad Wakit. Menulis esai dan puisi dan masih tercatat sebagai santri Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media cetak, online, dan antologi puisi. Menjadi ketua komunitas Laskar Pena Lubangsa Utara dan pengamat litrasi di sanggar Becak Sumenep. ***

Baca : Puisi-puisi Karya Rudi Santoso

*** Laman Puisi terbit setiap hari Minggu. Secara bergantian menaikkan puisi terjemahan, puisi kontemporer nusantara, puisi klasik, dan kembali ke puisi kontemporer dunia Melayu. Silakan mengirim puisi pribadi, serta puisi terjemahan dan klasik dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected] [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *