Toleransi Patriarkhi

Pemuda

ISTILAH patriarkhi menunjuk pada pengertian bahwa sebuah sistem yang membuat laki-laki memiliki kekuasaan tunggal, sentral, dan dominan. Dominasi ini, kemudian membudaya hingga bepengaruh kuat hingga ke berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam system patriarkhi ini, kaum laki-laki memiliki peran sebagai control utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan.

Hal inilah yang menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Kaum Laki-laki dengan dominasinya menjadi kelompok mayoritas dan perempuan menjadi kelompok minoitas.

Begitulah kira-kira, praktik toleransi yang selama ini berjalan. Sudah berabad-abad lamanya, toleran yang kita bangun adalah toleransi yang ditentukan secara sepihak oleh yang berkuasa, yang dominan. Kelompok minoritas akan selalu berada pada “kelas kedua”. Dominasi kelompok berkuasa, secara historis memang menunjukkan gejala patriarkhi ini dalam bertoleransi. Misalnya, pada kesepakatan Nantes (1598), Raja Perancis pada saat itu, Heinrich IV, memberikan kebebasan kepada kelompok Hugenotten yang minoritas, untuk menjalankan aktivitas ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka, dengan syarat tidak mengganggu kekuasaan Raja.

Bahkan dalam lembaran-lembaran sejarah Islam, toleransi menggambarkan relasi kuasa yang tidak seimbang, antara mayoritas dan minoritas. Misalnya, masih adanya istilah-istilah kafir Harbi, Kafir dzimmi, kafir Mu’ahad, dan kafir musta’min bagi warga negara non-muslim. Dan itu semua mereka hidup dengan bersyarat. Artinya, ada persyaratan-persyaratan tertentu untuk mereka sebagai warga negara.

Ini lah watak toleransi kita. Bukankah kita juga sering membanggakan diri sebagai kelompok yang toleran? Namun, kita membatasi toleransi itu dengan syarat. Bukankah kita sendiri yang membatasi toleransi itu? Jika dibatasi, bukankah ini tindakan kesewenang-wenangan? Jika demikian, toleransi yang kita bangun, dengan sendirinya menyimpan potensi intoleransi.

Dalam konteks negara demokrasi di Indonesia saat ini, yang memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan memiliki keragaman yang luar biasa, maka setiap warga negara memiliki hak yang sama. Setiap warga bangsa yang bernafas di bumi Indonesia, memiliki hak untuk menikmati khusuknya beribadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya. Karena itu, tidak boleh ada sekelompok warga bangsa ini, memiliki “hak istimewa” untuk memberikan batas-batas toleransi yang ditentukan oleh nilai-nilai yang ada pada mereka sendiri.

Realitasnya, kita cenderung memaksa kepada kelompok-kelompok yang berbeda dengan kita, bahkan dengan cara-cara kekerasan, untuk menyatakan mereka sesat dan sebagainya. Tidak jarang, mereka yang berbeda ini, kita pangkas hak-hak sipilnya, tidak diperbolehkan membuat kartu identitas sebagai warga negara Indonesia, yang berakibat pada pemangkasan seluruh akses pada hak-hak pelayanan publik lainnya.

“Setiap warga negara memiliki status kewargaan penuh dengan hak dan kewajiban yang setara, terlepas dari perbedaan latar belakang agama. Kategori muslim dan kafir tidak relevan dalam status kewarganegaraan. Produk undang-undang atau kebijakan negara yang lahir dari proses politik moderen mengikat seluruh warga negara. Jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, wajib ditaati secara syari’at (mulzim syar’i)” demikian pernyataan K. H. Yahya Cholil Staquf, Ketua PBNU saat ini.

Artinya, bahwa batas toleransi yang dibangun adalah dasar pilihan nilai yang dibangun bersama, yang telah disepakati bersama. Sebagai warga negara yang hidup di Indonesia, memiliki hak dan kewajiban yang setara, sebagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan yang setara. Tidak ada dominasi antara satu dengan yang lainnya. Semua memiliki hak yang sama untuk beribadah, memiliki hak yang sama untuk berkhusuk ria menyembah Tuhannya. Kita tidak boleh merampasnya dengan merobohkan atau merusak tempat-tempat ibadah mereka. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Prahara Kemanusiaan itu Perang

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *